Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Fathiya
Bali pada Mei itu terasa indah. Kesepian dan kerinduan menjadi teramat ramah.
Ini bukan kali pertama kami menginjak Bali. Anak lelaki 9 tahun kami sudah 3 kali, namun baginya perjalanan masa pandemi ini begitu mengesankan.
Menempuh jalan darat seharian dengan mobil pribadi yang disopiri ayah ibunya adalah makna sebuah perjuangan. Membangunkan mereka yang tertidur untuk sekadar melihat monyet di pinggir jalan Baluran, mengajarkannya arti sebuah kebebasan. Menyeberangi laut yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali, lalu turun di atas kapa feri, menyadarkan mereka tentang luasnya ciptaan Tuhan.
Bali kali ini memang beda. Tak hanya jalanan yang sepi, hotel bintang 5 yang dulu cuma mimpi akhirnya bisa kami tiduri. Begitulah pandemi yang memaksa Bali harus turun harga. Kami berpindah-pindah hotel dari Lovina, Buleleng, Tabanan, hingga Pantai Canggu dalam kurun waktu 5 hari.
Tak ada wajah lelah yang terpancar dari tiga anak lelaki kami. Mereka mengamati dengan amat teliti tiap jengkal perjalanannya. Bangun pagi menyaksikan puluhan Lumba-lumba beriringan di laut Lovina yang berpasir hitam. Hingga melepas senja usai mengejar ombak di Pantai Melasti yang berpasir putih.
Bali terlalu indah untuk ditinggalkan, meski dunia memang sedang kemalangan. Kami seperti tuan rumah yang kehilangan kawan-kawan turis asing. Penjaja oleh-oleh mengejar kami dengan amat gigihnya sekadar membeli gantungan kunci lumba-lumba atau kain pantai yang diobral habis asalkan dapat pelanggan satu dua saja.
Advertisement
Bersama Tiga Buah Hati Tercinta
Menikmati Bali tak hanya keindahan pantai. Di sudut-sudut Danau Beratan, mereka, para petani mengais rejeki dengan menyewakan tenda-tenda camping hingga yang glamping sekalipun. Dan semua tenda yang kami sambangi Sabtu itu penuh. Rupanya turis lokal memilih bermalam di tenda ketimbang di hotel-hotel yang sudah biasa.
Anak-anak lelaki kami dilepas di kebun Strawberry petik sendiri yang terhampar luas di sepanjang Buleleng. Suasananya begitu hangat meski udara dingin sekalipun. Mereka melihat petani dan peternak Babi. Di keranjangnya masing-masing, terkumpul Strawberry merah satu kilogram yang dibanderol 50.000 rupiah. Hanya bermodal 50.000, mereka bisa menikmati jus Strawberry segar dan menyemil sepanjang jalan dari buah yang mereka pilih sendiri. Begitulah kami mengenalkan anak-anak lelaki 4, 6, dan 9 tahun itu tentang mengambil keputusan. Karena hakikatnya, jalan panjang mereka adalah berkutat pada seni memilih yang layak dipilih, dan meninggalkan yang belum layak tanpa harus merusak.
Belum lengkap perjalanan kami tanpa kuliner. Bali memang surga nya makan enak bagi pecinta sambal matah dan segala hidangan laut. Tiba di Bali saat senja, kami memutuskan berhenti di kedai ikan bakar di pinggir Lovina. Menikmati ikan bakar, cumi mentega, lima piring nasi dan 6 gelas es teh manis, hanya cukup membayar 165.000 rupiah. Di hari berikutnya, makan siang kami dipuaskan oleh menu khas Bali di Warung D'Ala Desa di perbatasan Badung dan Tabanan. Tak sampai 200.000 rupiah, kami sudah puas menyantap kerang dan ayam bakar, tak ketinggalan ikan gurame dilumuri bumbu kuning yang penuh citarasa Indonesia.
Namun, belum puas rasanya tidak mengunjungi spot viral tempat makan mahal yang keren bernama Rumah Gemuk. Di sini memang bukan tempat hemat, tapi dengan deposit 100.000 rupiah per orang saat weekend, rasanya kami menjumpai surga yang diam-diam tersembunyi dibalik jalan kecil itu. Menu nya memang lezat mulai dari main course hingga dessert, bagi mereka yang aktif di Instagram tentu tak akan rela tanpa berfoto lengkap di setiap sudutnya.
Lima hari di Bali di masa pandemi bagaikan berlayar di laut yang tenang. Bersyukurlah kami membawa serta asisten yang siap menjaga anak-anak saat ayah ibu cuma ingin berdua. Menikmati pagi bersepeda sepanjang Handara Gate atau bersepeda keliling Canggu, berdua saja, sungguh bulan madu terindah yang pernah ada dalam 10 tahun perjalanan kami.
Bali yang kami ukir dalam story ini masih belum lengkap tanpa kesan yang dititipkan lewat tangan lembut seorang pemijit tradisional bernama Fitri. Di hotel Ulaman Resort, ayah dan ibu menghabiskan 90 menit sangat berarti, sekadar meregangkan otot yang lelah, kepala yang penuh dengan ambisi orang kota, semua terurai di bilik kecil yang mengalir di bawahnya baby waterfall yang tersedia dalam hotel. Dan lima hari di akhir Mei 2021, menjadi perjalanan terbaik kami yang tak kan terlupakan.
#ElevateWomen