Fimela.com, Jakarta Baru-baru ini majalah TIME meluncurkan daftar TIME100 Next 2022 pada kategori leaders. Dalam majalah tersebut Indonesia sepantasnya berbangga karena salah satu anak bangsa, Pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) masuk ke dalam kategori tersebut.
Dilansir dari liputan6.com Wiza merupakan aktivis lingkungan yang sangat berprestasi, masuknya ia ke dalam daftar tersebut tidak lepas dari kecintaannya terhadap lingkungan. Tak hanya itu, di The Orang Utan Project Wiza mengutarakan kegigihannya untuk bekerja di bidang konservasi.
“Saya memang ingin bekerja di bidang konservasi hanya saja dulu saya tidak tahu bagaimana caranya. Lalu, setelah lulus dari Biologi Kelautan Universitas Sains Malaysia, saya mencari pekerjaan di bidang konservasi." dikutip dari liputan6.com.
Advertisement
"Sayangnya, pekerjaan di bidang konservasi untuk lulusan baru seperti saya sangat sulit. Untuk itu, saya melanjutkan studi dan mendapatkan gelar Master. Lalu kini bekerja di bidang konservasi pertama saya di sebuah Lembaga pemerintah yang mengelola dan melindungi Ekosistem Leuser di Sumatera.” sambung Wiza.
Sebelumnya, pada 2014 Wiza mengenyam pendidikan PhD di Departement of Cultural Anthr Anthropology and Development Studies di Radboud University Nijmegen, The Netherlands. Dalam studinya ia tidak hanya bekerja di bidang konservasi, melainkan sebagai pendiri HAkA yang merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjuang untuk melindungi ekosistem Leuser di Sumatera.
Kegigihan Wiza untuk melindungi hutan semakin terlihat ketika menjalankan berbagai program untuk mendukung pelestarian hutan. Salah satunya, melawan pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar yang hanya ingin memanfaatkan Leuser sebagai sumber keuntungan pribadi. Dari kegigihannya tersebut Wiza pun berhasil memenangkan gugutan terkait pembangunan di Leuser pada 2012.
Advertisement
Prinsip yang teguh
Farwiza Farhan merupakan sosok aktivis perempuan Indonesia yang memperjuangkan keberlangsungan ekosistem, tak hanya itu sebagai Ketua dan Co-Founder Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA), Wiza terus berprinsip utnuk memperjuangkan ekosistem Leuser agar terus terawat.
Sebagai yayasan, HAkA selalu fokus untuk menjaga ekosistem di Leuser. Hal ini dilakukan karena Leuser merupakan tempat tinggal para spesies yang terancam punah, seperti harimau, orangutan, gajah, dan badak. Di Leuser sendiri kehidupan para spesies tersebut masih bisa dilihat dan ditemukan secara bersamaan.
HAkA merupakan sebuah yayasan yang bertujuan menjaga kelestarian hutan yang ada di Aceh. Yayasan ini didirkan pada tahun 2012 dengan prinsip yang berpegang teguh pada inklusifitas terhadap masyarakat. Tak hanya itu, yayasan ini hadir dengan komitmen untuk memberdayakan masyarakat yang hidup di garis terdepan konservasi, mulai saat itulah HAkA berpegang teguh pada prinsipnya.
Wiza mengatakan bahwa untuk melestarikan lingkungan, HAkA telah meluncurkan beberapa kampanye bersama para pemimpin grassroots enviromental dan akan terus menguatkan suara agar semakin banyak yang sadar akan pentingnya kelestarian ekosistem.
“Hal utama pekerjaan saya sendiri berkisar pada kontribusi terhadap arah strategis organisasi, serta dalam pengelolaan kampanye yang sedang dijalankan oleh organisasi,” kata Wiza.
Melalui tindakan yang dilakukan untuk memberdayakan masyarakan, mengambil tindakan hukum dan memobilisasi kampanye lokal, nasional, dan global. Wiza dan tim HAkA membantu membuka jalan bagi pembangunan berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan bagi masyarakat.
Dampak dari gerakan yang dilakukan oleh Wiza dan masyarakat Leuser bagi konservasi diakui dengan Future for Nature Award (FFN) 2017, Whitley Award 2016 dan Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021.
Menang melawan pemerintah
Dikutip dari Future for Nature, Leuser merupakan kawasan yang layak dilindungi, akan tetapi kawasan tersebut terus menerus berada di bawah ancaman perusahan-perusahaan eksploitatif, pemerintah, dan proyek-proyek pembangunan berskala besar dengan Bendungan Tampur sebagai proyek terbaru yang digarap.
Adanya pembangunan tersebut dapat memberikan akses terbuka ke kawasan hutan premier yang dapat menyebabkan terjadinya hutan gundul dan perburuan liar bagi para spesies yang ada di Leuser.
Untuk melindugi kawasan hutan Leuser, Wiza bersama HAkA bekerja sama dengan WALHI Aceh dengan mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh yang dianggap menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan izin Bendungan Tampur. Melalui gugutan tersebut, PTUN Banda Aceh akhirnya mengeluarkan putusan agar Gubernur Aceh mencabut izin yang telah diberikan untuk Bendungan Tampur.
Sebetulnya, Wiza tidak asing dengan kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan ekosistem Leuser. Salah satunya, kasus yang terjadi pada tahun 2012 saat HAkA melawan perusahaan kelapa sawit yang membuka hutan secara ilegal. Dari kasus tersebut diketahui bahwa perusahaan kelapa sawit dikenakan denda sebesar 26 juta dolar AS atau sekitar 395,4 miliar rupiah dan diwajibkan untuk merestorasi Rawa Gambut Tripa di Ekosistem Leuser.
Menurut Wiza dan para konservasionis lainnya yang melestarikan Ekosistem Leuser, ini merupakan sinyal kuat bagi proyek-proyek pembangunan di masa depan untuk tidak mengabaikan implikasi lingkungan demi kepentingan rencana mereka sendiri.
"Banyak proyek yang disebut-sebut atas nama pembangunan, tetapi sering mengesampingkan prinsip-prinsip pelestarian fungsi lingkungan kawasan, yang harus dipertahankan,” kata Wiza dikutip dari liputan6.com.
Penulis: Angela Marici
#Women for Women