Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh:Â Shofiyatun
Hubungan saya dengan ayah tidak seperti cerita di novel atau di film kebanyakan. Ayah dan anak perempuannya digambarkan penuh keakraban dan kasih sayang. Si anak perempuan bisa bermanja-manja ke sang ayah. Hingga ada frasa bahwa cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.
Hubungan saya juga tidak seperti hubungan band My Chemical Romance dengan sang ayah, yang ketika masih kecil mengajak ke kota untuk menonton marching band serta menanamkan pengertian agar suatu saat nanti menjadi penyelamat bagi kaum tertindas dan terpinggirkan dalam lagu Black Parade.
Juga tidak seperti hubungan Luther Vandross dalam lagu Dance With My father. Sang ayah akan mengangkat Luther Vandross tinggi-tinggi kemudian berdansa dengan sang ibu sampai Luther kecil tertidur.
Saya jauh dari adegan itu. Sepanjang ingatan saya, hubungan saya dan ayah saya selalu di kondisi canggung dan wagu. Walau memang tidak bisa dipungkiri saya memang lebih dekat ke sosok ayah ketimbang ke sosok ibu saya.
Â
Advertisement
Bahasa Cinta Ayah
Dulu saya sempat merasa iri ketika melihat teman-temen perempuan saya dijemput ayahnya. Hal itu sangat terasa ketika saya remaja. Terutama ketika musim hujan, di mana teman-teman perempuan saya akan meneleon ayahnya untuk minta jemput. Saya? Tentu saja tidak.
Selain di rumah tidak ada telpon, juga tidak ada dalam kamus ayah saya jemput menjemput. Ini terlihat dari kakak-kakak perempuan saya yang juga mandiri. Dan sebagai anak bungsu, tak ada namanya privillege dapat perlakuan istimewa.
Terus apakah sekarang saya masih iri? Seiring berjalannya usia dan kedewasaan yang bertumbuh, saya menyadari setiap orang punya love languange yang berbeda. Dan ayah saya bukan tipe orang yang akan bilang, âAyah, sayang kamu, Nak!â tapi dia tipe yang akan bilang, âKamu anak perempuan harus bisa menjaga diri. Dan ayah yakin kamu bisa.â
Ayah saya terkadang bisa menjadi keras kepala melebihi batu, namun terkadang bisa menjadi orang dengan pikiran terbuka yang progresif. Saya ingat betapa keras kepalanya beliau ketika saya minta izin untuk masuk pondok pesantren selulus madrasah ibtidayah.
Beliau keukeh tidak memberi izin. Karena katanya saya masih terlalu kecil, belum bisa mengurus diri sendiri. Saya bagaimana? Tentu saja saya ikutan keras kepala. Saat itu jiwa-jiwa rebel saya membuncah sekali. Saya balas dendam. Saya tidak mau masuk madrasah tsanawiyah (MTs) seperti kebiasaan turun temurun kakak saya. Tapi saya mau masuk Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP).
Tentu saja saat itu geger besar pertama saya. Si Ayah sebenarnya mengizinkan, tapi tidak dengan Ibu saya, mau jadi apa kamu nak masuk SLTP? Di sana pelajaran agamanya kurang. Untungnya akhir ayah saya berhasil membujuk ibu saya, tentu saja dengan kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatannya adalah saya pakai jilbab walau masuk SLTP.
Kalau diingat-ingat Kembali, itu adalah kesepakatan pertama dengan ayah saya. Kesepakatan itu sebenarnya sangat menyebalkan. Era 97/98an masih amat sangat jarang perempuan berjilbab. Dan aturan-aturan belum seenak sekarang.
Dulu walau kepala berjilbab saya tetap masih pakai rok pendek, karena aturan sekolah memang melarang memakai rok panjang. Belum lagi untuk ijazah dan pengenal foto-fotonya belum boleh berjilbab. Sehingga di momen-momen tertentu saya masih harus lepas jilbab. Dan itu pengalaman pertama saya menjadi kaum minoritas di antara mayoritas.
Â
Ayah adalah Support System Terbaikku
Geger besar kedua adalah ketika mau melanjutkan ke SMU. Saya mau masuk SMU yang waktu itu terkenal sebagai sekolah favorit. Ayah saya tidak setuju, karena menurut beliau SMU pilihan ayah saya lebih unggul. Sempat pakai acara ngambek-ngambek semingguan sampai saya yang akhirnya ngalah. Dan ternyata bertahun-tahun kemudian, saya bersyukur memilih ngalah. Dan kalau ingat kejadian gegeran tersebut hanya bisa menertawai kebodohan.
Lanjut mau kuliah, gegeran lagi. Saya ingin lanjut ke Bogor dan ternyata tidak diterima, ayah saya ingin saya masuk kampus teknik di Surabaya. Gegeran ini karena lebih ke sayanya yang tidak percaya diri dengan kemampuan diri.
Di kampus Bogor saja saya tidak keterima apalagi ini kampus teknik pasti jelas saya tidak diterima. Saya tidak percaya diri, saya mau kuliah D1 atau D3 saja. Dan tentu saja kemudian saya disidang. Lebih tepatnya dituturi dikasih pemahaman bahwa saya itu bisa. Lagian kalau saya sampai kuliah D1 si ayah tidak rida. Karena beliau bilang beliau tidak punya harta yang bisa diwariskan, yang bisa diwariskan adalah menyekolahkan sampai lulus S1. Nangis saya waktu itu.
Dan setelah memasuki bangku kuliah, saya tidak pernah lagi gegeran sama si ayah, karena beliau selalu mendukung semua yang menjadi pilihan hidup saya. Selama bisa menjaga marwah diri sebagai perempuan. Terbukti ketika lulus kuliah dan saya memutuskan untuk tidak pulang kampung, beliau menghormati keputusan saya.
Begitupun tentang urusan menikah yang juga masih entah kapan karena saat ini saya single but lazy enough to be mingle. Ketika ada keluarga/saudara yang mencoba menjodoh-jodohkan saya, sia ayah selalu jawab itu keputusan mutlak ada di saya. Beliau akan iya kalau saya iya, dan juga tidak kalau saya tidak.
Saya menyadari, love language beliau ke saya adalah dengan menjadi support system akan semua keputusan-keputusan penting dalam hidup saya.
Dan sekarang impian terakhir saya di ujung usia beliau yang senja adalah seperti lagu Dance With My father-nya Luther Vandross. Berharap bisa segera berdansa di bawah lindungan Kaâbah menunaikan ibadah haji berdua. Amin.
Â
#ElevateWomen