Fimela.com, Jakarta Dalam setahun terakhir, kasus pelecehan seksual di tempat umum marak terjadi. Belum lama ini saja beredar sebuah video di media sosial yang menampilkan pelaku begal payudara.
Tak dapat dipungkiri, perilaku pelecehan ini bukanlah hal baru. Sebelumnya juga cukup banyak pemberitaan mengenai pelecehan seksual di tempat umum.
Berdasarkan survei yang dilakukan Hollaback Jakarta pada 2018 terhadap 62 ribu orang, mendapati aksi penjahat seksual ini tak hanya dilakukan malam hari di ruang tertutup, melainkan dilakukan di siang hari di tempat umum.
Advertisement
BACA JUGA
Pelecehan seksual ini tak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Namun, perempuan jelas lebih rentan. Temuan ini menghasilkan 3 dari 5 perempuan pernah menjadi korban.
Selanjutnya, 1 dari 10 laki-laki juga pernah menjadi korban, 1 dari 2 korban mengalami pelecehan saat berusia di bawah umur, 18% korban mengenakan rok dan celana panjang, 17% korban memakai hijab, 18% korban memakai baju lengan panjang.
Advertisement
Namun sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran pelaku?
Dr. Livia Istania DF Iskandar, M.Sc, Psikolog (Pendiri Yayasan Pulih dan Wakil Ketua LPSK mengatakan salah satu alasannya adalah karena adanya budaya patriarki.
“Dengan adanya budaya patriarki ini, pelaku pelecehan merasa memiliki wewenang atas aksinya tersebut. Oleh karena itu orang-orang tidak boleh melakukan victim blaming,” ujar Dr. Livia dalam pertemuan virtual The Body Shop, Sabtu (24/06/2021).
Dia menambahkan, orang-orang tidak boleh menyalahkan korban atas pakaian korban. Sebab faktanya, korban pelecehan seksual dengan pakaian tertutup pun pernah menjadi korban pelecehan seksual.
Adanya wewenang maskulin
Selain itu, menurut studi yang diterbitkan tahun 2013 “Fear of Violence and Street Harassment: Accountability at The Intersection”, pelaku pelecehan seksual di tempat umum juga merasa memiliki “wewenang maskulin” (masculine entitlement) .
Dengan merasa memiliki wewenang maskulin ini, para peleceh menganggap pelecehan itu sifat alamiah manusia dan sebagai wujud ketertarikan seksual yang tak berbahaya. Rasa wewenang maskulin juga membentuk sikap peleceh yang ingin mempermalukan mengontrol, meneror, atau menyerang targetnya.
Advertisement
Hal-hal yang bisa dilakukan korban
Apabila korban ingin mengkonfrontasi pelaku pelecehan, Dr. Livia menyarankan agar korban pelecehan bertindak tegas. Tatap mata pelaku dan kecam tindakannya dengan suara yang jelas dan keras. Kemudian, katakan apa adanya.
“Coba libatkan orang lain, beritahu orang-orang terkait tindakan pelecehan yang dilakukan oleh pelaku,” tandasnya.
Mengutip dari Hollaback, korban pelecehan seksual juga dapat mendokumentasikan pelaku lewat foto atau video. Dokumentasi berguna agar kamu bisa melaporkan perilaku pelaku pelecehan seksual kepada pihak berwajib.
Selain itu. Dr.Livia juga mengingatkan para orangtua untuk memberikan edukasi terkait menghargai lawan jenis pada anak sejak dini, baik itu pada perempuan dan laki-laki.
#Elevate Women