Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Hadiba Mawza
Menikah bagiku adalah fitrah, keinginan setiap kaum hawa, meski tak semua wanita menjalaninya, entah apa pun alasannya. Bagiku kamu datang menjawab segala doa untuk menyempurnakan separuh agama. Kita menjalani kisah cinta layaknya remaja belia, saling mengumbar janji untuk saling setia. Hingga tiba waktunya takdir menyibakkan semua rahasia.
Empat tahun bukan waktu sekejap mata, untuk saling mengenal dan membangun asa bersama. Kita sama-sama menjadi mahasiswa di sekolah kedinasan dengan jaminan kerja untuk ditempatkan di seluruh Indonesia. Kamu beruntung, kamu pulang ke kota kelahiran kita, tempat orangtua kita berada. Sorak bahagia untukku, karena saat mimpiku menikah denganmu menjadi nyata, aku kan ikut bekerja tanpa khawatir jauh dari keluarga.
Namun ketika hari pengumumanku tiba, langit seolah runtuh seketika. Aku harus mengabdi di pedalaman Papua. Isak tangis hari itu yang tak kunjung mereda, takkan pernah kulupa. Sejak saat itu, banyak teman sejawat memilih menikah muda untuk mempertahankan cinta. Namun berbeda dengan kita, yang masih menunda untuk melanjutkan hubungan ke tahap selanjutnya.
Advertisement
Hubungan yang Merenggang
Sejak saat itu, raga yang tak pernah berjumpa, perbedaan waktu, kelangkaan sinyal bahkan untuk sekadar bertegur sapa, dan hati yang seolah mati rasa menjadi sebuah hal biasa. Kita lebih sering saling diam, menyerah pada keadaan yang tak bisa kupaksa. Seiring waktu, kurasakan kamu pun tak ada usaha untuk mempertahankan kebersamaan kita. Tak hanya dirimu, keluargamu pun begitu. Tadinya kurasa hangat, manis kepadaku, semakin lama kurasa hambar dan acuh pada apa yang terjadi tentang kita.
Hingga kejenuhanku sudah mencapai puncaknya. Kesempatan pertama saat kepulanganku adalah meminta kejelasanmu, “Hubungan kita mau dibawa ke mana?” dan dengan mudahnya dirimu berkata semua rasa sudah tak seperti dulu kala. Aku masih mencoba, satu kesempatan saja, tak rela empat tahun berakhir sia-sia. Namun di hariku bertambah usia, kita memilih mengakhiri semua.
Kukira penyebab utama semua ini karena takdir yang menjarakkan kita, belakangan kutahu, ternyata di sana dirimu telah mendua, sungguh begitu teganya. Marah, muak, kecewa, hancur sedalam-dalamnya. Kurasa, takdir begitu jahat padaku. Jauh dari keluarga, diduakan orang yang sangat kucinta, dan harus mengabdi di pelosok Indonesia dengan segala keterbatasannya.
Menjelang dua lima, bukan karena tak ada yang mencoba mengobati hatiku yang terluka, namun memang ada trauma yang menjadikanku takut membuka hati lagi untuk kaum pria. Dan entah mengapa, semua pria yang kucerita pada orangtua juga tak ada yang diterima.
Hingga wacana perjodohan pun sempat menjadi agenda. Tapi mungkin memang takdir menyuruhku mengambil jeda, tak memaksakan hati untuk segera mencari tempat berhenti, hanya karena kejaran usia.
Seseorang Mengetuk Hatiku
Hingga saat itu tiba, seorang laki-laki mencoba mengetuk pintu hati yang sudah lama tak terbuka. Dengan yakin seketika mengajakku ke jenjang yang kuinginkan sejak lama. Mendatangi orang tuaku, meminta restu untuk menikah denganku.
Dialah teman kantorku, selama ini kami tak begitu dekat karena memang watak pendiamnya. Namun takdir sudah merancang semua agendanya, dia pun sudah lelah mengembara, berdamai pada waktu yang memaksanya tetap menunggu, sampai akhirnya hatinya memilihku. Kami saling menerima masa lalu dan berjanji saling setia menjaga hati agar tak ada yang kembali terluka.
Aku yang tadinya begitu mengutuk takdir, sekejap menjadi takjub dengan semua keajaiban yang terjadi. Keluarganya, meski belum pernah berjumpa, sudah begitu sangat menyambutku. Kurasakan adanya karma, dulu aku dicampakkan oleh yang kucinta, namun kehadirannya memanjakanku dengan banyak cinta.
Tak banyak yang bisa kusiapkan untuk tampil sempurna di hari bahagia. Jarak dan kesibukan kerja memaksaku hanya mempersiapkan semua ala kadarnya. Selebihnya adalah orangtuaku yang menjadi tim sibuk luar biasa. Aku hanya lebih fokus pada anggaran dana, dan tampilan pada hari pernikahanku tiba.
Selain itu aku serahkan pada selera orangtua. Sebelum menikah, hanya tiga kali keluargaku berjumpa dengannya. Pertama, aku membawanya saat memohon restu, kali kedua dia membawa orang tua untuk menentukan hari pernikahan kami, dan kali ketiga adalah hari di mana kami disahkan secara agama dan negara.
Keluarga besarnya datang, jauh dari pulau seberang untuk ikut merayakan bahagia. Pengorbanan yang luar biasa, bukan hanya sekedar tentang waktu dan biaya, menyadarkanku makna pernikahan adalah penyatuan dua keluarga.
Kisahku dulu kukira memang sudah sempurna, meskipun sudah saling menjalin kisah untuk waktu yang lama, namun karena takdir tak merestuinya, tentulah tak ada akhir seperti yang kupinta. Namun saat takdir menunjukkan jodohku yang sebenarnya datang, perjalanan singkat bukan kendala untuk menyatukan dua keluarga, dan mempersiapkan pernikahan yang cukup sekali untuk selamanya.
#ElevateWomen