Fimela.com, Jakarta Bulan Ramadan senantiasa menghadirkan banyak kenangan dan kisah yang berkesan. Baik itu suka maupun duka, haru atau bahagia, selalu cerita yang sangat lekat dengan bulan suci ini. Cara kita memaknai bulan Ramadan pun berbeda-beda. Tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories bulan April dengan tema Light Up Your Ramadan ini pun mengandung hikmah dan inspirasi yang tak kalah istimewa.
***
Oleh: Pipiet Fitrianingsih
Advertisement
Bagaimanapun kita hidup cuma bisa berencana hanya Allah Sang Maha penentunya. Pertengahan Maret lalu bapak kekeh menyusul aku ke tempat perantauanku dalam keadaan sakit. Aku tak bisa menolak keinginan bapak. Aku pikir aku pulang juga tidak memungkinkan keadannya. Aku langsung menghubungi pihak travel untuk menjemputnya.
Hanya kurang lebih delapan jam perjalanan Tegal-Tangsel, bapak tiba. Kondisinya memprihatinkan. Aku tangisi bapak. Aku merasa gagal menjadi anak karena membiarkan orang tuaku sakit sendirian.
Advertisement
Kenangan Terakhir bersama Bapak
Bapak yang masih begitu semangat ingin sekali bisa bertemu Ramadan tahun ini dengan membawa peralatan salat dan tak lupa sandal baru untuk ke masjid, walaupun keadaannya saat itu tidak memungkinkan. Mungkin ini cara Alloh menengurku dan memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa merawat bapak.
Seminggu bersamaku keadaannya sedikit membaik setelah aku panggilkan dokter mengecek kondisinya. Seumur-umur bapak tidak pernah mengalami sakit serius. Tapi kali ini perasaanku benar-benar tidak enak banyak firasat yang membuat aku takut kehilangannya.
Bapak yang dari dulu memang hubungannya tidak baik dengan anak-anaknya, tiba-tiba ingin sekali kumpul dengan anak cucu. Kali ini ternyata firasatku benar dua minggu aku merawatnya Alloh memanggilnya menyusul mama yang sudah dua tahun lebih dulu menghadap-Nya.
Hancur, sedih tak terkira dan benar-benar tidak menyangka Alloh Akan secepat ini memanggilnya. Padahal baru kemarin bapak bilang ingin puasa dan tarawih dulu di kampung dan nanti lebaran kumpul lagi di Jakarta seperti lebaran kemarin.
Aku antar bapak sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir di kota Tegal dengan perasaan campur aduk. Aku merasa bersalah dan ya Alloh aku merasa menjadi anak durhaka.
Menjadi Yatim Piatu
Aku sekarang menjadi anak yatim piatu yang tak terbayangkan sebelumnya olehku. Ramadan dan Idul Fitri tahun ini menjadi tahun yang begitu berat. Setelah dua tahun aku tidak mudik, sekalinya aku mudik orangtuaku sudah tidak ada.
Aku tahu bagaimanapun aku harus bisa ikhlas menjalani setiap ketetapan-Nya. Aku lewati Ramadan sendiri di rumah yang dulu ada suara ngaji bapak setelah tarawih, gaya bicaranya yang khas, suara mama yang dulu sering membangunkan sahurku, sekarang tidak ada lagi itu semua bahkan suara dering telepon yang berbunyi dari mereka juga tak akan ada lagi.
Kenangan demi kenangan terlintas dalam sudut rumah dan melintas dalam pelipis mata. Masih teringat jelas ketika aku melahirkan anak pertama, cucu pertama mereka. Rona bahagia terpancar di pipi mereka.
Bapak mampu menggantikan peran suamiku yang jauh untuk menimang-nimang bayiku tatkala malam menjelang anakku tak kunjung tidur. Mama yang begitu bahagia ketika subuh tiba anakku mulai mengoceh dengan gaya khas bayi. Ah, semua itu makin membuatku makin teriris.
Andai waktu bisa aku putar kembali mampukah aku memperbaiki semua yang kami lewati bersama.
Perih tatkala aku membersihkan semua benda yang ada di sana, hanya doa dan air mata yang bisa aku panjatkan.
Aku tahu menangisi tak akan membuatnya kembali. Aku coba menerima walaupun dengan tetesan air mata berharap ke depannya akan lebih ikhlas tanpa batas.
Semoga Allah menempatkan bapak dan mama di tempat terindah dan khusnul khotimah, Ya Alloh, aamiin.
#WomenforWomen