Fimela.com, Jakarta Selalu banyak cinta dan hal istimewa dalam hubungan seorang anak dan ibu. Mungkin tak semuanya penuh suka cita, sebab ada juga yang mengandung duka lara. Masing-masing dari kita pun selalu punya cerita, seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela untuk mengikuti Lomba Ungkapkan Rasa rindu pada Ibu di Share Your Stories Bulan Desember ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Tyas Ary Lestyaningrum
Hari itu aku menghambur mendekat ke ibu. Ibu adalah satu-satunya teman bicara yang selalu tahu bagaimana menjawab pertanyaan dan kebimbanganku. Ibarat ensiklopedi sekaligus bantal empuk, siap menenangkan dan memuaskan rasa ingin tahuku.
Dan aku mulai mengadu, "Ibu, aku sedih banyak teman-teman yang mengejekku. Katanya aku hitam tapi sipit, aku jelek ya Bu?"
Sembari tersenyum ibu menatap dan menepuk punggungku. Sampai hari ini pun aku masih mengingat kata-kata ibu, "Kalau Tuhan membuat matamu tidak sipit, kamu tidak akan secantik sekarang, Ndhuk."
Advertisement
Ibu yang Senantiasa Menguatkan Hatiku
Aku menatap baik-baik mata ibu, lebih lebar namun tak berkelopak, sama seperti mataku. Aku anak ibu, sudah barang tentu sah saja mewarisi matanya. Dan kuharap juga kebijaksanaannya.
Ibu adalah sosok pejuang yang hampir tak pernah memikirkan dirinya. Sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk kebahagiaan orang tua dan adik-adiknya. Ibu anak pertama dari delapan bersaudara, yang ditinggal nenek berpulang tak lama setelah melahirkan adik bungsu ibu. Kakek adalah seorang penjahit yang penghasilannya sangat pas-pasan sehingga ibu ikut berjuang membantu menghidupi keluarga sedari mudanya.
Kerja keras ibu sebagai istri sekaligus kakak bagi adik-adiknya nyaris tanpa batas. Masih segar dalam ingatanku ibu memboyong dua adiknya ke Salatiga agar bisa melanjutkan sekolah mereka. Ibu juga yang rutin menengok kakek dan adik-adiknya di Ambarawa, memastikan mereka baik-baik saja, dan tentu saja terpenuhi keperluannya.
Setiap ada rezeki lebih ibu tak pernah menghamburkannya, selalu disimpan baik-baik. Kapan pun dengan ringan ibu akan mengeluarkannya untuk keperluan keluarga. Tak terkecuali dan tak hitung-hitung lagi.
Saat aku akan lulus SMA, ibulah yang paling berbahagia sekaligus bersedih. Bahagia karena anaknya berhasil menyelesaikan SMA dan diterima di perguruan tinggi yang diinginkan. Namun sedih karena akan perlu waktu untuk bisa bertemu dan berpelukan.
Ibu adalah perencana yang baik, bisa kupastikan event organizer manapun tak akan bisa menandinginya. Setiap kami akan bepergian jauh sampai hajatan keluarga ibu selalu terdepan mempersiapkan dengan matang. Tetangga kanan kiri dengan senang hati berdatangan, sesuatu yang sangat kusyukuri karena itu berarti ibu adalah orang baik, disayang semua orang.
Ibu yang Bekerja Keras Luar Biasa
Ibu juga tak pernah mempertanyakan keperluan-keperluanku, yang aku tahu akan banyak memakan anggaran. Ibu selalu memastikan bahwa sudah selayaknya seorang ibu berjuang demi cita-cita anaknya. Ah ibu, aku benar-benar tak bisa berkata-kata lagi akan ketulusanmu.
Ada kalanya ibu marah pada anak-anaknya. Dari marah kecil hingga marah luar biasa. Di balik kelembutannya ada sebuah naluri untuk menjaga anak-anaknya, agar selalu berada di jalan yang benar demi masa depan mereka. Sebagai seorang ibu, hari ini aku mulai paham semua alasan di balik kemarahannya. Tak lain karena ibu menginginkan yang terbaik untuk kami semua.
Sesekali sepulang sekolahku aku sengaja mampir ke kantor ibu. Melihatnya sigap bekerja, aku sangat suka. Ke sana kemari dengan peralatan headsetnya. Pulpen di tangan sesekali menulis catatan. Bahkan kertas-kertas blangko sisa yang siap dibuang dikumpulkannya, dibawa pulang untuk kami manfaatkan bagian kosong di baliknya. Sekadar untuk menggambar, atau coret-coret mengerjakan soal matematika. Ibu sungguh layak disemati pahlawan reduce,reuse, and recycle bahkan di saat kata-kata itu belum dikenal.
Ibu tak pernah berhenti berjuang, bahkan sampai akhir hayatnya. Sampai cucu-cucunya lahir ibu ada di garda terdepan, hadir tanpa diminta untuk merawat cucu-cucunya. Maafkan aku ya Bu. Jarak Salatiga Bekasi cukup jauh namun sanggup kau taklukkan, seperti perjalanan sekejap mata. Betapa besar kasih sayangmu.
Dan aku kembali mengenang hari itu, saat ibu mendandani kami mengenakan kebaya Kartini buatan kakek. Aku dan kakak sangat bersemangat mengenakan sanggul mungil dan merasakan sensasi semprotan dingin hair spray di kulit kepala. Sreeet sreeett... lincah ibu menggelung rambut kami. Mengoleskan lipstik merah yang tak lama akan pudar kami jilati.
Ibu, barangkali engkau titisan Kartini yang pejuang itu. Atau mungkin juga kau kecipratan darah Srikandi yang tak kenal menyerah. Yang jelas, kau juga mewarisi kecerdasan Dewi Sartika, aku yakin sekali itu.
Hari itu aku menggandeng suamiku, menyusuri rumput kering di pemakaman belakang rumah kakek. Di situ makam ibu, kakek, dan nenek berjajar rapi. Seolah kau di dekat kami, dan membisikkan kepadaku. "Benar kan Ndhuk, suamimu itu jatuh cinta karena mata sipitmu. Jangan khawatir akan apa pun, dan terutama berjuanglah untuk anak-anakmu."
Maturnuwun Ibu.
#ElevateWomen