Sukses

Lifestyle

10 Fakta Perjalanan Irawati Puteri dari SPG, Guru Les Sampai Diterima S2 di Stanford University

Fimela.com, Jakarta Jalan hidup orang siapa yang tahu, termasuk Irawati Puteri yang beberapa hari ini semakin populer di media sosial. Namanya viral sebagai SPG chicken nugget yang berhasil diterima di Stanford University.

Popularitasnya melejit seketika dengan penambahan jumlah follower yang signifikan di akun Instagram @irawatiputeri. Namun, dia juga harus menerima konsekuensi opini publik dalam menanggapi keberhasilannya from zero to hero.

Kemiskinannya disanksikan, prestasinya didiskreditkan. Begitu juga pencapaiannya dalam menikmati kehidupan yang juga dipertanyakan.

Di samping komentar bernada miring, tentu banyak pujian dan apresiasi juga didapatnya. Netizen juga berterima kasih atas cerita Irawati Puteri yang menginspirasi dan memberikan harapan.

Bukan harapan palsu atau realitas semu, sebab tidak ada yang tidak mungkin dalam mengubah nasib. Selama tidak menyerah dan berpasrah pada keadaan dan ikhlas dalam menjalani kehidupan yang dipandang tidak ideal.

Yuk, kenalan dengan Irawati Puteri lewat 10 fakta ini;

1. Diterima di Stanford University

Pada tangga 24 Februari 2023, ia menerima pemberitahuan lolos masuk Stanford University. Ia pun membagikannya di akun Twitter Irawati Puteri yang menjadi awal mula viral kisahnya.

“Aku memang dapat beasiswa LPDP, tapi saat cari-cari kampus, sama sekali enggak ada bayangan bisa masuk Stanford. Dari seluruh dunia, satu angkatan di jurusan tersebut cuma 20 orang, dan aku orang Indonesia satu-satunya di situ, sebelumnya mungkin netizen tahu Stanford-Stanford karena ada Maudy Ayunda salah satunya,” ujar Ira saat dihubungi Fimela.com, Selasa (28/2/2023).

Ira sendiri diterima di Stanford Universiti jurusan International Comparative Education and International Education Policy Analysis. Ia menggabungkan keilmuan di bidang hukum saat kuliah S1 di Universitas Indonesia.

Yang bertujuan untuk membangun pendidikan dalam negeri, dengan membuat kebijakan yang merata, terutama untuk masyarakat kurang mampu dan miskin. Jadi, ia memutuskan untuk mengambil lintas jurusan saat S2 di Stanford.

 

 

2. Dari SPG

Saat mengumumkan keberhasilannya menembus Stanford, Ira juga menjejerkan fotonya saat bekerja sebagai sales promotion girl produk chicken nugget. Ia membagikan foto dirinya berseragam SPG berlogo merek produk frozen food, karena hanya foto tersebut yang dimilikinya untuk menunjukkan ia pernah bekerja sebagai SPG.

“Aku ingin memperlihatkan bahwa aku melalui tahapan menjadi SPG di mana saja, tapi cuma punya foto saat jadi SPG chicken nugget di PRJ. Orang-orang banyak yang menyimpulkan dari SPG langsung diterima di Stanford, padahal panjang perjalanannya,” lanjut Ira.

 

3. Mengubah nasih dengan pendidikan

Ira tidak menutup-nutupi fakta jika ia berasal dari keluarga miskin. Dengan kedua orangtua yang tidak lulus sekolah dasar namun memiliki keinginan kuat untuk mengubah nasih lewat pendidikan.

Sejak SD sampai SMA, ia mendapatkan keringanan biaya dan beasiswa. Banyak yang bertanya, "Tidak mampu, kok, sekolah di swasta? Sampai kuliah di Universitas Indonesia?"

“Aku sekolah di BPK Penabur dengan mendapat keringanan biaya. Begitu juga saat kuliah di Universitas Indonesia, aku dapat BOP-berkeadilan, yang harus melampirkan tagihan listrik sampai surat keteragan miskin. Jadi miskin terverivikasi. Kami juga tinggal di rumah ukuran 3x3 dan untuk makan, 1 porsi dibagi untuk lima orang,” paparnya.

4. Memberikan Les Sejak SMA

Selain mengikuti berbagai lomba untuk mendapat tambahan uang saat SMA, anak pertama dari tiga bersaudara ini juga mulai memberikan les sejak kelas 1 SMA. Saat itu, pengalaman terpahit yang dijalaninya adalah melihat adik keduanya putus sekolah.

“Aku jadi saksi adik keduaku putus sekolah, meski sudah dapat keringanan juga, saat itu pilhannya bisa makan atau sekolah. Jadi saking BU (butuh uang), sejak SMA kelas 1, aku mengajar mata pelajaran apa saja untuk anak-anak SD-SMP,” sambungnya.

5. Mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga

Sejak usia 16 tahun, Ira mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Berbagai cara sudah dicoba kedua orangtuanya, namun karena latar belakang pendidikan, sulit mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan.

“Karena mereka enggak bisa memenuhi kebutuhan secara finansial, orangtuaku memberi dukungan moril dan emosional. Mereka memberikanku kepercayaan dan mendukung untuk punya pendidikan lebih baik. Sejak aku memutuskan jadi tulang punggung keluarga, keuangan semua aku yang handle dari makan, bayar kontrakan, dan lainnya,” kenang Ira.

 

6. Kehilangan Masa Bersenang-senang saat SMA

Ira pernah melewati masa menutupi kesusahan hidupnya saat SMA. Meski teman-temannya tak memandang status sosial, hal itu dilakukan sebagai insting bertahan, karena ia merasa takut dikucilkan dan dijauhkan. 

“Aku enggak pernah ngomong kapan aku ulang tahun, karena saat itu, kan kalau sweet 17 dirayain mewah. Dan aku juga takut disuruh traktir saat ultah. Tapi aku punya teman baik-baik banget, mereka bikinin aku cake saat ultah ke-17 tahun. Dan saat ceritaku viral, mereka mendukungku,” cetusnya.

 

7. Memasuki masa kuliah

Saat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ia menemukan lebih banyak peluang serta teman-teman yang konstruktif. Termasuk mengikuti lomba-lomba debat sampai menjadi ketua debat FHUI.

“Aku masih sambil ngajar dan tetap ikut lomba-lomba debat. Di UI, aku terkenal nomaden, karena kontrakanku di Bekasi, aku bisa ngajar di mana-mana, dan harus balik ke Depok untuk latihan lomba,” kenangnya sambil tertawa.

8. Mengajari Debat Anak-Anak Sekolah Internasional

Tahun 2018, Ira semakin banyak mengikuti lomba debat. Ia juga mengikuti Abang None Buku yang membuka jaringan dan koneksi dengan orangtua murid yang bersekolah di sekolah internasional.

“Alhamdulillah membludak, aku sempat ngajar 100 orang dalam satu bulan. Karena kalau debat itu kan, tim, ada yang ber-15, ber-3, ber-6. Aku terbantu banget dengan perhatian dari orangtua murid yang aku ajar yang membantu finansialku dan keluargaku,” ujar Ira bersyukur.

 

9. Merasakan hidup penuh ketidakadilan

“Hidupku sangat terbantu dengan pendidikan. Keluargaku terbantu dengan karierku sebagai guru les, yang ada juga masanya profesi itu dipandang sebelah mata,” kata Ira.

Awal mula kecintaan pada debat sendiri, diawali dari hidup penuh ketidakadilan yang dirasakan. Lomba debat juga jadi salah satu lomba akademis yang tidak memerlukan modal untuk les.

“Punya pengalaman suka ‘diinjek-injek, jadi pengen berontak aja. Pertama kali aku ikut debat, uang hadiahnya dipakai buat daftar SIMAK UI. Saat itu aku enggak menang lomba debat di UI, tapi terpilih jadi best speaker. Nah, saat masuk FHUI, panitianya sudah kenal aku dan aku jadi lebih gampang ikut organisasi,” cerita Ira yang dikenal gemar memakai kaus panitia semasa kuliah karena keterbatasan membeli pakaian.

10. Memiliki Yayasan Pemerhati Anak-Anak Jalanan

Menjalani kehidupan yang penuh perjuangan dan tantangan, ia pun memiliki jiwa sosial tinggi yang disalurkan lewat sebuah yayasan bernama Estafet Kebaikan. Ia menyalurkan donasi untuk anak-anak yang terpinggirkan dan kaum marjinal seperti anak jalanan.

Ira juga masih menjalani perannya sebagai Legal & Policy Manager di salah satu lembaga gabungan pemerintah-swasta GovTech Edu. Di mana ia bekerja untuk membantu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dalam membangun inisiatif teknologi pendidikan yang komprehensif. 

Serta memberdayakan jutaan guru dan siswa di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk mengubah suasana pendidikan Indonesia secra digital. Ia juga berpartisipasi dalam aplikasi Edu No. 1 di Indonesia @sejutacita.id sambil memprsiapkan melanjutkan studi pascasarjana di Stanford University.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading