Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: DK
Lucu! Aku dan suamiku menikah hingga dua kali. Tak banyak yang mengetahui hal ini, selain kami berdua, adik dan bibiku, seorang sepupu suamiku, penghulu, dan satu orang saksi.
Berawal dari petemuan yang tidak disengaja pertengahan Mei 2016 lalu. Ketika itu, di dalam mobil yang terparkir di depan rumah mertua kakak sepupuku, aku baru terbangun dari lelap tidurku di siang bolong.
Saat aku duduk terpaku sambil mengucek-ngucek mata, tiba-tiba berdiri seseorang di samping pintu sebelah kiri mobil, mengajakku bebicara dari luar jendela. Ia menawariku untuk minum es. Kebetulan, cuaca siang itu sedang terik-teriknya dan hawanya pun terasa sangat panas. Tanpa pikir panjang, aku menerima tawaran itu. Dia pun segera mengambil kuda besinya menghampiriku, dan mempersilakanku untuk duduk diboncengannya. Kami pun pergi berboncengan menuju ke arah pasar.
Perkenalan dimulai setelah setengah perjalanan berlalu. Dia membuka pembicaraan dengan menanyakan nama panggilanku. Perkenalan biasa yang seringkali terjadi pada orang-orang sedianya, ada sedikit terpaan canda dan tawa di dalam bicara. Sepanjang perjalanan itu, kami saling melempar tanya jawab, menyelami satu sama lain. Tak terasa, kami pun sampai ke tempat tujuan. Di sana kami memesan dua gelas es dan dua mangkuk bakso, lalu melanjutkan perbincangan.
Di sela-sela waktu makan, ada hal memalukan terjadi. Tiba-tiba perutku terasa mulas, dan ingin buang air besar. Dalam hati, sangat malu untuk mengungkapkan keadaan ini, pikirku karena kami baru saja berkenalan dan jalan. Namun, kondisinya tidak memungkinkan untuk diam.
Akhirnya dengan wajah memerah aku pun mengatakan yang sesungguhnya. Meskipun dia tertawa kecil mendengar pengakuanku, tapi dia menjadi sangat panik. Kami pun segera pergi menuju WC umum di wilayah pasar. Setelah itu kami pulang kembali ke rumah mertua sepupuku.
Sebenarnya, untuk pengalaman memalukan ini ingin aku lewatkna. Tetapi, hal ini salah satu yang paling diingat dan diangkat ke dalam obrolan aku dan suamiku ketika mengenang pertemuan pertama kami. Di situ kami tertawa.
Advertisement
Menikah di Bawah Tangan
Sedari tadi, aku belum memperkenalkan lelaki ini. Sebenarnya, dia merupakan adik dari suami kakak sepupuku. Tepatnya kami memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Meskipun begitu, sejak pertemuan itu aku mulai menaruh hati padanya. Rasanya begitu cepat. Tapi itulah yang aku dengar dari hati kecilku, yang membisikkan bahwa dialah orangnya.
Seminggu berlalu, aku mulai penasaran dengan kondisinya saat ini. Hatiku rasanya ingin lagi dan lagi menyatukan komunikasi. Meskipun akan sedikit sulit, mengingat kami tinggal di kota yg berbeda. Tapi, hello! Ini zaman teknologi, telepon seluler tentu mampu menjadi penolong, kataku dalam hati.
Sayangnya, handphone-ku rusak dan mati total, harapanku untuk berhubungan kembali dengannya sedikit sirna. Aku memutar otak, bagaimana caranya untuk mendapatkan pinjaman handphone. Akhirnya, aku meminjam handphone kakakku, untuk menelepon salah seorang temanku dan meminjam handphone kepunyaannya. Sore itu juga, dia mengantarkannya untuk dipergunakan olehku selama yang aku mau.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, satu lagi rencana Tuhan yang kuharapkan datang. Kakak sepupuku memberiku nomor handphone adik iparnya itu, sebelum aku mencari tahu sendiri. Sepertinya ia mengendus bau hatiku yang sedang berbunga-bunga. Dia merasa aku punya perasaannya dengan adik iparnya itu, sejak kuceritakan pertemuan kami berdua. Aku menyambut baik niat kakakku untuk menjodohkan kami.
Singkat cerita, akhirnya dia dan aku pun intens berhubungan melalui handphone, baik SMS maupun telepon. Sempat sesekali dia berkunjung ke kotaku dan begitu pun sebaliknya. Sampai akhirnya, kami memutuskan untuk membuat komitmen. Terhitung sangat cepat, hanya memakan waktu dua bulan untuk kami berkomitmen ke tahap yang lebih serius.
Keluarga besar tidak mengetahui hubungan kami berdua, selain kakak sepupuku itu. Oleh karenanya, aku merasa perjalanan cinta kami ini cukup berat dan dihantui dengan tanggungjawab yang besar. Tidak ingin merusak nama baik keluarga, kami berdua pun memutuskan untuk menikah di bawah tangan secara diam-diam, untuk langkah awal merealisasikan komitmen kami.
Kami pun menjalankan pernikahan di kota kelahiranku pada tanggal 14 Agustus 2016. Saat penghulu menyebut kata "sah" disambut para saksi, perasaanku pun campur aduk, antara sedih dan bahagia. Di dalam doa, seketika aku terkenang wajah ibuku yang telah meninggal 10 tahun lalu, dan teringat akan ayahku yang pergi tak tahu rimbanya sepeninggal ibuku.
Beginikah takdir pernikahanku? Tanpa orang tua, keluarga besar, sanak saudara dan para sahabat? Tanpa pesta yang meriah seperti orang lain? Pernikahan yang hanya diakui oleh hukum agama, tanpa diakui oleh hukum negara.
Aku pun menatap wajah mempelai pria dalam-dalam. Saat itu, kusadari bahwa ada dia di sampingku. Sambil menutup mata dan menghela napas panjang, aku pun segera berkesimpulan, bahwa inilah yang terbaik untuk kami berdua pada saat itu. Lalu, setelah ijab kabul selesai, dalam suasana haru biru, aku berpamitan dengan adik dan bibiku, untuk ikut bersama suamiku kembali ke kotanya dan tinggal di sana. Suara rintihan tangisan memecah keheningan saat itu.
Menghadirkan Restu dalam Pernikahan
Setelah itu, perjalanan pernikahan pertama kami ini pun di mulai. Terasa cukup pelik, mengingat kami tinggal di rumah kontrakan yang berada di kota tempat suamiku dan keluarganya menetap. Jadi, kalau ingin keluar rumah, tidak boleh sampai ada keluarga atau kerabat yang melihat kami sedang berdua. Karena pengakuanku terhadap keluarga pada waktu itu, sedang bekerja di luar kota.
Sedangkan suamiku, meski di dalam ketakutan akan ketahuan, ia tidak menunjukkan gerak gerik yang mencurigakan keluarganya. Kepulangannya ke rumah yang hanya bisa dihitung dengan jari pada waktu itu, tak menjadi persoalan yang berarti bagi keluarganya. Sebab, hal tersebut sering ia lakukan semasa bujang. Ia juga masih bisa bekerja seperti biasa, membantu orang tuanya berjualan di pasar setiap hari. Bedanya kali ini, uang yang didapatkannya untuk pemasukan rumah tangga kami berdua. Meskipun rumah kontrakan hanya dihuni aku dan suamiku, serta sebuah koper baju, tapi kami berdua sangat bahagia.
Bak putri konglomerat yang sedang pergi meninggalkan rumahnya, ke mana pun ia berada, seakan ada pesuruh ayahnya yang memata-matai. Kurang lebih begitu yang kami rasakan setiap akan keluar rumah. Hal ini berlangsung selama satu bulan lamanya.
Meskipun sebenarnya kami bahagia, tapi ada realita kehidupan sesungguhnya yang sudah menunggu di depan mata. Dan sepertinya rasa muak mulai menghampiri kami dalam persembunyian kala itu. Kami berpikir ulang, tentang hal yang kami jalani saat itu. Bahwa sebetulnya kami hanya membutuhkan restu dari keluarga besar untuk hidup bebas dalam pernikahan yang diakui agama sekaligus Negara. Mungkin, langkah awal komitmen yang kami jalani pada waktu itu salah.
Kami berdua bersepakat untuk berpisah sementara waktu, demi memikirkan cara untuk meminta restu kepada keluarga masing-masing dan menjalankan pernikahan tanpa diam-diam. Kenapa diam-diam? Karena kami malu atas hubungan kekerabatan yang kami jalin pada saat itu. Apalagi setelah tahu, orang tuanya tidak merestui hubungan kami, menjadi tantangan yang sangat berat bagi kami berdua, terutama aku.
Setiap perempuan di posisiku pada saat itu mungkin akan merasa sedih dan bingung, bagaimana melanjutkan kehidupan setelah menikah di bawah tangan tanpa diketahui keluarga besar dan kerabat sekitar. Kenyataannya, untuk melenggang ke pernikahan sesungguhnya saja terhalang restu dari keluarga pasangan. Waktu itu, kami berada dalam dua pilihan, mengakhiri pernikahan dibawah tangan atau lanjut dengan menerobos dinding penghalang. Komitmen pun kami lanjutkan dengan bertahan dan mengambil pilihan yang kedua.
Satu bulan lamanya bergelut dengan restu, akhirnya aku dihadirkan di tengah-tengah keluarga inti suamiku. Ia meyakinkan keluarganya, terutama kedua orang tuanya untuk menikahiku. Sesuatu yang pamali bagi mereka, mengingat kami berdua masih memiliki hubungan keluarga yang dekat. Namun, dengan keyakinan dan tekad kami berdua yang besar akan hubungan ini, mereka pun luluh. Sebagai perempuan, hatiku pun merasa sangat lega mendengar hal ini. Rasa bingung dan cemasku seketika hilang. Mata yang tadinya sudah berkaca-kaca, pecah terhempas rasa bahagia dan berderai ke seluruh sisi wajahku.
Pernikahan pun akhirnya dilaksanakan pada 23 November 2016. Ada wali hakim di sana. Ada penghulu, saksi, dan keluarga besar kami berdua duduk bersimpuh mengitari meja yang akan menjadi tumpuan untuk suamiku mengucap ijab kabul di hadapan semua orang. Inilah realita kehidupan rumah tangga yang telah kami jalani selama 5 tahun terakhir, serta dikaruniai sepasang anak yang pintar dan menggemaskan. MasyaAllah tabarakallah, terima kasih ya Allah untuk lika liku awal perjalanan pernikahan kami. Kisah yang akan kami kenang di masa sekarang dan yang akan datang.
#ElevateWomen