Fimela.com, Jakarta Novel Rumah Kaca merupakan novel keempat sekaligus penutup dari Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Anata Toer. Jika dibandingkan dengan ketiga novel pendahulunya yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada Rumah Kaca karena tidak mengambil Minke atau Tirto Adhi Soerjo sebagai tokoh utama.
Ditulis oleh penulis ternama, ternyata tidak membuat novel ini mudah diterima publik karena Rumah Kaca sempat dilarang peredarannya di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru karena dianggap menyebarkan ajaran "Marxis-Leninis". Rumah Kaca dilarang beredar pada 1988, hanya beberapa bulan setelah terbit.
Advertisement
BACA JUGA
Respon berbeda pun datang dari banyak pihak yang merasa bahwa novel ini sebenarnya adalah novel yang sangat berkualitas. Toko buku online Amazon menggambarkan Rumah Kaca sebagai novel yang berhasil membuat kesimpulan luar biasa dari tiga novel sebelumnya. Tdak hanya itu saja, Amazon juga menilai Rumah Kaca sebagai salah satu karya yang hebat dalam literatur modern.
Tidak heran jika didalamnya juga terdapat beberapa kutipan bijak tentang kehidupan yang menarik untuk disimak. Untuk itu, Fimela.com kali ini akan membagikan 15 kutipan bijak novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, lengkap beserta ulasannya. Dilansir dari beragam sumber, simak ulasan selengkapnya di bawah ini.
Advertisement
15 Kutipan Bijak Novel Rumah Kaca
Berikut beberapa kutipan bijak novel Rumah Kaca yang menarik untuk kamu simak:
1. “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
2. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
3. “Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.”
4. “Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali.”
5. “Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yg dimakannya itu kerja kami.”
6. “Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari bawah ke atas yang ada adalah penjilatan, kepatuhan, dan perhambaan.”
7. “Kalau ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan.”
8. “Selama orang masih suka bekerja, dia masih suka hidup dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut.”
9. “...seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang, manusia setengik-tengiknya,”
10. “Tak ada yang lebih baik daripada persahabatan yang ikhlas,”
11. “Dengan modal keberanian dan teror saja tak banyak yang bisa dicapai dalam kehidupan modern begini,”
12. “Kekuatan pikiran yang memimpin, bukan hanya keberanian dan teror,”
13. “Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan kebaikan, karena yang bukan demikian bukan manusia,”
14. “Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
15. “Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya.”
Ulasan Singkat Novel Rumah Kaca
Judul: Rumah Kaca
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer dan Astuti Ananta Toer
Penerbit: Jakarta Lentera Dipantara
Tahun Terbit: 2015
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu, Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan per-rumahkacaa-an.
Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menamilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pasakolonial paling bergengsi.
“Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya.” Kata-kata Pramoedaya Ananta Toer lewat Minke itulah yang merupakan peristiwa singkat namun jika diuraikan menjadi setebal roman Rumah Kaca ini.
Dalam Rumah Kaca, Pramoedya ingin menceritakan alurnya yang berbeda dari tiga buku sebelumnya, Bumi Manusia sampai Jejak Langkah. Roman Rumah Kaca memperlihatkan Tuan Pangemanann—pejabat Gubernur Jenderal Hindia sebagai komandan yang memimpin pemboikotan usaha jurnalistik Minke di Medan Prijaji melakukan tugasnya, dengan cara mengumpulkan arsip dokumentasi apa saja yang dilakukan Minke. Tuan Pangemanann didorong oleh tugasnya sebagai seorang Pangemanann pejabat gubernur Jenderal, yang menyelidiki kasus Minke, seolah-olah mencari kesalahan Minke.
Banyak respon para pembaca yang merekomendasikan novel ini, terutama untuk kamu yang sedang mencari jati diri menurut kebenaran. Sastra, politik dan hukum ada di dalam buku ini. Tidak memandang mereka politikus, presiden maupun mahasiswa dan rakyat. Siapa pun yang bisa membaca, hendaklah membaca karya ini.