Fimela.com, Jakarta Membahas kisah dan cerita tentang ayah memang tak ada habisnya. Begitu banyak momen tak terlupakan yang kita miliki bersama ayah tercinta. Mulai dari momen paling bahagia hingga momen paling sedih. Setiap hal yang berkaitan dengan ayah selalu berkesan seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2021 Surat untuk Ayah berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Novica Roes
Bapak, selalu menggunungnya kata dalam sanubariku jika ingin membahas tentangmu dan kita. Salah satu kata yang ingin kuucapkan padamu adalah kata terima kasih untuk masa kecil yang indah. Desa permai nan sejuk di mana aku lahir seperti sebuah hadiah spesial darimu untukku.
Belum lagi, kebebasan yang engkau beri padaku untuk masa kecil yang penuh petualangan menjelajah pelosok desa bersama teman-teman, juga menghabiskan hari-hari heroik bersama saudara-saudara untuk mandi dan bermain di sungai bawah jurang.
Ingatkah juga engkau, Pak, ketika aku kecil, engkau pernah, atau mungkin sering mengajakku memetik kopi di kebun, dan engkau menggendongku ketika kita mesti melampaui jurang. Kenangan satu itu begitu lekat di ingatan dan mendorongku untuk selalu menyakinkan diriku sendiri jika ungkapan ayah adalah cinta pertama anak perempuannya adalah benar adanya.
Bapak, seiring waktu berlalu, kala itu, aku tumbuh besar dan pada kenyataannya, menurutmu, aku mengambil jalan yang salah. Aku bukan lagi anak perempuan anggunmu. Aku sering menghabiskan waktu di luar rumah demi satu hal yang kusebut pilihan jiwa: sebagai petualang. Aku sering pergi dengan air mata karena tanpa restumu. Sedangkan di pikiranmu, aku adalah sosok terburuk yang tak peduli padamu. Ya, engkau berang tak terkira. Sejak itu, mengangalah jurang luas di antara kita. Aku seperti tak mengenalmu, pun sebaliknya.
Definisi hidupku kala itu adalah dilema. Satu sisi aku mencintai hidup kepetualanganku, di sisi lain, hatiku begitu sakit dibenci olehmu. Kala itu, aku seperti hidup namun tak hidup. Dan bertahun-tahun itu terjadi.
Advertisement
Bapak dan Cinta tanpa Syarat
Bapak, hingga pernikahanku kemudian seolah perlahan menjadi jembatan yang menghubungkan jarak kebisuan antara aku dan engkau. Semua berawal ketika engkau mengatakan keinginan akan kehadiran seorang cucu, dan Allah memberi pada saat yang tepat.
Kebekuan dan kebencianmu mencair, bahkan tak tersisa. Saat itulah aku menyimpulkan satu hal, bahwa walaupun aku telah kehilangan seorang ibu, namun engkau mengganti posisinya dengan tiada cela.
Engkau, seperti ibu, memiliki lautan maaf yang tak berujung. Saat engkau meminta maaf atas kebencian tak terkiramu yang pernah engkau rasakan padaku, aku merasa hal yang tak masuk akal kembali: hatiku mengatakan satu detik pun engkau tak pernah menyakitiku, engkau tak pernah punya salah, engkau bapak terhebat di mata dan hatiku.
Bapak, hingga kini, detik ini, aku tak memiliki apa pun yang bisa engkau banggakan. Aku tak berkarir, tak menjadi apa-apa. Aku tak punya harta untuk kupersembahkan. Aku kadang ingin mengatakan hal itu. Namun, dari matamu aku melihat jika engkau memahaminya dan tak mempermasalahkan apa pun. Semoga aku tak salah, jika menurutku, engkau mencintaiku tanpa syarat, sangat tulus.
Dan Bapak, hal itu membuatku takut. Ketergantunganku padamu membuatku begitu takut jika satu saat kehilanganmu. Engkau yang menjadi tempat yang kucari kala sedih, engkau yang mendengarkanku begitu seksama, engkau menganggapku tetap gadis kecil yang manja, engkau pula yang kadang membiarkanku mendengar keluh kesah. Bagaimana jika engkau tak ada? Aku mesti bersama siapa? Hingga, aku berandai-andai bahwa engkau takkan pernah pergi. Kuanggap itu sebagai doa terbesarku, sebagaimana aku berdoa untuk kelapangan hidupmu dan kesehatan tubuhmu. Bapak, engkau salah satu segalaku. Maafkan aku tak bisa memberimu apa-apa kecuali cinta.
#ElevateWomen