Fimela.com, Jakarta Budaya literasi dan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Dari data UNESCO, Indonesia bahkan menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. UNESCO juga menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001% yang berarti dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Literasi yang rendah ini dapat berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas negara, yaitu jumlah output yang dihasilkan negara tersebut dalam satu periode. Produktivitas yang rendah, nantinya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Rendahnya minat baca juga akan menyebabkan kemampuan inovasi yang rendah. Padahal, inovasi merupakan kunci kemajuan bangsa.
Pentingnya budaya literasi harus dikembangkan dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan informal yang memiliki peran paling penting dalam pengembangan literasi. Wanita menjadi kunci tumbuhnya literasi dalam keluarga. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan literasi wanita dengan memberikan ruang yang luas bagi wanita untuk berkembang, mengingat kemampuan literasi dasar wanita yang masih berada di bawah pria.
Apabila ditelusuri menggunakan indikator angka melek huruf (AMH), kemampuan literasi dasar ini masih tertinggal ntuk penduduk di pedesaan, penduduk miskin, kelompok disabilitas, dan kelompok wanita. Dalam kurun waktu lima tahun, AMH wanita berkisar 93-94 persen yang artinya masih ada 6 dari 100 wanita di Indonesia yang belum bisa baca tulis. Sementara AMH pria mencapai 97 persen dan sudah melampaui target.
Advertisement
Advertisement
Kemampuan Literasi Wanita
Indikator melek huruf mengindikasikan kemampuan literasi dasar yang dimiliki penduduk yang dapat berguna untuk mengakses informasi dan memperluas pengetahuan yang dimiliki. AMH menjadi salah satu indikator dalam target tujuan pembangun berkelanjutan (SDGs) pada poin keempat yaitu pendidikan berkualitas, dengan target pada tahun 2030 menjamin semua remaja dan proporsi kelompok dewasa tertentu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan literasi dan numerasi.
Kesenjangan kemampuan literasi antara pria dan wanita tersebut menggambarkan masih adanya hambatan akses wanita dalam memperjuangkan literasi dan memperoleh pendidikan. Literasi wanita di Indonesia harus terus diperjuangkan. Terlebih, perempuan memegang peran utama dalam menumbuhkan literasi dalam lingkungan keluarga. Sebab, ibulah yang paling dekat dengan anak, memperkenalkan aksara untuk pertama kali kepada anak.
Kemampuan literasi berhubungan dengan akses wanita dalam memperoleh pendidikan. Namun secara global, dilansir dari globalcitizen.org, terdapat 130 juta anak perempuan yang saat ini tidak bersekolah. Berinvestasi pada masa depan, anak perempuan mempunyai potensi untuk mengangkat keluarganya di kemudian hari. Ketika wanita menerima pendidikan berkualitas, dapat memberikan manfaat dalam seluruh aspek kehidupannya.
Hambatan Literasi
Berikut beberapa hambatan yang sering dihadapi wanita dalam memperjuangkan budaya literasi:
Kemiskinan
Menurut World Bank, kemiskinan adalah faktor terpenting yang menentukan apakah seorang wanita dapat mengakses pendidikan atau tidak. Bukan hanya untuk biaya sekolah, tetapi sulit bagi keluarga miskin untuk membayar transportasi, seragam, atau buku pelajaran. Jika keluarga tidak mampu membiayai sekolah, kemungkinan besar mereka akan menyekolahkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Pernikahan anak
Orangtua membiarkan anak perempuannya menikah di bawah umur karena berbagai alasan. Pernikahan muda ini dapat menyebabkan putusnya pendidikan. Selain itu, pernikahan muda bisa membawa wanita mengalami kehamilan dini, kekurangan gizi, kekerasan dalam rumah tangga, dan komplikasi kehamilan. Sulit bagi perempuan memperoleh kemandirian finansial tanpa pendidikan.
Pekerjaan rumah tangga
Stigma masyarakat bahwa wanita harus mengurus rumah tangga menyebabkan kurangnya kemampuan literasi dan pendidikan wanita karena terlalu sibuk mengatur rumah tangga. Di seluruh dunia, wanita menghabiskan 40 persen lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar dibandingkan pria.
Kekerasan berbasis gender
Kekerasan berbasis gender dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan fisik dan seksual, pelecehan, dan intimidasi. Bertahannya pemerkosaan, pemaksaan, diskriminasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya berdampak pada partisipasi anak perempuan, menurunkan partisipasi dan prestasi mereka, serta meningkatkan angka putus sekolah.
Penulis: Maritza Samira
#BreakingBoundariesSeptember