Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Novita Prima
Traveling is always interesting and surprising.
Bicara soal perjalanan memang tak akan ada habisnya, banyak hal menarik yang layak untuk diulik, apalagi jika kita merancang sendiri perjalanan tersebut. Menyusun itineraries, packing time, hingga mengatur akomodasi akan menimbulkan sensasi tersendiri.
Euforia perjalanan bahkan sudah begitu terasa saat kita baru saja merancangnya. What a nice thing to do! Hal paling menarik dan ngangenin dari setiap perjalanan itu adalah kejutan-kejutannya dan yang namanya kejutan tentu saja luput dari perencanaan, karena tak terencana tentu hal tersebut menjadi biang kepanikan, sedikit gegeran, namun berakhir dengan tawa penuh kepuasan bila telah berhasil mengatasi kejutan tersebut.
Jauh sebelum pandemi, saya dan beberapa kawan seringkali melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari di suatu tempat yang telah kita sepakati sebelumnya. Dalam satu waktu perjalanan, tempat yang kami tuju bisa sangat beragam.
Kami pernah mengunjungi sebuah pulau terpencil di sebelah tenggara Pulau Madura dan di pulau tersebut terdapat taman air dengan terumbu karang yang indah, di sana kami juga sempat tinggal bersama penduduk lokal selama beberapa hari. Selain itu, perjalanan ke pegunungan, pantai, pedesaan, air terjun, savana, daerah konservasi, perkotaan modern, kota lama, museum, wisata heritage, hingga ke thematic park yang menggabungkan konsep artificial dan nuansa alam juga pernah ada dalam agenda perjalanan kami.
Di setiap perjalanan yang kami lakukan, tentu semua terjadi tidak mulus-mulus saja. Beragam kejutan turut menyemarakkan perjalanan.
Saat bervakansi ke Blitar, kami pernah ketinggalan kereta. Kereta api yang seharusnya membawa kami pulang ke Surabaya, justru pergi berlalu diiringi peluit panjang dari petugas stasiun tepat saat kami ber-wefie. Jelas ini adalah kesalahan fatal, namun alih-alih jadi gegeran, yang ada malah kami tertawa berjamaah mengingat kekonyolan yang kami lakukan.
Kami memang panik untuk sesaat, tapi kepanikan tidak akan menyelesaikan permasalahan. Butuh beberapa menit saja untuk bangkit dari panik, setelahnya kami harus on track lagi untuk mencari solusi dari situasi ini. Beruntung kereta api Blitar–Surabaya masih menyisakan satu jadwal keberangkatan, meski kami harus menunggu sekitar 3–4 jam untuk keberangkatan selanjutnya.
Kami pun membeli tiket lagi agar bisa pulang ke Surabaya. Tiket kereta api yang telah kami reservasi sebelumnya tentu saja sudah tidak berlaku. Risiko membeli tiket go show adalah kami tidak mendapat seat di dalam gerbong kereta. Keterangan di tiket kami adalah tiket tanpa tempat duduk. Sebal sih dengan kenyataan itu, mengingat seharusnya kami bisa duduk santai menikmati perjalanan di dalam gerbong kereta. Apalagi saat itu malam sudah larut dan tenaga kami mulai surut. Perjalanan 5 jam yang akan kami lalui menjelma seperti malam yang paling sunyi karena harus dilalui dengan berdiri, sementara penumpang lain duduk nyaman di kursi.
Advertisement
Setiap Perjalanan Itu Unik
Selepas isya, kereta api Rapi Dhoho yang akan kami tumpangi datang. Kami bergegas untuk menuju salah satu gerbong kereta. Kami bebas memilih gerbong mana saja yang kami suka sebab kami tidak memiliki nomor kursi, namun sebelumnya kami telah bersepakat untuk memilih gerbong di sebelah gerbong restorasi (gerbong makan kereta api), alasannya sederhana saja, jika di gerbong tujuan semua kursi telah terisi, kami dapat dengan mudah berpindah ke gerbong restorasi dan numpang duduk agak berlama-lama di sana dengan memesan makanan atau minuman yang tersedia.
Nasib kami ternyata tidak terlalu buruk. Meski hanya berbekal tiket tanpa kursi di dalam gerbong yang kami pilih, kami bisa duduk di kursi kosong, meski harus sering berpindah-pindah sebab jika di satu stasiun pemilik kursi telah naik, kami harus rela terkena gusur dan melipir mencari kursi lainnya yang tak berpenghuni. Sekira 5 jam lamanya, drama pindah kursi pun usai, hampir tengah malam kami tiba di Surabaya, padahal esok pagi kami semua harus sudah siap masuk kerja.
Kejutan lain pernah terjadi saat kami akan naik ke Gunung Ijen. Sesuai rencana seharusnya kami mulai trekking tepat tengah malam untuk dapat menyaksikan Blue Fire di atas sana. Pukul 23.30 kami semua telah siap dengan amunisi masing-masing, pun siap berhadapan dengan gelap dan dinginnya malam di atas gunung. Tiga puluh menit berlalu, kendaraan jenis minibus Elf long yang telah kami reservasi jauh hari tak kunjung menampakkan diri.
Tak seberapa lama ponsel saya berdering, nampak di sana nomor kontak pemilik rental mobil yang saya reservasi. Dari panggilan seluler tersebut, pemilik rental menjelaskan bahwa minibus yang akan menjemput kami mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Minibus tersebut semestinya akan menyebrangi Selat Bali dengan kapal feri, lalu tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi dan segera menjemput kami di penginapan, namun naas sebelum sampai di Pelabuhan Gilimanuk perjalanan minibus harus terhenti. Sebagai kompensasi atas kendala tersebut, pihak rental mobil memberikan 2 unit standard minibus untuk menjemput kami. Atas kompensasi itu, kami mendapatkan tambahan kenyamanan. Ruang duduk menjadi lebih lapang dan barang bawaan dapat diangkut dengan unit yang satunya.
Blue Fire urung kami nikmati kemagisannya, sebab waktu trekking yang terjadwal semula harus mundur beberapa jam lamanya untuk menunggu kendaraan pengganti yang menjemput kami. Lepas subuh kami baru memulai perjalanan menuju Gunung Ijen.
Syukurlah sebelum pukul 9 pagi kami semua sudah tiba di puncak dan dapat menyaksikkan lukisan indah dari Sang Pencipta yang sungguh memukau panca indera. Kilau Kawah Ijen yang berwarna tosca terlihat begitu kontras dengan kuning belerang di sekelilingnya, sungguh warna alam yang luar biasa indahnya. Saat berada di tengah-tengah hamparan belerang dan dikelilingi oleh bentang alam di puncak gunung, sungguh sangat terasa betapa manusia sangat kecil di antara ciptaan dan kuasa-Nya.
Meski tak terlalu lama kami menghabiskan waktu di atas sana sebab semakin siang asap belerang akan semakin naik dan tak baik untuk pernapasan, namun rasa syukur dan takjub terasa begitu kental mengingat kendala yang kami alami untuk menuju tempat ini. Kejutan perjalanan kadangkala terlihat sebagai suatu masalah pada awalnya, namun di balik itu semua tentu ada kejutan lain yang tak kalah berkesannya, dan kejutan itu adalah kami bisa sampai tepat waktu di atas sana tanpa terhalang asap belerang yang bukan main tebalnya jika matahari mulai naik di atas kepala.
Tiap Perjalanan Banyak Memberi Arti
Tak berhenti di urusan transportasi saja, kejutan lainnya juga pernah kami alami. Kali ini kejutan tersebut berupa shock therapy di salah satu destinasi. Bagaimana tidak shock jika destinasi yang kami tuju masih dalam proses penggarapan untuk dapat dikunjungi wisatawan.
Jadi, pada saat itu setelah mengunjungi salah satu thematic park di Batu, Jawa Timur, kami melanjutkan perjalanan ke tempat ke-2 yaitu Kampung Wisata Kungkuk, Bumiaji, Batu, Jawa Timur. Kejadian ini berlangsung 8 tahun lalu, saat itu adalah kunjungan pertama kami ke desa wisata tersebut. Sesuai dengan hasil investigasi salah satu dari kami di mesin pencarian Google, desa ini terlihat begitu asri dan memikat hati. Selain itu, desa ini juga belum begitu populer alias belum banyak dikunjungi, wah semakin antusias lah kami untuk menyiapkan diri demi menikmati alam yang asri.
Setelah mengikuti petunjuk jalan dan bertanya pada penduduk sekitar, tibalah kami di gapura masuk sebuah desa. Kami masuk melalui gapura tersebut. Jalan yang kami lalui memang hanya jalanan lurus saja, tapi jalanan tersebut semakin menanjak hingga tanjakan tersebut tak mampu dilalui oleh kendaraan yang kami tumpangi.
Demi kebaikan bersama, kami turun dari kendaraan dan memarkirnya di tepi jalan dengan pak sopir menunggui. Kami lanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki. Udara sekitar terasa begitu segar lantaran kami berada di sebuah desa di kaki gunung. Kampung Wisata Kungkuk ini letaknya tepat di antara Gunung Panderman dan Gunung Arjuno. Semakin naik udara semakin segar, meski kaki mulai terasa pegal, kami tetap bersemangat melalui tanjakan demi tanjakan. Tak apalah, toh setibanya di atas sana pegal akan terbayarkan dengan keindahan yang disuguhkan oleh desa wisata dan lingkungan sekitarnya.
Sambil ngobrol dan sesekali diselipi candaan, beberapa saat kemudian tibalah kami di ujung jalan. Dari tempat kami berdiri telah terlihat hamparan tanah rata yang dikelilingi pepohonan hijau menjulang tinggi. Wah, betapa menyenangkan menghabiskan waktu di sini, begitu pikir kami. Langkah kaki kami kemudian terayun lagi untuk menuju ke tanah lapang itu.
Semakin dekat menuju ke sana terdengar suara bising las. Rupanya ada beberapa orang yang sedang bekerja menyelesaikan sesuatu. Dari kejauhan sesuatu tersebut nampak seperti sebuah pagar besi yang dilas, tapi pagar kok bentuknya berliuk-liuk menyerupai model tulisan tegak bersambung. Daripada penasaran kami jalan mendekati para pekerja tersebut, toh kami juga butuh informasi jalan mana yang harus kami lalui untuk tiba di desa wisata tujuan kami.
Tak ingin membuang waktu, kami pun segera bertanya, di manakah persisnya desa wisata itu berada. Sontak kami saling berpandang mata dan berlanjut tertawa mengetahui kenyataan dan jawaban yang dilontarkan para pekerja las itu pada kami.
Kami tak salah berada di sana, ya tempat itulah lokasi desa yang kami cari, tapi desa wisata itu belum beroperasi untuk kunjungan wisatawan atau dengan kata lain masih dalam tahap persiapan infrastruktur dan sebagainya. Keterkejutan kami semakin menjadi saat dari dekat kami dapat melihat apa yang sedang digarap oleh para pekerja tadi.
Besi berliuk yang dari kejauhan kami kira sebuah pagar tadi, kini dapat terbaca dengan jelas “Kampung Wisata Kungkuk”. Saat kembali mengenang kejadian itu, tak hentinya kami tertawa atas kekonyolan yang terjadi. Jelas saja di mesin pencarian Google begitu minim informasi tentang tempat ini, hingga kami menyimpulkan mungkin tempat ini tidak begitu populer. Bagaimana bisa banyak informasi kami ketahui, tempatnya saja belum usai berbenah diri. Langsung saja salah satu dari kami yang bertugas investigasi desa wisata ini menjadi bulan-bulanan omelan. Duh, salah pilih destinasi!
Setiap perjalanan pasti menyimpan kejutan di luar dugaan dan setiap kejutan tentu menimbulkan beragam kesan pada perjalanan itu sendiri. Selepas perjalanan itu usai akan menjadi kenangan yang tak mudah terlupa. Perjalanan dan kejutan menjadi semacam pasangan yang memang selalu berkaitan, seperti yin dan yang atau seperti penyair dan puisi, keduanya akan saling melengkapi dan memberi arti.
#ElevateWomen