Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
Advertisement
BACA JUGA
***
Oleh: Titis Widawati
Menyusur lorong ingatan, kembali ke masa kecil, menemukan diriku yang tersenyum polos menggemaskan. Seragam merah putih mengibarkan kemerdekaan, membebaskan Titis kecil dari urusan orang dewasa yang sering runyam. Begitu dalam aku merindu saat menaklukkan hari-hari penuh debu dan keringat perjuangan masa kecilku.
Setiap berlari ke masa kanak-kanak, selalu membuatku tersenyum bangga karena masa kecilku berbeda. Masa kecil yang tidak biasa, selalu menjadi kenangan istimewa yang melekat sepanjang usia.
Aku terlahir dari keluarga sederhana di sebuah desa asri yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Bapak dan ibuku bekerja sebagai guru SD (Sekolah Dasar), namun beban yang mereka pikul terbaca olehku begitu berat. Selain menghidupi tiga orang anak, juga membiayai sekolah beberapa keponakan. Masih teringat jelas peristiwa menyedihkan bagiku kala itu, saat aku kelas tiga SD, celengan kendiku yang terbuat dari tanah liat, tanpa sepengetahuanku, dilubangi ibu di bagian bawahnya untuk menambah biaya kuliah sepupu, dan itu membuatku sangat sedih.
Advertisement
Mengenang Masa Kecil
Aku anak nomor dua, perempuan sendiri dari tiga bersaudara, lahir dan diasuh oleh orang tua yang luar biasa. Mereka mengajariku hidup sederhana, berjuang keras, dan tidak gengsi membantu melakukan pekerjaan apa pun yang halal. Ditempa kondisi, dilatih peduli, dituntut berprestasi. Sejak mendapat piala pertama sebagai juara satu lomba balita sehat kabupaten, mulai saat itu ibu selalu berambisi mengikutkanku di berbagai perlombaan. Selain sertifikat prestasi akademik, banyak sertifikat dan piala kejuaraan lomba baca puisi berjajar di atas lemari.
Tidak seindah dunia anak-anak sebaya yang berlimpah mainan, masa kecilku berlalu tanpa pernah dibelikan mainan, termasuk boneka yang selalu menjadi impianku saat itu. Ketika aku merengek minta dibelikan, ibu membuatkanku boneka bayi dengan menggulung kain jarit dan mengikatnya seperti bentuk bayi yang dibungkus kain bedung.
Aku memakai pecahan batok kelapa sebagai mangkuk untuk membuat bubur bayi dari tanah yang dicampur air, lalu membuat rumah-rumahan dari pecahan genting. Tidak banyak teman sebaya yang mengikuti cara bermainku, hanya beberapa anak saja yang sama-sama tidak memiliki mainan dari toko. Ketika aku menangis karena ingin memiliki sepeda seperti teman yang lain, ibu memberiku sepeda bekas milik anak tetangga, yang tentu tidak seberapa harganya, tapi sudah mampu membuatku sangat bahagia.
Kini Menjadi Dokter
Aku ditempa hidup sederhana dan terlatih berjuang keras sejak belia. Jika anak yang lain bermain jual beli bohong-bohongan, Titis kecil jual beli sungguhan. Membungkusi es lilin hingga larut malam dan menatanya di lemari es, hasilnya yang sudah beku diambil oleh penjual kelilingan setiap pagi, yang tidak laku dikembalikan lagi sore harinya.
Jika ada kesempatan, aku juga ikut berjualan es lilin di pusat-pusat keramaian, seperti pada saat ada bus mogok, acara pilihan kepala desa, pertunjukan ketoprak, layar tancap, dan pusat keramaian lainnya. Aku belajar untuk tidak malu melakukan semua itu, dan aku bangga berhasil mengumpulkan laba dari hasil jualan, karenanya sejak SD aku sudah terbiasa membeli keperluanku dengan uang sendiri tanpa meminta dari orang tua.
Tidak hanya sebatas jualan, meski anak perempuan, aku juga terlatih memanjat pohon. Menaiki pohon-pohon besar di kebun-kebun kisaran rumah, mencari ranting-ranting kering untuk kayu bakar. Jika sudah terkumpul, nenek akan memberiku upah dan hasilnya kutabung, kumasukkan kaleng dan kukubur di bawah pohon pisang belakang rumah. Jika kumasukkan celengan, khawatir dilubangi lagi di bawahnya.
Aku juga memanjat pohon duwet, pohon jambu, untuk memetik buah yang sudah matang. Kemudian buah matang yang berhasil kupetik kukumpulkan, kukemas memakai contong kertas dan kujual ke teman-teman. Semua hasil penjualan adalah laba, karena hasil dari memanjat pohon sendiri. Haha... aku sering tertawa sendiri mengingat sepak terjang perjuangan masa kecilku.
Masa kecilku adalah milik berhargaku, menempaku menjadi perempuan matang yang siap berjuang. Hidup sederhana, pekerja keras, dan pantang menyerah. Titis kecil si penjual es lilin, penjual duwet, pemanjat pohon dan pencari kayu bakar, kini telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang dokter. Terima kasih tak terhingga pada Tuhan, bapak, ibu, dan masa kecilku.
#ElevateWomen