Fimela.com, Jakarta Memiliki sepuluh tahun pengalaman di bidang perbankan dan fintech besar Tanah Air, Noviy Hutaruk punya visi yang jelas dalam berkarier di dunia finansial. Namun saat mencoba berkiprah di perusahaan startup, sempat ada perasaan minder dan ragu yang ia rasakan.
Perlahan perspektifnya mulai berubah. Ia tertantang untuk mempelajari banyak hal dan lingkungan baru. Saat ini ia pun memegang posisi vital di lini kerja sama dalam pengembangan Qoala.
Qoala sendiri adalah perusahaan startup yang bergerak di bidang teknologi asuransi atau insurtech (insurance technology) di bawah bendera PT Archor Teknologi Digital dalam bentuk perusahaan multi-channel yang memberikan ketenangan pikiran dari risiko finansial tidak terduga. Dengan dukungan teknologi, Qoala membuat asuransi menjadi lebih mudah untuk diakses oleh semua orang, baik dengan cara yang lebih sederhana dan harga yang lebih terjangkau.
Advertisement
"Kalau saya sendiri lahir dan besar dari lending industry. Dan lebih tepatnya bisnis banking dan fintech. Jadi bisnis banking dan fintech lahir duluan lah. Baru kemudian insurtech. Namun pengalaman saya di industri fintech membuka mata saya dan membuka persepsi baru bahwa financial services ini merupakan satu industri yang terdisrupsi teknologi yang membawa ke industri lain, salah satunya industri asuransi," ungkap sang Vice President of Partnerships Qoala, Noviy Hutauruk saat ditemui FIMELA beberapa waktu lalu.
Sempat tak tertarik dengan dunia asuransi, kini Noviy justru menikmati keterlibatannya di dunia tersebut. Sebagai VP of Partnerships ia bertugas mengelola kolaborasi digital dengan perusahaan besar lintas industri seperti e-commerce, fintech, travel platform dan lainnya. Ia melihat masih banyaknya ruang untuk pengembangan sistem digital dalam asuransi.
"Jadi, kita tahu bahwa dalam hal penetrasi produk asuransi di Indonesia, itu sangat sangat rendah daripada negara ASEAN lainnya. Sehingga ini juga yang membuat saya berpikir, waktu saya dulu terjun ke fintech juga ada di mana orang belum familiar dengan industri fintech. Sehingga tiga tahun kemudian berkesempatan bertemu dengan Tommy Martin yang merupakan co-founder Qoala, membuat saya memiliki perspektif baru bahwa jangan cuma berhenti di dunia fintech dan bisa merambah ke dunia asuransi juga. Dengan adanya proses yang masih manual, masih tradisional dan masih keterbatasan akses pada produk tersebut. Itu yang membuat saya pikir dunia asuransi juga butuh disrupsi dari sisi teknologi," ucapnya.
Tiga tahun belajar dan turut mengembangkan Qoala, perempuan berdarah Batak ini mengemban posisi penting di perusahaan tersebut. Noviy menjadi salah satu wanita yang menjabat sebagai VP di Qoala. Namun sebagai perempuan ia menekankan jabatan bukan jadi tujuan utamanya dalam berkarier.
"Saya encourage perempuan bukan untuk mengejar jabatan, tapi kejar knowledge karena saya percaya bahwa ketika kita memiliki satu tujuan yang benar yaitu mengejar knowledge, yang lain akan follow, uang, jabatan akan follow. Jadi jangan lupa mengupgrade diri, kejar knowledge karena ketika kita sudah punya value, itu semua akan follow. Yang tadi saya bilang money, position akan follow after you upgrade yourself," ujar Noviy.
Pada FIMELA, Noviy Hutauruk juga menceritakan lebih banyak mengenai pengalaman bekerja di Qoala, hingga bagaimana cara menjadi perempuan yang berdaya. Berikut hasil wawancara selengkapnya.
Advertisement
Visi dan Pengalaman di Kancah Insurtech
Selain bercerita mengenai alasannya terjun ke asuransi, Noviy Hutauruk juga menceritakan pengalamannya menjadi bagian dari Qoala selama tiga tahun. Ia juga bercerita soal perspektif baru yang ia dapat dari pengalamannya.
Secara keseluruhan, tugas dan tanggung jawab yang Anda emban seperti apa sih?
Saat ini kita dituntut untuk mengembangkan bisnis existing, Maupun menginisiasi bisnis baru. Baik di market Indonesia, maupun negara Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Bagaimana dengan perusahaan di awal pandemi?
Bisa dibilang saya terjun ke sini sejak awal tahun 2020. Persis beberapa bulan sebelum pandemi. Awalnya saya rasa pandemi ini bukan hanya dialami saya, tapi juga semua pebisnis lainnya, karyawan juga. Sehingga saat itu kita membuat satu strategi bisnis plan yang baru, terutama dalam proses. Jika dulunya dituntut untuk bertemu secara langsung, ini semua harus dilakukan secara online meeting. Jadi saat itu yang dilakukan adalah untuk melakukan komunikasi atau meeting lebih intens lagi. Biasanya, kalau kita bertemu secara langsung, jarang ya, ada berkala. Nah, karena pandemi ini kita biasanya jadi lebih intens agar mempermudah komunikasi. Kuncinya memang komunikasi untuk melakukan bisnis.
Challenge apa yang dirasakan Anda saat menjabat di sini (Qoala)?
Challenge mah banyak yah. Tapi kalau boleh share sedikit, memang kita ada di company yang multikultural. Sehingga dari background yang berbeda, meskipun ini namanya insurtech bukan berarti background kita semua sama, justru multikultural. Bahkan tidak hanya warga Indonesia saja. Jadi saat kita memimpin ini, kita perlu bisa mengatasi barrier yang ada dan mengembangkan empati dalam berkomunikasi. Tidak memiliki pandangan yang sama dan pendapat yang sama terutama mencapai gol masing-masing. Biasanya masalahnya mengkotak-kotakan tim masing-masing. Nah, jadi bagaimana caranya saya mampu lead leading tim saya untuk mempunyai kolaborasi kepada tim lain dengan empati. Sehingga bisnis kita dengan partner kita yang luar bisa terjalin baik.
Apa pencapaian terbesar Anda selama menjabat?
Mungkin pencapaian ini tidak harus selalu diukur dengan numbers ya. Meskipun number always speaks louder. Tapi pada akhirnya ultimate goal-nya adalah bisa membuat semua masyarakat memiliki adopsi asuransi dengan lebih mudah. Dan pencapaian terbesarnya selama perjalanan saya di Qoala pertama kali memang saya hanya pada mengembangkan finansial services industry. Kemudian diberikan kesempatan oleh manajemen dipercaya untuk meng-handle industri lainnya bahkan sampai regional.
Goal terbesar apa yang ingin Anda capai ke depannya?
Yang pasti karena Qoala lahir di Indonesia, maka fokus pertama pasti memastikan adopsi asuransi ini bisa tercapai, inklusi keuangan ini ada di Indonesia dulu. Kalau lebih besar lagi, masuk ke regional. Karena ternyata meskipun Indonesia ini merupakan center dari South East Asia, negara lain akan benchmark ke kita. Jadi mimpinya bisa mengembangkan di negara ASEAN lainnya. Jadi targetnya ya Indonesia dan ASEAN.
Apakah perjalanan karier Anda ada naik turunnya?
Berbicara tentang lika-liku, awalnya saya tidak pernah terbayang untuk terjun ke dunia financial industry, justru. Ini mungkin by accident. Tadinya maunya berkarier di dunia diplomat. Tapi ternyata jalannya ke financial services dimulai dari banking industry. Dari banking industry ke fintech saya sempat ada gap year. Gap year ini disebabkan saya harus lahiran prematur sehingga memutuskan untuk mengurus anak. Hampir dua tahun sebelum akhirnya balik ke dunia kerja, beradaptasi lagi dan langsung masuk ke fintech. Di mana bahkan dulu tidak ada regulasi untuk dunia fintech ini. Jadi saya belum tahu startup apa, fintech apa. Tapi akhirnya ketika saya bersyukur kembali ke dunia kerja langsung berkenalan dengan 'oh ini yang namanya startup'. Itu membuka perspektif baru lagi bahwa dunia financial services itu luas sekali dan ternyata ada yah apps apps seperti ini. Bahkan company saya sebelumnya malah bisa bersama regulator mengatur membuat satu peraturan yang akhirnya digunakan oleh fintech fintech lain.
Terus Mengupgrade Diri
Menjadi perempuan di dunia profesional, pernah menjumpai perlakuan diskriminatif?
Bisa dibilang selama saya bekerja, saya tidak terlalu merasakan masalah diskriminasi terhadap perempuan. Karena saya sendiri tipe yang speak up pada kebutuhan saya sendiri dan saya berpegang teguh pada apa yang saya pikir itu memang bisa saya kembangkan pada yang lainnya. Terkait diskriminasi itu tak terhindarkan lah. Baik di lingkungan pekerjaan atau bahkan di lingkungan keluarga nih. Tapi balik lagi, kalau kita juga punya peraturan yang jelas, definisi yang jelas akhirnya dapat dimasukkan satu edukasi. Karena kita ini ada di culture dan background yang berbeda-beda. Ketika sudah dibuat peraturan yang jelas diskriminasi, saya rasa seharusnya bisa memiliki kesempatan yang sama sih.
Bagaimana cara meminimalisir adanya diskriminasi di lingkunga kerja?
Kembali lagi pada kompetensi. Ketika kita sudah memiliki standar kompetensi yang jelas, maka sangat bisa diminimalisir diskriminasi. Ketika kita sudah punya standar kompetensi A, B, C. Sehingga kita fokus, ketika ada seseorang baik perempuan dan laki-laki, kompetensi sudah punya (requirement), itu yang menjadi dasar untuk saya bisa (making decision).
Bagaimana pendapat Anda agar perempuan lainnya bisa duduk di jabatan seperti Anda ini?
Sebenarnya saya bukan mengejar jabatan. Saya encourage perempuan tuh bukan untuk mengejar jabatan. Tapi kejar knowledge karena saya percaya bahwa ketika kita memiliki satu tujuan yang benar yaitu mengejar knowledge, yang lain akan follow, uang, jabatan akan follow. Jadi jangan lupa meng upgrade diri, kejar knowledge karena ketika kita sudah punya value, itu semua akan follow. Yang tadi saya bilang money, position akan follow after you upgrade yourself.
Cara mengupgradenya seperti apa?
After dua tahun gap year, tadinya saya merasa wah saya lulusan universitas local pertama. Saya berasal dari bank besar di Indonesia, itu semua luntur ketika saya ada di startup, saya pikir semua punya pengalaman, saya punya gap year, terus saya lihat CEO saya di tempat sebelumnya, lulusan Harvard terus banyak yang bekerjasama dengan saya tuh lulusan luar negeri. Itu tuh kayak sempat bikin minder sebelumnya. Saya harus ngapain? Saat upgrade diri, kerja keras, belajar lagi, harus mau rendah hati untuk belajar lagi, akhirnya yang saya lihat adalah mendapatkan hasilnya. Oh begini nih, sudah tahu celahnya seperti apa. Sehingga bisa mengupgrade diri dan pencapaian harus bisa konsistensi.
Apakah Anda sempat merasa gagal nggak?
Gagal mah pasti lah, merasa gagal saat di momen tidak bekerja lagi, tapi bukan berarti tidak bekerja itu kegagalan. Itu balik lagi ke passion masing-masing. Ada yang nyaman berdaya bukan di kantor tapi ada berdaya kantoran juga gapapa. Itu balik lagi ke masing-masing. Saat saya tidak kantoran, saya kursus juga sih meskipun bukan kurus yang dunia kantor, saya belajar ke make up saya juga sempat jadi make up artist. Jadi hobi dan bisa jadi profesi. Jadi kalau bisa saya berpesan, jangan sampai mengandalkan satu skill atau satu kondisi. Karena apapun bisa terjadi, just prepare yourself.
Wejangan untuk perempuan sedang ada di posisi belum seperti Anda?
Jangan pernah berhenti belajar dan bermimpi. Saya sempat ada minder nggak kerja, cuma di rumah dasteran doang, merasa aduh menggantungkan diri ke pasangan, bikin nggak nyaman buat saya. Bikin diri kita berdaya, tidak hanya kantoran. Karena pilihannya banyak, bisa dari rumah, kantor dll. Intinya jangan berhenti belajar, minderan karena itu mindset yang harus diubah. Saya rasa dengan harus punya self motivation yang tinggi bisa bikin kita keluar dari perasaan atau kondisi merasa tidak mapan. Hal itu relatif, mapan harus ini, standar orang lain beda. Intinya harus belajar seumur hidup, posisi atau uang tidak mendefinisikan diri saya.
Bagaimana jadi perempuan yang berdaya?
Kita tidak bergantung pada pasangan, anak, atau orang lain. Intinya kita bisa mandiri melakukan apapun ada atau tidak ada pasangan atau anak atau keluarga. Kita bisa menjadi apa yang kita mau. Karena buat saya, waktu saya masih single dan menikah, saya bisa melakukan apa yang saya mau sih.