Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Lathifah Iffah
Tanggal 28 Juni 2008, 13 tahun yang lalu adalah hari saat kami berdua membeli cincin nikah dan kalung sebagai mahar. Kami membelinya berdua dan menghitung anggaran bersama.
Bulan Maret tahun 2007, sebagai fresh graduate yang baru lulus kuliah dan pertama kali bekerja, sungguh suatu tantangan tersendiri hidup di kota besar tanpa keluarga dan sanak saudara. Saya dan tiga orang teman sekampus di terima di sebuah perusahaan setelah melalui seleksi di kampus. Siapa sangka di kota ini pula saya bertemu dengan jodoh tak terduga.
Kami bertemu dengan cara yang unik. Beliau adalah guru dan saya muridnya. Setelah mengenal beberapa bulan kami pun memutuskan ke jenjang yang serius.
Bulan Desember 2007 beliau bersilaturahmi ke orang tua saya dan bulan Januari 2008 saya yang diajak menemui orangtua beliau. Hingga akhirnya pada 28 Juni 2008 kami berdua membeli cincin nikah dan kalung untuk persiapan menikah.
Dengan latar belakang keluarga sederhana kami tidak ingin merepotkan orangtua dalam hal ini. Bahkan calon suami menggunakan uangnya sendiri tanpa merepotkan orangtua dan keluarga. Kami saling terbuka dalam keuangan dan dengan anggaran seadanya saat itu, setelah membeli cincin pernikahan dan kalung, sisa uang digunakan untuk membeli mukena dan hantaran nikah seperti buah, jenang wajik, dan kue-kue. Dan kalian tahu, kami menikah seminggu kemudian.
Beliau datang satu mobil bersama keluarga inti dan seorang kerabat sekaligus supir. Di keluarga saya ada beberapa kerabat dari pihak ayah dan ibu. Tanpa tenda, riasan, dan undangan. Ayah menikahkan langsung anak perempuan satu-satunya ini secara langsung dan akad sipil serta resepsi rencananya akan dilakukan tahun depan.
Bagaimana rasanya menikah sederhana? Saya merasa tak pernah seyakin dan sekuat ini tentang seseorang dan saya merasa tak akan menyesalinya. Selain itu menurut ibu, jika mengutamakan akhirat maka dunia akan mengikuti.
Selepas nikah akad, suami langsung pulang bersama keluarganya. Dan 2 hari kemudian kami sudah beraktivitas seperti biasa. Sedikit yang tahu jika kami sudah menikah karena tinggal pun terpisah. Masih sama seperti sebelumnya. Bedanya saat liburan kami menyempatkan untuk jalan-jalan atau menengok orang tua. Layaknya pacaran setelah menikah.
Jarak dari akad nikah agama ke akad nikah sipil dan resepsi sekitar 9 bulan. Di masa-masa itu kami berjuang menyiapkan banyak hal. Suami lulus S1 dan saya masih bekerja seperti biasa. Suami juga membelikan barang-barang yang umum dijadikan hantaran seperti pakaian, make-up, tas dan sepatu/sandal. Bedanya tidak dihias seperti hantaran namun langsung saya pakai. Ah, jika diingat kami memang orangnya sesimpel itu.
Advertisement
Semua Proses Dijalani dengan Seikhlas Mungkin
Kami juga memesan sendiri undangan dan baju pengantin. Sedangkan ayah memesan dekor serta tenda dan ibu menyiapkan konsumsi dibantu tetangga sekitar. Saya sangat berterima kasih kepada orangtua yang menerima suami secara ikhlas dan bahagia. Meski budget terbatas tapi kami semua bahagia.
Untuk pernikahan dari awal hingga akhir, suami yang mengeluarkan dana sehingga tidak merepotkan orang tuanya sama sekali.
Empat hari sebelum acara, janur kuning dan tenda sudah terpasang. Di kampung saya, para tetangga memang kondangan sebelum acara akad nikah. Rumah sangat ramai. Tamu datang pagi hingga malam. Dan di hari H keluarga suami datang. Acara pun dimulai dan akad diulang kali ini bersama penghulu. Beda dengan yang pertama kali ini ayah yang gugup dan suami lebih santai.
Setelah menikah saya masih bekerja namun pindah ke kampung halaman sehingga tinggal bersama orangtua sehingga kami LDR, ini adalah masa-masa yang sangat sulit. Saking sulitnya hingga kami makin menyadari hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung.
Di tahun berikutnya saya hamil pertama dan Tuhan memberi hadiah beasiswa S2 untuk suami. 2 tahun kemudian saya hamil kedua dan Tuhan kembali memberi hadiah S3 untuk suami. Dan setelah 5 tahun tinggal di pondok orang tua indah sekaligus menjalani LDR, kami pun mengontrak tidak jauh dari tempat kerja suami.
Di kota ini, kota kecil yang tidak kami sangka sebelumnya akan menjadi tempat tinggal kami, dan suami mendapat pekerjaan tetap di sini. Saya pun hamil ketiga. Setelah 3 tahun mengontrak kami membeli rumah sendiri.
28 Juni 2021
Saat ini suami tengah berjuang meraih post doctoral, dan saya melanjutkan kuliah dan saat ini memasuki semester empat. Pandemi membuat kuliah dilakukan secara online sehingga memudahkan ibu-ibu seperti saya dapat kuliah lagi sekaligus melakukan rutinitas harian.
Ketiga malaikat kecil kami pun mulai tumbuh besar meramaikan hari-hari kami dengan tingkah polahnya yang selalu menakjubkan. Alhamdulillah kami bisa sampai tahap ini meski masih banyak yang harus kami perjuangkan.
Bagi kami, pernikahan adalah proyek peradaban yang perlu perencanaan bukan sekadar keinginan. Pernikahan juga banyak memberi terapi kejut setiap waktu. Karena mengenal adalah proses panjang yang tak pernah berbatas waktu.
Pernikahan menjadikan kami terus mengevaluasi diri. Alangkah menakjubkan pernikahan karena dapat memadukan perbedaan. Sebab, jika semua sama, untuk apa saling mengada? Jika semua sama, tentu tak perlu lagi saling mengaca.
Pernikahan juga wadah untuk mendahului berbuat kebaikan, mendahului memaafkan. Karena setiap orang adalah guru yang memberi mata pelajaran kehidupan, termasuk pasangan hidup. Dan setiap tempat adalah sekolah untuk memunguti pelajaran itu. Di sinilah rumah tangga menjadi sarana berinvestasi kemuliaan dan kebaikan sehingga dapat menyatu dalam ikatan yang diridai Allah.
28 Juni 2021
Merayakan 13 tahun saling mencintai.
Dari seorang istri yang banyak kekurangan dan masih belajar untuk terus memperbaiki diri.
#ElevateWomen