Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Intan Siti Noer Rita Daswan
Pernikahan. Satu momen spesial yang akan terus diingat. Saat janji suci dua insan yang saling mencintai dilangitkan dan disaksikan oleh orang-orang tersayang. Siapa pun orangnya pastilah memiliki keinginan untuk menjadikannya momen yang tak terlupakan dalam hidupnya.
Seperti halnya kebanyakan orang, ketika masih single, aku berharap akan bisa mewujdukan pernikahan impianku. Aku ingin pernikahan yang bernuansa simpel. Maksudnya, sederhana tapi nggak jadul gitu. Tetap kekinian, tapi ada sentuhan adatnya. Selain itu, aku juga ingin tetap sesuai dengan keyakinan yang aku anut.
Bersyukur, keinginan itu bisa terwujud. Meskipun aku dan suami tidak saling mengenal sebelumnya, kami dipertemukan secara tidak sengaja. Kami juga berasal dari dua budaya yang berbeda.
Tidak hanya soal perbedaan budaya, tapi waktu kami pun boleh dikatakan singkat. Kami hanya butuh waktu dua minggu untuk saling meyakinkan, dan butuh tiga bulan untuk melangkan ke jenjang pernikahan.
Dalam perjalanan saling mengenal dan meyakinkan itu, kami tidak pernah bertemu dan jalan berdua, bahkan setelah tunangan pun. Kami hanya saling berkomunikasi melalui WhatsApp sesuai dengan kesepakatan bersama.
Saat itu, calon suamiku sedang menjalani Tugas Belajar di Jakarta. Sedangkan aku sendiri tinggal di Bandung dengan kesibukanku mengajar. Mempersiapkan pernikahan dengan waktu yang singkat dan harus mempertemukan dua keluarga besar dari dua daerah, tentu saja tidak mudah. Apalagi, suami sama sekali tidak bisa meminta jatah cuti dari kantor maupun dari kampus.
Advertisement
Mempersiapkan Semuanya dalam Waktu Singkat
Aku sendiri, karena tidak pernah mengira akan dipertemukan secepat ini dengan calon imamku, masih harus menyelesaikan amanah mengajar. Bahkan sehari setelah tunangan, aku harus berangkat pagi-pagi karena ada tamu dari Belanda untuk belajar bahasa Indonesia. Padahal saat itu, keluarga calon suamiku yang datang dari Lumajang ingin mengajakku untuk makan bersama. Tapi, untunglah mereka paham dengan pekerjaanku.
Waktu kurang lebih tiga bulan, tentu saja bukan waktu yang sebentar. Calon suamiku harus mengkondisikan persiapan keluarga besar dari Lumajang. Ia benar-benar harus mempersiapkan keberangkatan keluarga besar beserta semua perlengkapan seserahan. Padahal posisinya harus tetap di Jakarta karena jadwal kuliah yang padat.
Aku sendiri, di H-10 ternyata mendapat kabar kalau naskahku lolos dan aku harus ke Yogya untuk mengikuti pelatihan menulis selama 3 hari. Itu artinya aku ada di Yogya sampai H-7. Karena naskah itu sudah aku kirim sebelum aku tahu ada seseorang yang ingin melamarku, jadi mau tidak mau aku harus tetap berangkat ke Yogya.
Tapi, karena kita yakin semua pasti akan berjalan dengan baik, maka apa yang kami rencanakan pun terlaksana sesuai harapan. Resepsi pernikahan kami lakukan di dua tempat, pertama di tempat tinggal keluarga besarku di Bandung. Lalu, selang 3 bulan, kami melangsungkan acara lagi di Lumajang, tempat tinggal keluarga besar suami.
Kalau ditanya, apa capek, ribet, atau lelah dengan semua itu? Pasti. Karena kami menyiapkan semuanya sendiri dengan bantuan keluarga besar dan teman-teman. Kami memang tidak menggunakan jada wedding organizer. Alasannya karena memang pertemuan kami berdua yang sama sekali tiba-tiba, dan semuanya serba cepat.
Tapi, kami bersyukur semua acara berlangsung dengan lancar. Mulai dari akad sampai resepsi dan acara ngunduh mantu, berjalan dengan semestinya. Semua perhelatan itu kami adakan di rumah, tidak di gedung. Alasannya karena kami ingin meminimalisir biaya dan juga kondisi kesehatan (alm) bapakku saat itu.
Namun, perlu digarisbawahi, kami tidak ingin mempersulit. Bagi kami, pernikahan itu nggak usah dibikin ribet. Pernikahan itu yang terpenting esensi dan alur cerita sesudahnya. Melangsungkan acara pernikahan yang unforgettable itu penting, tapi lebih penting melihat kemampuan kita juga. Kemampuan di sini maksudnya, mulai dari kemampuan materi, fisik dan juga pikiran. Karena sejatinya pernikahan itu bukan sekadar perayaan semata.
#ElevateWomen