Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Nani Suryono
Masa-masa kecil selalu menjadi momen yang menyenangkan untuk dikenang karena ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan. Wajah lucu, polos, tanpa beban dan hanya bermain bersama teman serta berimajinasi yang ada di benaknya.
Setiap orang pasti mempunyai masa kecilnya. Aku lahir di Ciamis, Jawa Barat dan ketika TK kakekku yang sudah transmigrasi ke Kalimantan Timur meminta kami untuk tinggal di sana. Akhirnya aku, ibu, ayah dan adiku yang masih kecil berangkatlah ke sana. Di sinilah dimulai cerita masa kecilku.
Perjalanan ke Kalimantan ditempuh menggunakan jalur laut dengan kapal Kalimutu selama 3 hari 3 malam, karena dahulu pesawat masih jarang untuk jadwal penerbangan ke sana. Pertama kalinya berada di tengah-tengah laut yang terbentang luas selama 3 hari itu kami sangat takjub dengan alam ciptaanNya tapi rasa takutnya juga ada.
Setelah melewati jalur laut kami lanjut dengan kendaraan darat seharian karena tempat yang dituju masih pelosok sekali saat itu. Tidak ada mall atau supermarket apa pun bahkan warung di setiap desa pun bisa dihitung jari saking sedikitnya, tapi di sana alamnya masih asri dan subur sekali tanahnya.
Advertisement
Masa Kecil yang Indah
Saat itu kakek sudah menjadi petani sukses di daerah Desa Rantau Makmur, Kecamatan Rantau Pulung, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Ada ribuan hektar perkebunan milik kakek dan salah satu komoditas utamanya adalah buah jeruk. Selain itu juga kakek memiliki peternakan sapi, kolam ikan serta hamparan sawah yang luas. Kami pun diboyong untuk tinggal di sana agar bisa menikmati semua yang kakek bangun.
Di sana ada tiga orang adik ibuku yang usianya tidak jauh dari aku, jadi kami sering main bersama. Main versi kami dahulu benar-benar menyatu dengan alam. Kami belum mengenal gadget sama sekali, televisi pun di kampung itu yang punya hanya kakekku jadi kalau kami mau menonton TV bersama anak-anak sekampung di rumah kakek harus gotong royong dahulu untuk mengisi air diesel agar bisa menyalakan listrik.
Jadwal nonton TV bersama biasanya setiap hari libur saja. Oh iya, pas awal kedatanganku dan keluarga di sana belum masuk listrik jadi warga-warga masih menggunakan lampu minyak tanah untuk menerangi rumahnya tapi tidak lama kemudian listrik masuk desa. Sudah terbayang kan tempat pelosok seperti apa yang kami datangi? Eits, itu belum seberapa, belum lagi kalau kami mau main ke kampung tetangga bisa-bisa papasan dengan babi hutan atau bahkan orang utan. Ya, aku pun pernah melihatnya langsung. Di sana kami anak-anak bermain kemana-mana menggunakan sepeda karena tidak ada kendaraan atau angkutan umum apapun.
Tempat kumpul kami main berempat itu di rumah mbah buyut yang terletak di antara perkebunan kakek. Rumah-rumah di sana hampir sama semua modelnya dan terbuat dari kayu.
Bermain di Alam
Di kampung sana baru rumah kakek dan beberapa pejabat saja yang sudah pakai tembok bangunan rumahnya. Tapi rumah buyut ini mempunyai daya tarik tersendiri untuk kami para cicit dan cucunya berkumpul. Adem dan banyak pepohonan yang membuat kami betah.
Tepat di depan rumah buyut ada satu pohon mangga yang memiliki empat dahan yang rindang yang kami sebut sebagai singgasana kami berempat. Masing-masing dahan sudah mempunyai pemilik yang paten. Jadi kami selalu duduk didahan masing-masing sambil makan ataupun bercerita.
Selagi kami di atas pohon, biasanya mbah buyut dan ibuku bersantai duduk di bawah pohon beralaskan tikar sambil makan-makan santai menikmati angin sepoi-sepoi. Selain itu di sini kami sering masuk perkebunan untuk mengambil buah-buahan yang ditanam kakek.
Di sana berbagai macam buah-buahan ada seperti jeruk pontianak, jeruk bali, mangga, durian, nangka, apel, manggis, sawo, kopi, dan lain sebagainya. Ada kebahagiaan sendiri ketika kami memetik buah jeruk sendiri dari pohonnya langsung, kami pun semakin mengerti mana buah yang sudah siap dipetik dan kapan waktu petik yang tepat, karena biasanya kalau perkebunan sudah dilakukan penyemprotan kami tidak boleh memetiknya dahulu sampai 3 hari atau sampai hujan turun agar pertumbuhan buah dan daunnya bekerja maksimal dan tidak ada racun pestisida pada jeruk yang kami petik.
Mendekati musim panen padi biasanya kami menemani mbah buyut menjaga sawah di saung yang tinggi dengan cara menggoyang-goyangkan tali kerincing dengan kaleng dari bekas susu agar burung-burung pergi tidak memakan padi. Kadang kami buat jebakan untuk burung juga loh dari jala atau sengaja kami ketapel, dan hasil burung buruannya kami bakar masak dibawah saung.
Kami sering masak-masakan juga di sana dengan sayur mayur yang tinggal memetik dari ladang. Paling gampang biasanya kami liwetan dan masak sayur kangkung menggunakan katel kecil lalu mencari ranting-ranting kayu dan menyalakan api menggunakan batu.
Kadang kami juga membakar ikan dengan mengambil ikan kecil dari parit-parit sawah. Jika ingin minum susu murni, kami biasanya mendatangi peternakan sapi kakek dan melihat sapi yang sedang diperah dan diproses di sana.
Sumber kekayaan alam di sana masih berlimpah ruah. Banyak jenis sayuran, buah-buahan dan hewan buruan yang bisa dicari secara gratis dihutan, rawa ataupun dipinggiran sungai. Mancing ikan di sungai pun bisa dengan mudah mendapatkannya.
Sayur pakis, kangkung, buah hutan seperti konyal, ikan-ikan di rawa bahkan rusa pun sering menjadi buruan warga disana. Kata ibuku ini yang disebut tanah kita tanah surga, tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.
Memang betul Kalimantan saat itu tanahnya subur sekali, kami hanya membuang biji semangka ke tempat sampah saja bisa jadi tumbuh berbuah besar. Setiap warga pasti menanam sayur mayur di halaman rumahnya, sehingga mereka tidak perlu membeli untuk memasak sehari-hari.
Pagi hari kami berangkat sekolah bersama dan selesai sekolah kami bergegas pulang lalu berganti pakaian dan bermain. Selain bermain berempat kami pun sering main bersama anak-anak warga disana. Benar-benar tempat bermain di alam yang bebas dan orang tua pun tidak perlu khawatir, hanya saja kami diberi pesan agar pulang ke rumah jangan sampai larut atau gelap, jadi sebelum magrib harus sudah berada di rumah. Karena malam hari ba’da magrib itu waktunya kami mengaji di Surau rumah ustad kami yang di depannya ada kolam yang mengalir air jernih untuk wudu yang dihiasi dengan tanaman bunga teratai yang indah warna-warni.
Singkat cerita suatu hari kami main dan pulang kesorean, bersepeda bocengan berempat menggunakan dua sepeda. Namun sepeda yang satu rusak saat perjalanan pulang dan kami titipkan di warung dekat sekolahan. Jadilah kami pulang menggunakan satu sepeda untuk berempat, untung badan kami saat itu masih kecil-kecil jadi muat. Saking takut keburu lewat magrib kami buru-buru dan sontak kami berempat masuk selokan yang lumayan dalam, baju kami kotor semua dan kejadian ini benar-benar membuat kami tertawa setiap mengingatnya.
Tiga tahun berlalu, begitulah hari-hari kehidupan kami di Rantau Pulung yang sangat menyenangkan. Kehidupan di desa pun kian waktu menunjukkan perubahannya, teknologi serta pembangunan mulai berkembang serta kualitas pendidikanpun semakin baik dengan adanya tenaga pengajar yang kian professional dan sarana belajar semakin meningkat.
Advertisement
Tiga Tahun yang Indah
Setiap pertemuan tentunya akan ada perpisahan, hal ini dirasa berat tapi sekaligus bahagia. Berat hati karena harus meninggalkan tempat istimewa ini namun bahagiapun hadir karena keluarga besar kami di Jawa Barat sudah rindu dan menantikan kami pulang.
Saat itu Kalimantan terkena kemarau panjang dan kebakaran hutan di mana-mana. Tapi kami alhamdulillah baik-baik saja karena lumayan jauh dari daerah yang diberitakan tersebut.
Hanya saja kekeringan memang ikut merasakannya sehingga sumur-sumur warga tidak mengeluarkan mata air lagi dan kami pun rame-rame mandi di sungai. Tapi sungai di sana berbeda dengan sungai yang sering kita jumpai saat ini.
Sungai di sana bagaikan air laut yang luas dengan air biru yang jernih dan mengalir deras. Di musim sulit kemarau seperti ini pun, tanah ini masih memberikan kami kekaguman, Masya Allah segala yang ada dilangit dan di bumi adalah Ciptaan-Mu Ya Allah.
Alam akan memberikan banyak hal untuk kita asal kita menjaga dan merawatnya, sebaliknya ketika para manusia itu serakah dan merusak alam maka alampun menjadi tidak lagi bersahabat. Seperti halnya kekeringan, kemarau panjang serta kebakaran hutan ini salah satunya karena ulah manusia yang melakukan penebangan liar terhadap hutan.
Keluarga kami di Jawa Barat terutama nenek dari ayah mencemaskan kami semua karena melihat hal ini diberitakan terus di televisi dan kemudian mereka mengirimi surat agar kami segera pulang karena nenek pun kondisinya sakit dan terus menginginkan kami pulang. Akhirnya kami pun pulang ke Jawa Barat.
Terima kasih tanah surga Rantau Pulung yang telah memberikan kami banyak pelajaran, pengalaman serta rasa syukur sudah diberikan kesempatan menginjakan kaki di belahan bumi ini.
#ElevateWomen