Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Eva Nurfatimah
Ma. Malam ini aku terbangun karena resah akan nanti pagi. Setelah kabar yang aku terima kemarin sore, pagi ini aku harus menempuh perjalanan jauh untuk mengusahakan sebuah pekerjaan.
Mudah-mudahan pekerjaan ini baik untuk aku, dan juga untuk anakku. Banyak sekali hal yang harus aku kondisikan untuk bisa lenggang berangkat dari rumah. Aku harus lebih dulu berkomunikasi dengan suamiku tentang banyak hal.
Kebetulan sekali suamiku pun harus juga pergi ke kantor, hari ini tidak bekerja dari rumah. Dan kami harus memetakan kondisi terbaik karena si kecil harus tetap ada yang menjaga. Jam 8 aku harus sudah sampai di lokasi kerja dengan jarak tempuh apabila berkendara sendiri bisa sampai 2 jam, bahkan lebih.
Belum pula soal jalanan yang diberlakukan ganjil genap. Hari ini tidak sesuai angka belakang kendaraanku dan aku jadi tidak yakin untuk mengendarainya. Jika aku harus menggunakan kereta, jam berapa ya nyamannya aku harus berangkat? Jika aku harus ikut suami naik motor, sampai titik mana aku bisa ikut untuk selebihnya menyambung perjalanan dengan moda transportasi lain? Lalu bagaimana dengan si kecil ya Ma?
Ini sunggung membingungkan, Ma.
Entah kenapa jadi terlintas dalam ingatan masa-masa kecil dulu, mungkin umurku sekitar 3 atau 4 tahun, ya, Ma waktu itu. Setiap pagi Mama mengkondisikan situasi agar Mama bisa berangkat kerja.
Sebelum naik angkot, Mama mengantarku ke rumah Mak Ejen, tetangga kita yang tua dan tekun. Saat itu aku hanya tahu bahwa setiap Mama berangkat pergi dari rumah, aku juga harus ikut Mama sampai rumah Mak Ejen, bermain seharian di sana sampai Bapak menjemputku pulang atau sampai Mama sendiri menjemputku pulang. Dan itu terjadi hampir setiap hari. Mama tidak menitipkanku kepada Mak Ejen saat Bapak tidak ada jadwal mengajar hari itu.
Tanpa sadar, aku jadi membandingkan kehidupanku sekarang dan kehidupan Mama kala itu. Sepertinya tidak jauh beda, ya, Ma.
Faseku hari ini adalah aku tidak punya banyak pilihan untuk bisa melakukan hal yang diinginkan dengan nyaman, dengan harus berpikir keras untuk mengambil pekerjaan yang bahkan tidak setiap hari aku lakukan, dengan ketahanan finansial yang juga belum bisa dikatakan sudah sampai di titik aman, dengan segala drama siapa-yang-menjaga-anak, dengan segala hal yang siap tidak siap harus dijalani. Fasenya Mama dan Bapak saat aku seusia anakku sekarang.
Ma, mataku basah saat menulis ini. Tapi aku harus katakan bahwa tidak mudah ternyata, ya, jadi Mama, jadi seperti Mama. Mama hebat. Mama tidak pernah mengeluh kala itu, sementara aku mudah putus asa dan mudah merasa gagal.
Mama bangkit setiap hari tanpa pedulikan bagaimana sebetulnya keinginan Mama sendiri dalam menjalani hari. Mama hadapi semua dengan tekun, tenang, dan sabar. Mama melewati hari demi hari, membesarkan aku dan adik-adik, mencintai dan mematuhi Bapak yang juga mencintai.
Mama dengan seluruh hidupnya, sambil pula mengembangkan karier di tempat Mama bekerja. Bahkan sepulang kerja pun, Mama masih sempat membuat berbagai olahan makanan untuk dijual. Dan semua itu, masih Mama lakukan dan tidak berhenti hingga sekarang.
Ma, dua hari lalu saat adik datang ke rumah, entah kenapa adik bilang bahwa dia merasa Mama menua. Saat itu kujawab bercanda saja, bahwa memang siapa pun yang hidup hingga tua pasti menua, tubuh mengecil, kulit mengeriput, rambut menipis, dan lain sebagainya. Adik tertawa saja mendengar komentarku. Tapi malam ini, saat menulis semua ini, aku jadi merasa bahwa perkataan adik tentang Mama yang nampak tua sekarang adalah sesuatu yang dalam.
Semua yang berubah pada fisik Mama seolah memberikan gambaran bahwa banyak sudah yang Mama lakukan dalam hidup Mama. Dan Mama harus bangga akan itu, Ma.
Mama berhasil.
Mama lulus.
Mama juara.
Apa aku bisa seperti Mama, ya, Ma? Kuat setiap hari menghadapi hal-hal di luar dugaan dalam membesarkan buah hati, tangguh setiap saat melewati banyak persoalan yang ada dalam kehidupan pernikahan, tenang setiap kali ujian dan cobaan datang, tegas memilih solusi mana yang paling menyamankan Mama untuk banyak hal yang membutuhkan keputusan cepat Mama. Dan bagaimana Mama melakukan semuanya dengan tetap penuh cinta kepadaku, adik-adik, juga Bapak?
Aku selalu merasa semuanya mudah saat ada Mama. Aku selalu merasa Mama menyimpan semua jawaban misteri dunia. Aku juga merasa Mama mengetahui semua hal yg disembunyikan semesta.
Mama, matamu bisa jadi sudah tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, batinmu mengembara pada fananya dunia dan menemukan setiap kunci pada bangak jalan buntu.
Mama, tubuhmu menua dan bisa jadi tidak kuat lagi untuk berjalan tegak pada takdir yang tidak pernah Mama serahkan nasibnya pada siapa pun. Mama sudahi semua apa yang Mama mulai, dengan baik. Tentu saja.
Mama, setiap detik kasih dari Mama adalah setiap tetes darah pada tubuhku dan adik-adik. Bahkan sehatnya Bapak, pula karena kekuatan cinta Mama kepada kami.
Laksana bulan, Mama menemani;
Laksana aksara, Mama memaknai;
Laksana dupa, Mama mengitari;
Laksana padma, Mama mengajari;
Laksana raja, Mama memberkati,
Aku, adik-adik, dan Bapak.
Kami bisa merasakan cinta, karena Mama.
Bogor.
Desember 2021.