Fimela.com, Jakarta Pandemi COVID-19 mengubah banyak aspek kehidupan kita. Rutinitas bersekolah, berkuliah, bekerja, dan beraktivitas lainnya membutuhkan banyak penyesuaian di situasi pandemi. Masih teringat jelas pada awal pandemi dan anjuran untuk tetap di rumah saja, sebagian besar di antara mengalami berbagai kecemasan dan kegelisahan.
Menghadapi pandemi COVID-19, kita menghadapi hal yang sama dan punya kegelisahan yang tak jauh berbeda. Buku kumpulan esai berjudul Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama karya Puthut EA ini pun mewakili sejumlah pengalaman yang juga dirasakan banyak orang ketika dilanda pandemi COVID-19. Kumpulan esai yang ditulis dalam rentang 2018-2021 ini sebagian besar mengangkat topik terkait pandemi yang disisipi sejumlah poin yang bisa jadi bahan perenungan kita.
Advertisement
Advertisement
Buku Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama
Judul: Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama
Penulis: Puthut EA
Penyunting: Ipank Pamungkas
Penyelaras Aksara: Pratiwi
Tata Letak: Imam Ardianto
Ilustrasi Sampul: Sekar Bestari
Rancang Sampul: Katalika Project
Penerbit: Shira Media
Cetakan Pertama, 2022
Sebagian isi buku ini tentang pandemi yang sama-sama sedang kita alami. Saya sebagaimana Anda, telah kehilangan banyak hal dalam pandemi ini. Selain jangan sampai kita kehilangan makin banyak lagi, dan jangan sampai semua pengorbanan kita dalam menghadapi pandemi ini, tidak mengubah cara kita dalam memandang dan memperlakukan dunia.
Ibu saya wafat dalam kondisi pandemi awal menerpa. Beliau sakit jantung. Ketika sakitnya kumat, dibawa ke rumah sakit. Sesuai standar, Ibu dicek terlebih dahulu apakah kena covid atau tidak. Ternyata kena. Akhirnya Ibu mesti dirawat di ruang isolasi. Dua minggu kemudian, karena sudah negatif, Ibu boleh pulang ke rumah. Tapi pihak rumah sakit lupa bahwa Ibu masuk ke rumah sakit karena sakit jantungnya. Ketika dirawat soal covidnya, sakit jantungnya tidak diintervensi. Begitu pulang, kondisi jantungnya sudah parah sekali. Ketika kami membawanya ke rumah sakit lagi, kondisi Ibu sudah makin berat. Akhirnya Ibu wafat setelah semalam berada di rumah sakit
***
"Selama pandemi corona pula manusia mengalami banyak hal yang membuatnya mencoba hal baru. Salah satunya yang dianggap penting adalah ketika bekerja dari rumah. Mau tidak mau, hal yang dulu tidak terpikirkan, harus mendadak dikerjakan. Manusia tidak perlu keluar dari rumah untuk mengerjakan hal yang dulu dianggap harus dikerjakan di luar rumah." (hlm. 38)
"Kita sedang mengalami kecemasan yang sama. Jangan sampai ekspresi kecemasan itu justru akan membahayakan dan melukai sesama manusia." (hlm. 45)
"Corona membuat kita takut lalu masuk ke jurang pesimistis. Tapi sekaligus kita mengerti bahwa ketakutan adalah alarm paling purba yang dimiliki manusia untuk menjaga keberlangsungan eksistensinya. Takut menjadi titik pijak untuk waspada dan bertindak. Takut membuat orang berusaha. Takut bisa berevolusi menjadi sikap optimis. Tinggal kita mau memilih yang mana." (hlm. 57)
"Orang bijak bilang, hidup ini adalah mengatasi satu masalah ke masalah yang lain. Itu artinya, salah satu hal yang melekat dalam kehidupan ini adalah masalah. Dalam bahasa yang lebih vulgar, kalau tidak mau ada masalah, ya tidak usah hidup." (hlm. 149)
"Kalau kita tidak punya rasa bosan, rasanya kita tidak manusia pada lazimnya. Tapi kalau kita tidak sanggup mengatasi rasa bosan, berarti kita tidak sedang berproses menuju manusia yang bijaksana." (hlm. 170)
Pandemi COVID-19 menghadirkan situasi yang tak pernah kita duga sebelumnya. Banyak kebiasaan yang harus disesuaikan. Bahkan ada yang harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup. Ada yang harus kehilangan pekerjaan. Ada yang harus kehilangan orang-orang terkasih karena terpapar virus corona. Ada pula yang harus berjuang lebih keras untuk bisa menghadapi diri sendiri dengan semua rasa bosan, cemas, was-was, dan jenuh.
Dalam esai berjudul "Dunia setelah Corona: Bakal Lebih Baik atau Lebih Buruk?", kita diajak untuk kembali merenungkan apakah kita sudah bisa menyikapi situasi pandemi dengan bijak. Membayangkan bagaimana kehidupan yang akan dijalani setelah pandemi membuat kita merasa perlu lebih baik bijak dalam menyikapi situasi yang ada. Hidup di tengah pandemi tidak mudah, dan ketika pandemi berakhir harapannya ada kehidupan yang lebih baik tapi itu akan sulit terlaksana bila tidak ada perubahan kebiasaan dan pola pikir yang lebih baik lagi.
Beberapa esai dalam buku ini membahas hal-hal menarik dan unik. Tentang filosofi telur, memaknai rasa bosan, menggali makna sukses, cara-cara unik mengatasi stres, dan soal sikap kebijaksanaan merupakan sebagian topik yang dibahas dalam buku ini. Membaca setiap esai di buku ini menghadirkan banyak inspirasi. Sejumlah esai juga memuat pengalaman penulis sendiri terkait perjalanan hidupnya, pilihan hidupnya, dan nilai-nilai yang ia yakini dan pegang teguh dalam menjalani hidupnya.
Ketika Kita Punya Kecemasan yang Sama, kumpulan esai di dalamnya bisa dibaca berurutan atau suka-suka sesuai keinginan. Bagi yang ingin menikmati kumpulan esai dengan gaya bahasa yang ringan, lincah, menggelitik, kontemplatif, dan cukup kritis, buku ini bisa jadi rekomendasi bacaan yang menarik.
#WomenforWomen