Fimela.com, Jakarta Saat mengingat kembali nama-nama penulis Indonesia yang kerap muncul di buku pelajaran bahasa Indonesia atau yang pernah dibahas di bangku-bangku sekolah, rasanya jarang sekali mendengar atau membahas nama penulis perempuan. Kebanyakan yang kita kenal atau karyanya kita bahas adalah dari para penulis pria. Padahal Indonesia memiliki sejumlah penulis perempuan luar biasa yang telah memberi banyak karya berharga.
Yang Terlupakan dan Dilupakan, buku ini memuat sepuluh esai yang ditulis oleh sepuluh penulis Indonesia tentang sepuluh penulis perempuan Indonesia yang karya-karyanya memuat berbagai persoalan perempuan di tengah masyarakat. Esai-esai dalam buku ini menghadirkan kembali ruang untuk menghadirkan sosok-sosok penulis perempuan yang telah menorehkan sejarah penting serta mengumpulkan semangat yang bisa menjadi harapan untuk generasi terkini.
Advertisement
BACA JUGA
Advertisement
Tentang Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia
Judul: Yang Terlupakan dan Dilupakan
Pengantar: Ayu Ratih
Editor: Pradewi Tri Chatami
Ilustrasi isi dan sampul: Sabina Kencana
Cetakan Pertama, Oktober 2021
Penerbit: Marjin Kiri
“Akoe pertjaja dengen goenaken kaoe poenja pena poenja katadjeman, Kaoe bisa bekerdja banjak goena kaoem prampoean di ini djeman, Kaoe bisa bebasken kita-orang semoea dari segala atoeran kakedjeman, Kaoe bisa bikin kita-orang poenja kasedian terganti oleh senjoeman” —Dahlia (Tan Lam Nio), 1928
“Kami bukan lagi / Bunga pajangan / Yang layu dalam jambangan Cantik dalam menurut / Indah dalam menyerah / Molek tidak menentang Ke neraka mesti ngikut / Ke sorga hanya menumpang” —Sugiarti Siswadi, 1959
Dua nama penulis perempuan di atas nyaris tak dikenal umum, padahal pada masanya, keduanya—serta masih banyak lagi penulis perempuan lainnya—aktif membuahkan karya-karya fiksi maupun non-fiksi yang memuat persoalan-persoalan perempuan di tengah masyarakat yang berubah. Sejarah politik, dominasi maskulin dalam lingkaran sastra dan sosial, telah turut berperan mengecilkan bahkan menghapus nama para perempuan ini. Ajip Rosidi menjuluki Hamidah sebagai “pengarang wanita yang gemar bersedih-sedih”, karya Hamidah yang belum terbit juga dihancurkan oleh suaminya, sementara S. Rukiah, Sugiarti Siswadi, dan Charlotte Salawati dipenjara oleh Orde Baru, dan secara khusus H.B. Jassin ikut menghapus karya-karya Rukiah dari edisi buku Gema Tanah Air sesudah 1965. Kini, 10 penulis perempuan muda yang tergabung dalam kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan mencoba membaca mereka kembali dan menghadirkan ketokohan, karya, dan semangatnya bagi generasi terkini.
***
"Merefleksikan karya-karya S. Rukiah seperti menyelami berlapis-lapis memori kolektif dan kerumitan sosial. Strategi naratifnya mengajak kita untuk kembali mempertanyakan asumsi-asumsi yang sebelumnya kita anggap mapan secara historis, kultural, hingga psikologis." (hlm. 66)
"Hal lain yang menarik terkait karier Omi sebagai penulis adalah ia merupakan salah satu penulis Indonesia yang pertama kali menjelajahi dunia digital." (hlm. 91)
"Beberapa karya Ratna sekilas tampak hanya menampilkan gejala-gejala keadaan dan suasana kehidupan masyarakat, tetapi sebenarnya hal ini adalah siasat untuk memberikan fungsi simtom dalam cerita-ceritanya, berupa refleksi budaya yang terjadi di lingkungan Ratna."
"Meski mengancam pemahaman masyarakat negerinya, Hamidah melakukan persuasi yang sanagt lembut kepada warga negerinya agar memperkenankan perempuan keluar rumah dan mendapat pendidikan." (hlm. 216)
"Atau mungkin, di penghujung usianya, Dahlia menyadari betapa pentingnya peranan lelaki dalam menguatkan posisi perempuan. Di tengah masyarakat yang kala itu masih menganggap begitu rendah posisi perempuan, penting sekali untuk menemukan 'corong' yang bisa digunakan untuk bersuara." (hlm. 257)
Dalam Pengantar Kolektif buku ini, ada harapan untuk bisa melakukan lebih banyak usaha untuk melakukan pembacaan tehradap karya-karya para perempuan penulis di Indonesia. Membaca kumpulan esai di buku ini membuka pandangan dan wawasan kita lebih luas lagi tentang betapa penting dan luar biasanya upaya setiap perempuan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan melalui tulisan-tulisan.
Seperti melewati lorong waktu, uraian di setiap esai ini mengajak kita untuk menembus dimensi ruang dan waktu tentang betapa panjangnya perjuangan tiap perempuan. Begitu banyak problema yang dihadapi tiap perempuan dari tiap generasi.
S. Rukiah Kertapati, Suwarsih Djojopuspito, Omi Intan Naomi, Ratna Indraswari Ibrahim, Sugiarti Siswadi, Saadah Alim, Maria Ullfah, Hamidah/Fatimah Hasan Delais, Dahlia/Tan Lam Nio, dan Charlotte Salawati adalah sepuluh penulis perempuan Indonesia yang karya-karyanya dan kisah hidupnya diceritakan dan diuraikan di buku ini. Begitu banyak inspirasi yang bisa dipetik dari karya-karya dan kisah hidup mereka. Bagi perempuan generasi terkini, inspirasi dari mereka bisa menjadi suntikan semangat untuk meneruskan perjuangan menyuarakan keadilan dan kesetaraan dengan menghadapi tantangan-tantangan baru yang berbeda.
Yang Terlupakan dan Dilupakan, salah satu buku penting untuk mengingatkan kita kembali betapa besar dan pentingnya pengaruh penulis perempuan Indonesia dalam sejarah dan perubahan yang terjadi di tanah air dari masa ke masa. Buku yang sangat bagus untuk membuat kita tergerak dan tetap bersemangat dalam melakukan upaya-upaya yang mampu kita lakukan untuk menyuarakan keadilan, khususnya melalui karya dan tulisan.
#WomenforWomen