Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Eka Kartika
Teruntuk Aba, Ayah yang begitu kami kasihi, hormati, dan cintai karena Allah Ta'ala. Satu bulan menjelang kepergianmu, saat menemani tidur malammu, sebuah kenangan hadir dalam benakku. Ketika aku kecil, setiap malam engkau selalu menemani tidur malamku, mengipasi, sambil bersenandung keroncong, dan atau bercerita tentang kisah pewayangan hingga aku terlelap.
Sabtu, 9 November 2019 kita bertemu dan berkumpul di kota Sumedang, yang merupakan kota kelahiran Mama. Ternyata, itu adalah pertemuan terakhir kita. Sebuah kenangan kembali melintas saat menemani menit-menit terakhir perjalanan hidupmu.
Puluhan tahun silam, setiap ahad siang ba'da Zuhur, engkau dudukkan kami anak-anakmu untuk menghadap seorang guru mengaji. Semua anggota keluarga wajib belajar Al Qur'an. Aku, kakak-kakakku, dan adikku yang saat itu masih belia begitu sering berharap tak ada pengajian di hari libur. Kantuk yang menyerang, cemas dengan kehadiran guru yang sangat disiplin, dan keinginan menonton televisi yang terasa sangat menggoda. Ketegasan Aba membuatku dan yang lain tak berdaya untuk menghindari rutinitas tersebut.
Tak pernah terbersit dalam benak, apa yang engkau tanamkan dahulu menjadi arahan bagiku dan saudara kandungku dalam menemani hari-hari terakhirmu di dunia fana ini. Kisah lalu terulang, tapi kami yang melakoninya.
Saat malam tiba, tak ada senandung keroncong atau kisah Pandawa Kurawa sebagai pengantar tidurmu di malam yang terasa begitu panjang. Kami menggantikannya dengan lantunan Al Qur'an dan senandung sholawat yang teruntai dari mulut kami sambil mengusap tubuh ringkihmu yang terasa menyayat hati. Matamu yang terpejam tak seperti mata kami dahulu saat kau menina bobokan.
Advertisement
Selamat Jalan, Aba
Mata yang tertutup dan tubuh yang sesekali bergerak seolah mengisyaratkan kegelisahan. Kupeluk Aba dan kuusap wajah dan tubuhnya dengan penuh kasih seperti yang dulu selalu beliau lakukan untukku. Kupanjatkan doa agar Allah memudahkan lisannya untuk melafalkan asma-Nya. Kubisikkan di telinganya bahwa anak-anaknya akan menjaga Mama, perempuan yang begitu setia menemani kisah suka duka hidupnya.
Tiba-tiba kau buka matamu seolah terlihat bahagia dengan janji yang kuucapkan dan bibirmu bergerak perlahan. Kuucapkan sekali lagi bahwa kami ikhlas dan memohon maaf atas segala salah dan khilaf.
Beliau mengangguk lemah dan terucaplah kata, "Allah ...Allah ... Allah." Sejenak aku tertegun hingga aku menyadari matanya kembali tertutup dan tak lagi terbuka. Aku menangis, kakakku memeluk Mama.
Engkau tertidur dalam damai. Malaikat telah datang menjemput dan membawamu dengan kendaraan terindahnya untuk menemui Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta'ala. Selesai sudah perjalanan hidupmu selama delapan puluh empat tahun yang penuh liku namun tetap sarat kebahagiaan.
Innaa lillaahi wainnaa ilaihi rooji'uun. Kuusap tangannya untuk terakhir kali. Tangan yang sudah menjaga kami hingga dewasa. Kupegang kakinya yang sudah menjelajahi bumi Allah untuk mencari nafkah bagi keluarga. Kucium pipinya seperti yang selalu beliau lakukan untuk menunjukkan rasa kasihnya.
Selamat jalan Aba. Semoga Allah melapangkan kuburmu, merahmatimu di alam kubur, dan menempatkan engkau dalam surga-Nya. Aamiin.
#ElevateWomen