Fimela.com, Jakarta Di bulan Oktober yang istimewa kali ini, FIMELA mengajakmu untuk berbagi semangat untuk perempuan lainnya. Setiap perempuan pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Kamu sebagai perempuan single, ibu, istri, anak, ibu pekerja, ibu rumah tangga, dan siapa pun kamu tetaplah istimewa. Setiap perempuan memiliki pergulatannya sendiri, dan selalu ada inspirasi dan hal paling berkesan dari setiap peran perempuan seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Elevate Women: Berbagi Semangat Sesama Perempuan di Share Your Stories Bulan Oktober ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Meliana Aryuni
Menikah merupakan sesuatu yang didambakan oleh pasangan yang sudah memiliki komitmen hidup bersama. Namun, kenyataannya tidak semua orang bisa menemukan pasangan yang tepat di usia muda. Bagi seseorang yang menikah di usia dewasa, hal ini seringkali menjadi sesuatu yang menakutkan. Pertanyaan datang silih berganti baik dari keluarga atau rekan kerja.
Aku pun mengalami hal yang sama. Hatiku bertambah sedih, setelah pulang dari acara pernikahan teman. Bukan karena aku tidak menyukai pernikahan mereka, tetapi sedih mengapa aku belum menemukan jodoh seperti mereka.
Satu per satu saudara dan rekan kerja yang berusia lebih muda dariku menemukan jodohnya, termasuk teman dekatku. Sebenarnya temanku itu usianya juga sudah cukup dewasa saat menikah sehingga dari dia, aku mendapatkan banyak wejangan.
Advertisement
Menyikapi Pertanyaan Kapan
"Bersabarlah, mungkin jodohmu sudah dipersiapkan oleh Allah." Itulah wejangan temanku di saat aku hadir di pernikahannya.
Bukan sekali itu saja dia menjadi penguat bagiku untuk bersabar menemukan jodoh. Ketika jodohku mulai tampak, cobaan terasa datang bertubi-tubi. Dia juga menguatkanku.
"Insya Allah, kalau dia jodohmu, pasti ada saja jalan untuk menyatukan kalian," ucap temanku itu.
Masih banyak lagi kata-kata yang diucapkannya untuk membuatku terus bersabar menjalani proses panjang menemukan jodoh. Dengan nasihat yang diberikannya, aku bisa tersenyum. Aku bisa kembali kuat. Aku bersyukur bisa menjalankan semuanya dengan baik.
Setelah proses panjang itu, statusku berubah menjadi seorang istri. Hidup serasa milik aku dan suami, yang lain numpang. Namun, geliat kegelisahan pun kembali hadir saat berbulan-bulan kami belum mendapatkan tanda-tanda akan memiliki momongan. Rasa sedih kembali hadir di dalam diriku. Aku merasa belum bisa menjadi seorang wanita yang sempurna bagi suamiku.
Rasa sedih itu terus menghantuiku bahkan tidak jarang air mata menetes karena memikirkan masalah itu. Jika melihat teman-teman yang sudah menggendong bayi, rasa sedihku pun bertambah. Meskipun aku mencoba menyimpannya, tetap saja temanku mengerti akan kesedihanku.
"Sudah, jangan bersedih. Allah Maha Tahu kapan kita diberikan momongan. Mungkin setelah kamu menyelesaikan kuliahmu, permohonanmu baru akan dikabulkan oleh-Nya." Petuah itu diberikan kembali untukku. Aku pun kembali mencerna petuah itu dan memberikan semangat di dalam diri sendiri untuk tetap tegar menjalani kehidupan berumah tangga tanpa momongan.
Benar saja, setelah masa perkuliahan selesai kujalani, doaku terkabul. Di dalam rahimku ada calon bayi yang telah lama kuinginkan. Rasa senang bercampur terharu mengisi hati dan perasaanku.
Sedih dan Bahagia yang Datang Silih Berganti
Hari-hari bahagia itu hadir dalam kehidupan rumah tanggaku. Namun, itu tidak berlangsung lama. Vonis kista 6 cm diberikan dokter kandungan untukku di saat usia calon bayi baru sebulan lebih ada di rahimku. Aku sempat terpuruk mendengar kabar itu. Vonis itu membuatku menangis setiap malam bersama suami. Di saat seperti itu, suami adalah penguat yang tidak pernah lelah memotivasiku lewat kata-katanya agar tetap menjaga kesehatan.
"Tidak usah terlalu dipikirkan. Allah yang menciptakan penyakit dan mudah bagi-Nya untuk menghilangkannya. Yang penting jaga kesehatan."
Andai aku tidak dikelilingi oleh orang-orang yang baik, mungkin aku akan terus berada pada kesedihan dan itu tidak akan membantu sama sekali pada kondisi yang kualami. Mereka menyemangatiku untuk bangkit. Akhirnya, aku memutuskan untuk menikmati hidup tanpa memikirkan penyakitku. Yang kulakukan adalah memberikan nutrisi bagi si janin. Aku tidak mau hidup dalam kesedihan karena kutahu bahwa sakit fisik itu kebanyakan dari sakit psikis dan sebaliknya.
Alhasil, kunikmati saja rasa nyeri akibat kista itu. Oleh karena itu, sela waktu libur, aku dan suami menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan, makan, dan tertawa bersama. Sambil menikmati hidup tanpa beban, bulan keempat kehamilanku, kista itu mengecil. Pada bulan kelima kehamilanku, kista itu hilang.
Ternyata benar, rahasia kesembuhan itu ada pada diri sendiri. Semua penyakit, kesulitan, cobaan, atau kesusahan itu akan bisa kita atasi bila kita mampu mengontrol emosi. Emosi yang buruk hanya akan membuat fisik semakin terpuruk. Yang terpenting adalah semangat dalam menjalankan setiap proses itu dengan optimis. Ingat, tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi.
Untuk kita para wanita, hidup adalah rangkaian peristiwa. Saat peristiwa sedih hadir dalam kehidupan kita, cobalah untuk bersabar dan jangan terlalu larut dalam kesedihan itu. Begitu pun saat kegembiraan hadir, jangan pula berkoar-koar dengan berlebihan. Semoga kita semua bisa menjalankan semuanya dengan baik sampai tujuan utama tercapai.
#ElevateWomen