Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Albiwi
Sejak kecil saya selalu suka dengan hal-hal yang berbau maskulinitas. Bukannya boneka Barbie atau permainan masak-memasak, sebagai anak perempuan saya lebih memilih mainan robot, layangan, juga miniatur mobil. Masih terpatri di kepala, dulu saya sempat memiliki mini 4WD Tamiya rakitan warna hijau hasil merengek pada orangtua saya. Tentu bukan yang orisinil yang dibelikan ayah saya saat itu, mengingat harga mobil mini berdinamo ini bisa mencapai jutaan rupiah.
Tak hanya mainan, beranjak remaja saya cenderung menikmati film-film laga penuh dengan adegan perkelahian, aksi kejar-kejaran dan tembak-tembakan yang memacu adrenalin. Didominasi oleh kisah heroik tentang perjuangan sang aditokoh melawan musuh-musuhnya.
Terpautlah hati saya pada sosok Rambo, veteran perang Vietnam yang harus bertahan hidup dengan kemampuan bertarungnya melawan penegak hukum yang kejam. Sukses di box office Amerika serikat, film ini bahkan telah dibuat lima sekuel, mulai dari tahun 1985 sampai tahun 2008. Bukan hanya alur cerita filmnya, juga yang membuat saya jatuh hati adalah sang aktor Silvester Stallone yang sangat apik memerankan tokoh John Rambo. Dengan rambut gondrong dan tie headband hitam yang melingkar di kepala, tubuh berotot yang dilingkari oleh sabuk peluru menyilang dari pundak kiri ke pinggang kanan, ditambah sebuah pisau besar yang disebut 'heartstopper' bertengger di pinggangnya. Sungguh sebuah gambaran manly seorang pria di mata saya kala itu. Begitu naksirnya pada Mas Rambo ini, saya sampai membuatnya sebagai role model calon suami impian. Lucu memang, tapi itulah faktanya.
Tak hanya sebagai cinta monyet bocah ingusan, kecintaan pada John rambo saya wujudkan dengan cara mencari pasangan yang memiliki figur semirip mungkin dengan idola saya. Masih membekas di memori, saat di bangku kuliah saya pernah menjalin kasih dengan kakak angkatan yang usianya terpaut dua tahun. Bukan masalah wajah atau kemampuan akademiknya, tapi karena dada bidang dan tubuh tingginya yang membuat saya terpesona. Ditambah lagi rambut gondrongnya membuat dia semakin dekat dengan kriteria John Rambo versi lokal.
Advertisement
Masa Berpacaran Saat Itu
Tapi sayangnya, kriteria fisik yang sesuai impian tidak menjamin bahwa hubungan itu akan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Tak bisa memaklumi kekurangan dan tak acuh terhadap kelebihan masing-masing dari kita menjadi penyebab putusnya hubungan saat itu. Atau mungkin kurangnya penerimaan karakter satu sama lain juga usia yang sama-sama masih belia membuat kami sering berbeda pendapat. Apalagi kita dari daerah yang berbeda, tentu saja memiliki adat dan kebiasaan juga cara bicara dan pola pikir yang berbeda pula. Hal itu sering membuat kita salah paham dan berujung saling merajuk.
Tepat di tahun kedua kami berpacaran dan bertepatan dengan wisuda kelulusannya, kami berpisah. Walau bukan perpisahan yang baik-baik dan dengan alasan yang tak jelas pula. Pertemuan terakhir yang saya ingat adalah kita bertengkar karena dia terlalu bersemangat merayakan kelulusan, berfoto sana sini dengan teman-temannya tanpa mengacuhkan si pendamping wisuda yang juga merangkap sebagai fotografer pribadinya, saya. Dengan hati panas saya tinggalkan dia dengan hiruk-pikuk euforia kegembiraannya menyisakan pandangan marah karena tak dipedulikan, pun dia melemparkan tatapan heran juga tak terima dengan perlakuan saya yang pergi begitu saja.
Setelah itu kami tak lagi saling bertemu. Hati saya terlalu angkuh untuk menghubungi dia lebih dulu karena merasa bahwa sayalah korbannya, jadi sepatutnya dia yang pertama datang dan meminta maaf. Tapi setelah beberapa hari tak ada kabar darinya, baru saya tahu bahwa dia telah pulang ke kampung halamannya tanpa mengucapkan atau setidaknya menitipkan satu pesan kepada saya.
Tak ada penyesalan apalagi patah hati. Mungkin karena tidak dilandasi dengan ketulusan hati dan hanya kagum akan raganya saja yang bak John Rambo, tiada air mata yang harus ditumpahkan. Saya legowo menerima perpisahan tanpa kata berpisah itu.
Bohong.
Itu semua hanya kata hati saya untuk menenangkan jiwa yang terguncang. Tak tampak di luar, hanya batin yang menangis bagai diiris akibat sakitnya patah hati. Bisa dibilang saya dighosting saat itu.
Selanjutnya saya tak mau lagi sibuk berusaha mencari sosok John Rambo pada laki-laki, walau itu tetap menjadi salah satu kriteria calon suami idaman. Tak ada semangat untuk menjalin hubungan percintaan dan lebih menikmati jalinan pertemanan yang tak terlalu melibatkan emosi.
Bertemu Jodoh
Sampai suatu hari saya dipertemukan dengan seorang laki-laki oleh orang tua saya. Bisa dibilang ini adalah perjodohan. Saya pun mau mau saja, bahkan cenderung tak peduli. Karena menikah bukan prioritas utama saya saat itu. Jika pun harus menikah saya tak terlalu memilih dengan siapa, bagaimana rupanya dan apa latar belakangnya, asal orang tua saya bahagia pasti kebahagiaan itu akan menular pada diri saya.
Pada hari yang ditentukan, kami bertemu di rumah orang tua saya. Betapa hati saya tertawa geli ketika pertama kali melihat sosok pilihan ayah ibu saya. Seorang yang tak terlalu tinggi, mungkin hanya terpaut lima jari dengan saya, berwajah lebar dengan pipi yang membuat siapa saja ingin mencubitnya.
Saat tersenyum tampak kedua matanya menyipit, serasa ikut-ikutan tersenyum dan memaksa yang melihatnya larut dalam senyuman juga. Bertubuh gemuk bagai boneka panda yang sepertinya nyaman saat dipeluk. Apalagi saat itu dia memakai jaket hitam berbahan beludru. Berambut cepak dan rapi, tanpa otot bicep yang menonjol. Tak ada gambaran John Rambo sama sekali. Atau bisa dibilang inilah anti Rambo.
Kata Ibu, usianya selisih tujuh tahun di atas saya dan dia bekerja sebagai seorang guru di sekolah dasar. Tak heran saat bercakap dengan saya bagai bicara dengan bocah, lembut dan tenang. Dia juga pendengar yang sabar.
Sebulan setelah pertemuan itu, dia meminta jawaban. Sedikit bimbang karena dia benar-benar jauh dari role model yang saya fantasikan sejak kecil, tapi kedewasaan dan kesabarannya sedikit meluluhkan hati, akhirnya saya putuskan untuk mengikuti kehendak orang tua.
Kini pernikahan kita sudah lebih dari 12 tahun dan telah dikaruniai 3 anak yang baik. Ternyata menikah dengan seorang guru memiliki banyak keistimewaan. Kita tak perlu lagi memanggil guru les privat untuk anak-anak jika di rumah sudah ada bapaknya. Pun saya kagum dengan kesabarannya menghadapi istri dan anak-anaknya yang saat berkumpul bagai murid SD yang meminta perhatian gurunya.
Tak ada sosok Rambo berotot kuat yang indah dipandang mata, namun selalu ada boneka panda menggemaskan yang nyaman untuk dipeluk.
Memang suami saya bukanlah John Rambo sang pahlawan berotot, tapi saya bahagia menikahi pak guru menggemaskan yang siap jadi pahlawan bagi keluarganya.
#ElevateWomen