Fimela.com, Jakarta Ramadan selalu disambut suka cita oleh seluruh umat Muslim di dunia. Termasuk jurnalis Uighur Amerika Gulchehra Hoja, yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja di Radio Free Asia, Amerika setelah meninggalkan tempat kelahirannya.
Di mana ia dengan leluasa, bisa bebas menjalani ibadah puasa Ramadan. Selain bebas beribadah wajib di bulan Ramadan, ia juga menjadi manusia merdeka yang bebas mempelajari lebih dalam lagi agama Islam saat pindah ke Amerika.
Advertisement
“Kebahagiaan menjadi seorang Muslim dan manusia yang merdeka, adalah saat bisa mempraktikkan agama sendiri di US, khususnya bulan Ramadan. Saya selalu memikirkan orang-orang di Uighur, di mana sebanyak 20 juta Muslim di sana tidak memiliki kebebasan yang sama,” ujar Gul, sapaan akrabnya pada Fimela saat diwawancarai secara daring belum lama ini.
Mempraktikkan dan mengamalkan syariat dan anjuran agama secara bebas juga menjadi keinginan terbesar etnis minoritas di negara kelahiran Gul. Namun, saat nekat melakukan hal tersebut, maka mereka akan menanggung akibat fatal, yang berakhir di kamp konsentrasi.
“Pemerintah China takut pada orang yang beriman. Mereka akan dipersekusi, semua orang Uighur yang jadi Muslim minoritas di negaraku,” jelas Gul.
Advertisement
Kebebasan beragama di Amerika
Gul pun memanfaatkan semaksimal mungkin kebebasannya untuk berdoa sebanyak yang dia bisa. Keimanannya pada kebebasan bangsa Uighur mendapatkan kemerdekaan tak pernah luntur apalagi pudar.
“Saya banyak berdoa untuk orang yang menderita dari siksaan rezim. Saya berdoa untuk keluarga saya, dan memohon pada Allah untuk mewujudkannya. Menyatukan kembali keluarga saya dan berdoa untuk keselamatan seluruh dunia. Ramadan adalah berdoa, berdoa, dan banyak berdoa,” jelas Gul.
Gul bersemangat menceritakan, hal menarik lainnya di bulan Ramadan adalah memperkuat tali persaudaraan dengan sesama Muslin. Saat ia bergabung dengan sesama saudari perempuan di masjid untuk saling memberikan dukungan satu sama lain.
“Komunitas Muslim akan lebih banyak selama bulan Ramadan. Di situ saya merasa tidak sendiri. Di masjid, kami bertemu seluruh Muslim dari seluruh dunia dengan tempat yang berbeda. Saya merasa bukan hanya saya yang menanggung beban berat situasi mengerikan di negara saya,” jelasnya lagi.
Tradisi khusus selama Ramadan
Di balik segala duka yang dirasakan dalam hidupnya, bulan Ramadan adalah saatnya menghidupkan tradisi Uighur di Amerika. Salah satunya dengan melestarikan kuliner asli Uighur yang didapatkan dari orangtua dan neneknya.
“Saya memasak banyak makanan sama seperti orang lain. Khusus selama Ramadan, rasanya seperti berada di festival makanan Ramadan. Ibu dan nenekku yang mengajariku memasak," jelasnya semringah.