Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Anna Fitri
“Kangen Rongkop, Pak Geng?” bunyi chat salah satu teman kepada Pak Sugeng, mantan guru SMAN 1 Rongkop. Komentar tersebut merespon kiriman Pak Sugeng berupa video lagu “Ku Terkenang Selalu“ lagu jadulnya Arie Koesmiran dengan klip berupa perjalanan panjang melewati jalan sepi berliku yang penuh pepohonan. Sedetik kemudian anganku melayang pada kenangan 12 tahun lalu, ketika aku mengajar di SMAN 1 Rongkop, Gunungkidul, DIY.
Aku seorang pelajon. Pelajon adalah istilah bahasa Jawa, untuk menyebut seseorang yang setiap hari menempuh perjalanan jauh untuk pergi dan pulang antara rumah dan tempat tujuan. Bisa untuk tujuan bekerja, sekolah, atau untuk tujuan lain.
Selama sembilan tahun aku mengajar di SMA N 1 Rongkop, yang berjarak 60 km dari rumah. Karena akses transportasi cukup mudah, maka aku memutuskan untuk tidak kost atau kontrak di dekat sekolah. Menurutku akan cukup repot jika aku berada jauh dari suami dan anakku.
Setiap hari jarak 120 km kutempuh dengan angkutan umum. Agar tidak terlambat, aku berangkat sekitar pukul 04.30 dari rumah. Setelah bangun, aku mandi, sholat subuh, dan sarapan seadanya yang disediakan suami. Setelah bersiap-siap aku menunggu bus Purwo Widodo yang akan mengantarkan aku ke sebuah dusun nun jauh di sana, di Rongkop, Gunungkidul, DIY. Kami menyebutnya Jogja lantai 3.
Advertisement
Pengalaman Mengajar di Sekolah yang Jauh dari Rumah
Purwo Widodo adalah angkutan umum yang akan membawaku dari depan rumah sampai depan sekolahku. Perjalanan panjangku setiap hari lebih banyak kuhabiskan untuk tidur. Saking lamanya perjalanan, aku terbangun dan kembali tertidur pulas hingga tiga kali pun belum sampai di tempat tujuan.
Perlu waktu kurang lebih satu setengah sampai dua jam untuk sampai ke sekolahku. Purwo Widodo adalah pacarku, begitu teman-teman mengolokku. Bagaimana bukan pacar, setiap hari dua kali berkencan. Hampir semua sopir dan kondektur Purwo Widodo akrab denganku.
Aku simpan baik-baik nomor telepon mereka di HPku. Begitu kehilangan nomor mereka, pusing tujuh keliling rasanya. Setiap hari kulalui dengan hati berdebar. Akankah Purwo Widodo tepati janji mengantar dan menjemputku? Ataukah dia akan ingkar janji karena sedang rewel busnya atau masuk angin sopirnya. Jika Purwo Widodo ingkar janji, buyarlah hariku. Aku akan sampai di sekolah jam sembilan, dengan wajah kuyu dan hati kesal. Untunglah teman-teman memaklumi keadaanku sebagai pelajon. Berbeda ketika Purwo Widodo tepati janji. Aku sampai di sekolah pukul 06.30. jauh lebih dulu daripada teman-teman yang rumahnya dekat sekolah. Hitung-hitung sebagai ganti kalau aku harus terlambat sampai sekolah.
Dari rumah aku berangkat setelah subuh. Hari masih gelap. Sangat gelap. Di awal dulu aku menunggu bus dengan ditemani suamiku. Lama-lama terbiasa juga. Aku duduk di tepi jalan, sendiri. Kadang aku memandang bulan purnama yang belum beranjak dari peraduannya. Indah sekali. Kadang aku bertemu dengan orang yang baru pulang dari jaga malam. Kadang aku bertemu tukang ojek yang menawarkan jasa padaku. Batinku, yakin kamu mau nganter aku sejauh 60 km? Kadang ada orang gila lewat, yang memandangku dengan penuh keheranan. Dikira aku teman barunya. Kadang ada mobil berhenti menawarkan tumpangan padaku, namun aku tolak. Aku setia pada Purwo Widodo.
Aku menunggu Purwo Widodo dengan penuh harap. Ketika dia datang dan aku sudah di atas bus, sapa ramah kondektur mengantarku duduk di tempat yang masih kosong. Kuserahkan uang yang sudah kusiapkan kepada sang kondektur. Sepuluh ribu rupiah untuk menempuh jarak 60 km, sungguh sangat ramah di kantong. Tetapi itu harga khusus pelajon. Kalau penumpang umum ongkosnya bisa tiga kali lipat.
Bus kadang kosong, kadang penuh. Lampu di dalam bus masih menyala menandai masih gelapnya hari. Bus melaju di tengah pekatnya subuh hari. Penumpang lain pulas tertidur. Tidak banyak pemandangan yang bisa kunikmati karena masih gelap. Favoritku adalah ketika bus melintasi Bukit Bintang. Kulihat di bawah sana pemandangan kelap kelip lampu di kota kapanewon. Cantik. Secantik bintang-bintang di langit malam.
Setelah itu barulah aku bersiap untuk tidur. Beberapa lama pulas, aku terbangun ketika hampir separuh perjalanan, Pasar Gading Playen. Beberapa penumpang turun di sini. Teringat suatu peristiwa lucu.
Pertolongan-Nya Selalu Dekat
Hari itu, menjelang jam keberangkatanku ke sekolah, entah mengapa perutku sakit sekali. Sebenarnya harus ke toilet dulu, namun aku takut ketinggalan Purwo Widodo. Karena itu dengan berat hati dan berat perut aku berangkat ke sekolah tanpa ke toilet terlebih dahulu. Seraya berdoa semoga aku bisa menahannya sampai sekolah nanti.
Sebelum naik bus, tak lupa aku ambil sebutir batu kecil dan aku simpan di sakuku. Aku ingat pesan ibu, kalau ada panggilan alam sedangkan aku belum bisa ke toilet, maka ambillah batu kecil sebagai teman. Insya Allah bisa tahan hingga nanti aku bisa ke toilet.
Hari itu aku tidak bisa tidur di dalam bus. Perjalanan semakin terasa lama. Semakin lama rasanya semakin tidak tahan. Aku terus berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Tidak berani turun bus karena Purwo Widodo berikutnya lewat satu jam kemudian. Dan itu berarti aku akan terlambat tiba di sekolah.
Entah seperti apa wajahku saat itu. Semakin genting dan semakin gawat. Sampai di depan Pasar Gading tiba-tiba bus berhenti, sopir dan kondektur panik karena ban bocor. Perlu waktu beberapa lama untuk mengganti ban. Aku segera turun, menemui pak kondektur, izin mau ke toilet sebentar, sementara Purwo Widodo ganti ban. Aku mencari toilet terdekat. Dan sebentar kemudian, lega rasanya. Berkurang sudah beban hidupku. Bersyukur, bahwa memang pertolongan Allah itu dekat, sangat dekat. Peristiwa lucu yang tidak masuk akal dan penuh keajaiban.
Perjalanan berlanjut. Tibalah aku di ibukota kabupaten Gunungkidul, Wonosari. Kesibukan pagi hari mulai terlihat. Pasar Argosari terlihat ramai. Senang sekali mengamati geliat roda perekonomian di pasar ini. Pedagang nasi uduk, aneka jenis pisang, mainan anak, tanaman hias, makanan kecil, lengkap sekali. Lepas dari Wonosari, busku melanjutkan perjalanan.
Melewati kapanewon Semanu. Di kapanewon Semanu ini aku melihat indahnya terbit sang mentari. Bulat penuh, bersinar lembut, cantik sekali. Menjanjikan hari baru yang penuh asa. Luar biasa karunia Allah SWT. Setelah mengagumi sang mentari, aku akan disambut dengan jalanan yang lebih sepi daripada jalanan yang sebelumnya kulalui.
Rumah-rumah sederhana, tanah berkapur, deretan pohon jati menyambutku. Jalan semakin lengang. Tiba saatnya aku memasuki wilayah pegunungan karst, gunung-gunung kapur berdiri dengan kokoh di kanan kiri jalan. Semakin banyak, semakin memukau. Apalagi di saat musim penghujan. Gunung-gunung kapur itu nampak menghijau, diselimuti oleh pepohonan yang tumbuh subur. Dilatari oleh langit yang biru, sungguh pemandangan indah yang luar biasa. Di antara gunung-gunung kapur itulah sekolahku berada.
Sekolah kecil berpagar deretan pohon kepel yang langka. Kepel (Stelechocarpus burahol) adalah flora identitas provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanaman istimewa dengan buah seukuran genggaman tangan, berkulit coklat dengan daging buah kuning langsat tumbuh bergerombol menempel di sepanjang batangnya. Buahnya terasa manis dan wangi. Bahkan aroma wanginya masih terbawa urin ketika buang air kecil. Uniknya lagi, daun-daun muda dari tanaman kepel ini berwarna pink kemerahan sebelum berubah menjadi hijau. Sungguh cantik.
Sekolah kecil ini memang mempesona dengan segala keunikan dan suasana kekeluargaan yang erat dan memikat. Bersyukur aku bahwa perjalanan yang kulalui setiap hari untuk bekerja layaknya perjalanan untuk berwisata. Namun itu hanya terjadi pada kondisi normal ketika Purwo Widodo setia dan tidak ingkar janji. ketika Purwo Widodo tidak mengantarku ke sekolah karena rusak busnya atau masuk angin sopirnya, ceritaku berbeda lagi. Aku akan merasa menjadi orang paling tersiksa di dunia.
Ketika tidak ada Purwo Widodo, dari rumah aku naik minibus hingga Wonosari. Sesampai Wonosari aku harus turun dan menunggu armada lain untuk menuju sekolahku. Armada lain itu bisa berupa minibus berikutnya, tumpangan teman, atau tumpangan orang baik hati yang yang tak kukenal.
Paling nyaman bagiku tentu jika kebetulan ada teman lewat, aku bisa menumpang sampai sekolah. Namun ketika keadaan membuatku harus naik minibus jurusan Rongkop, aku harus ekstra bersabar. Minibus ini akan berjalan pelan, sangat pelan. Pak sopir telaten mencari penumpang. Yang istimewa, pak sopir minibus ini mau mengantarkan penumpangnya hingga sampai rumah masing-masing, di luar jalur rutenya. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengantar penumpang sampai rumah masing-masing. Belum lagi jika ada penumpang naik membawa kambing atau ayam karena kebetulan hari itu hari pasaran. Bisa dipastikan sesampai sekolah aku akan beraroma kambing atau ayam.
Opsi lain ketika tidak ada teman lewat atau tidak ada minibus jurusan Rongkop, aku pernah ditolong oleh sopir truk. Ya, ada sopir truk pasir menawarkan tumpangannya. Karena hari sudah semakin siang, maka aku bersedia. Sepanjang jalan kami mengobrol. Sungguh baik hati pak sopir truk ini. Tak terasa aku sudah sampai sekolah.
Ketika aku cerita pada teman-temanku bahwa aku ditolong sopir truk, ada sahabatku yang tiba-tiba menangis. Dia menangisi perjuanganku untuk ke sekolah, harus ikut truk pasir. Dia tidak tega padaku kalau aku harus menumpang truk pasir. Padahal aku merasa baik-baik saja. Justru semakin merasakan bahwa pertolongan Allah itu dekat, sangat dekat. Pertolongan Allah datang melalui orang-orang baik yang kutemui selama perjalanan panjangku dari rumah hingga sekolah.
#ElevateWomen