Fimela.com, Jakarta Kalau mengingat pelajaran sejarah di bangku sekolah, kita diberitahu bahwa alasan yang membuat bangsa Kolonial Eropa menjajah Indonesia adalah rempah-rempah. Kekayaan rempah Nusantara membuat penjajah menguasai wilayah-wilayah penting di negeri ini dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Rempah-rempah sudah bagai harta yang sangat berharga, tetapi apakah kita sudah benar-benar menyadari betapa berharganya rempah-rempah yang ada di Indonesia? Lalu seiring waktu berjalan, seberapa besar dampak rempah-rempah terhadap kehidupan ekonomi dan sosial di masyarakat hingga saat ini?
Rumah di Tanah Rempah, buku tentang penjelajahan memaknai rasa dan aroma Indonesia ini menjadi referensi bacaan yang menarik soal rempah-rempah, sejarah beberapa lokasi di Indonesia, kuliner khas, hingga sejumlah peristiwa penting yang pernah terjadi di Nusantara ini. Kita akan diajak berkeliling dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimatan, Papua, Sulawesi, hingga Maluku. Kita akan diajak menelisik sejarah-sejarah penting di negeri ini soal rempah-rempah hingga kuliner-kuliner menarik di setiap daerah yan dikunjungi oleh penulis. Bahkan kita pun seakan ikut terlibat dalam obrolan-obrolan hangat bersama warga lokal terkait keragaman budaya yang ada.
Advertisement
BACA JUGA
Advertisement
Buku Rumah di Tanah Rempah
Judul: Rumah di Tanah Rempah
Penulis: Nurdiansyah Dalidjo
Editor: Intarina
Tata letak isi: Marcel A.W
Desain sampul: Marcel A.W
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rumah di Tanah Rempah merupakan rangkaian kisah perjalanan yang mengajak pembaca untuk mengenal Indonesia melampaui lintasan zaman melalui tradisi rempah. Cerita-cerita tak hanya disusun dari bermacam sumber literatur, melainkan pula obrolan dengan orang-orang yang ditemui dalam perjalanan sambil mencicip kesedapan rasa serta aroma di kebun rempah, kedai, warung kopi, pasar, dan dapur.
***
"Apa arti rumah bagi saya? Apa arti Indonesia sebagai rumah bagi kita?Maka, perjalanan mengelilingi tempat-tempat dengan tradisi rempah di Nusantara pun saya mulai dari Lampung. Dan jejak kaki saya terus melangkah secara acak sepanjang tahun 2014 hingga pertengahan 2018." (hlm. 16)
"Tanaman yang berasal dari Malabar, India tersebut pernah mendapat julukan Raja Rempah (The King of Spice). Ada pula yang menyebutnya malabar berry, benda paling berharga di dapur orang-orang Eropa pada Abda Pertengahan. Portugis pernah memonopoli perdagangan lada hitam dunia selama 100 tahun. Kala itu harganya setara emas." (hlm. 50)
"Seperti apa kita hendak membayangkan menjadi tua? Perenungan itu muncul dalam suatu perjalanan. Jika waktu hanya perspektif belaka, tentu tua bukanlah perkara." (hlm. 75)
"Menjauhi kawasan pusat kota, suasana perdesaan menghiasi perjalanan yang kami tempuh. Selain sawah, apalagi kalau bukan perkebunan dan suasa kampung. Saya menikmati kontrasnya pemandangan langit biru terang dan hijau zamrud. Cuaca terik, tetapi terasa sejuk." (hlm. 169)
"Di perjalanan meninggalkan NTT, saya memeluk ransel dengan rasa girang. Saya menyimpan sekumpulan harta karun berupa kantong-kantong rempah yang mewakili setiap pulau di Flobamorata. Saya membayangkan dengan apa yang saya dapatkan ini, seharusnya saya bisa jadi orang kaya raya." (hlm. 274)
Rempah-rempah bukan warisan berharga semata. Ada berbagai macam aspek yang terlibat di dalamnya, mulai dari aspek budaya, sosial, hingga ekonomi. Lada hitam yang dulu harganya bisa setara emas kini harganya naik-turun dan tidak menentu, seringkali harganya kini di bawah Rp100 ribu per kilogram. Ketika penulis melakukan perjalanan ke Pulau Bangka, situasi lada saat ini jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu.
Melalui buku ini kita juga diajak untuk menelusuri sejarah dan berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya soal mengingat kembali masa penjajahan, tetapi juga peristiwa-peristiwa penting, budaya lokal, dan sejarah suatu lokasi. Di Palembang misalnya, pernah ada yang namanya Tahun tanpa Pempek. Di Minang, rendang merupakan makanan hantaran yang wajib ada di setiap acara. Di Ternate, kawan penulis menceritakan bagaimana dulu keluarganya memiliki tradisi menanam benih pohon atau membuka kebun baru ketika seorang anak lahir.
Buku ini ditulis dengan gaya penulisan jurnal perjalanan. Semua pengalaman penulis yang dipaparkan melibatkan pengalaman bertemu dengan kawan-kawannya, bertukar cerita dengan warga lokal, pengalaman mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah di setiap kota yang dikunjungi, pengalaman mencicipi ragam kuliner menarik, serta sejumlah refleksi diri. Tema rempah-rempah mungkin bukan jadi tema yang paling dominan dibahas di buku ini, tetapi menghadirkan banyak wawasan dan sudut pandang baru yang selama ini belum pernah kita tahu atau dengar saat dulu belajar sejarah di bangku sekolah.
Buku yang menyenangkan, inspiratif, sekaligus informatif. Rumah di Tanah Rempah, tak hanya mengajak kita menjelajahi berbagai tempat eksotis di Nusantara tetapi juga membuat kita kembali memaknai arti rumah bagi diri kita pribadi.
#WomenforWomen