Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Ruby Astari
Pernah aku benci terlahir sebagai perempuan. Sejak kecil, aku sudah cukup peka melihat banyaknya stigma buruk yang dilekatkan pada perempuan. Mulai dari “lemah”, “harus selalu dilindungi”, “cengeng”, pokoknya banyak sekali. Bahkan, sewaktu sekolah pun, aku pernah beberapa kali marah karena anak-anak laki pun banyak yang merendahkan perempuan.
Sempat Ingin Jadi Laki-laki dan Bergaya Tomboy
Tumbuh dengan membaca serial detektif anak-anak Lima Sekawan karya Enid Blyton sempat membuatku ingin jadi laki-laki dan gemar bergaya tomboy. Bisa dibilang, aku terpengaruh oleh karakter Georgina “George” Kirrin dalam cerita itu.
George adalah seorang anak perempuan yang lincah, tomboy, dan pemarah. Kerjaannya naik sepeda, bermain dengan anjing kesayangannya yang bernama Timothy alias Timmy, hingga berpetualang bersama ketiga sepupunya setiap liburan sekolah. Yang menjadi ciri khas karakternya, George selalu berambut pendek, enggan memakai rok, dan lebih suka dikira anak laki-laki daripada anak perempuan.
Waktu itu, aku belum tahu bahwa perilaku semacam itu pada perempuan adalah misogini (kebencian terhadap kaumnya sendiri) yang terinternalisasi. Aku hanya tahu aku begitu mirip dengan George – tomboy, tidak mau pakai rok (apalagi warna pink), dan diam-diam lebih ingin jadi anak laki-laki. Apalagi, banyak sekali anak laki-laki di sekolah yang gemar mengganggu anak-anak perempuan, lalu mengejek mereka dengan sebutan cengeng begitu anak-anak perempuan yang mereka ganggu menangis.
Sejak itu, aku mulai terobsesi mengalahkan anak laki-laki dalam banyak hal. Misalnya: pernah ikut kursus bela diri, sambil berharap suatu saat ada kesempatan untuk berkelahi dengan anak laki-laki. Fase ini diperparah dengan banyaknya orang-orang dewasa di sekitarku yang hobi membanding-bandingkanku dengan kakak perempuanku. Menurut mereka, seharusnya aku lebih seperti kakakku – berusaha menguruskan badan, berdandan cantik, suka main masak-masakan, suka main boneka, pokoknya berperilaku serba manis menurut versi mereka.
Advertisement
Sempat Stres dengan Perubahan Tubuh Sendiri
Meskipun belum menonton film “Turning Red” saat menulis artikel ini, aku sudah bisa membayangkan jalan ceritanya. Pertengahan sekolah dasar, aku mulai stres dengan perubahan tubuh sendiri. Payudaraku yang lebih besar dari ukuran anak-anak perempuan lain saat itu dapat giliran jadi sasaran ledekan anak-anak laki-laki.
Tidak hanya itu, aku juga membenci haid yang datang setiap bulan. Tubuhku jadi terasa lemah. Aku jadi cepat lelah. Bahkan, pernah beberapa kali aku nyaris pingsan hingga tidak masuk sekolah. ‘Tamparan’ lebih menyakitkan adalah saat mendengar komentar Kakak pada Mama, “Kok Ruby kalo haid bisa sampai pingsan-pingsan begitu?”
Menyebalkan sekali, bukan? Bubar sudah cita-citaku untuk menjadi lebih kuat secara fisik. Semakin benci aku menjadi perempuan, meskipun sadar aku juga tidak mau menjadi anak laki-laki. Aku juga benci sekali dengan anak-anak laki yang gemar sekali meremehkan perempuan.
Temukan dan Tentukan Definisi Kuat Versimu Sendiri
Syukurlah, lama-lama aku sadar bahwa untuk menjadi perempuan kuat tidak berarti harus sama seperti standar orang lain, termasuk menyamai laki-laki. Pada kenyataannya, setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekuatan mereka masing-masing.
Tidak usah membanding-bandingkan kekuatan laki-laki dengan perempuan. Bahkan, sesama laki-laki maupun sesama perempuan punya kelebihan dan kekuatan berbeda. Bukankah itu fitrah manusia? Kenapa kita harus saling menghina dan merendahkan? Kenapa harus ada standar sama yang dipaksakan kepada semua?
Aku mulai menemukan dan menghargai berbagai jenis kekuatan dari semua orang yang kukenal, terutama perempuan. Misalnya Mama yang tahan bertahun-tahun mengurus tiga anak dengan tiga kepribadian berbeda. Sahabatku di Australia, seorang perempuan yang lebih muda dua tahun dariku, namun lebih cepat dewasa sejak perceraian orang tuanya. Sejak kecil, gadis itu selalu berusaha keras mendapatkan beasiswa agar tidak perlu merepotkan siapa-siapa.
Advertisement
Menjadi Perempuan Kuat
Bahkan, aku mendapat cukup banyak pengakuan dari teman laki-laki bahwa ternyata mereka tidak selalu kuat. Ada kalanya mereka merasa pusing dan nyaris ingin pingsan saat sakit. Ada kalanya mereka hanya ingin menangis karena sedih, seperti patah hati saat dikhianati pacar atau bercerai dari istri.
Bahkan, aku pernah syok berat mendengar kabar usaha bunuh diri seorang sahabat laki-laki sewaktu dia masih kuliah di Inggris. Untunglah, ada seorang teman kuliahnya yang berkunjung ke kamar asramanya dan segera mencari pertolongan.
Sayangnya, masih banyak orang yang nyinyir dan hobi memberi stigma pada yang mereka anggap lemah. Meskipun sulit, lebih baik kita fokus sama kekuatan kita sendiri saja. Tidak ada manusia yang 100 persen kuat dan mandiri. Mereka pun sesekali membutuhkan bantuan orang lain dan itu tidak berarti mereka menjadi lemah.
Tidak perlu membuktikan kekuatanmu dengan mengangkat galon air minum atau membetulkan genteng, seperti yang sering ditantang oleh laki-laki yang tidak suka dengan perempuan berdaya. Temukan dan tentukan definisi kuat versimu sendiri sebagai perempuan dan manusia.
Selain itu, kekuatan sejati manusia adalah kebaikan mereka, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tidak jumawa saat sedang (merasa) berjaya, karena roda kehidupan akan selalu berputar. Tidak masalah bila sesekali meminta bantuan. Namun, percayalah bahwa dirimu sanggup melakukan banyak hal. Jadikan semangat agar membuatmu semakin kuat.
#WomenforWomen