Fimela.com, Jakarta Kasus perkosaan kerap terjadi, namun kita selalu berulang kali lupa untuk membela kepentingan korban. Dalam catatan Komnas Perempuan melalui Rainy Hutabarat menyampaikan keterangannya kepada FIMELA (27/5) di Bekasi terjadi 3 kasus perkosaan terhadap anak berusia 15 tahun. Hal ini sangat bertentangan dengan prestasi pemerintah Bekasi sebagai Kota Peduli HAM selama 4 tahun berturut-turut sejak tahun 2016.
Kasus pemerkosaan PU oleh AT yang menjadi sorotan publik karena dilakukan oleh anak anggota DPRD Bekasi. PU merupakan korban kriminalitas berlapis. Perempuan remaja ini diperkosa berkali-kali sekaligus menjadi korban perdagangan orang secara daring (online) dengan tujuan seksual, dijual seharga Rp. 400.000 per pelanggan.
Ada relasi kekuasaan yang perlu dicermati antara pelaku dan korban. Pelaku adalah anak dari anggota dewan yang artinya memiliki kuasa dan pengaruh lebih besar terhadap opini publik. Dan ini berbanding terbalik dengan korban yang masih dibawah umur.
Advertisement
“PU adalah anak di bawah umur yang belum sepenuhnya dewasa untuk mengambil keputusan sangat penting bagi hidupnya. Jadi PU merupakan korban dengan kerentanan berlapis. Penanganan kasus pemerkosaan terhadap PU perlu menyimak kerentanan berlapis PU,” Jelas Rainy Hutabarat kepada FIMELA.
BACA JUGA
Advertisement
Menikahkan Korban Kekerasan Seksual dengan Pelaku bukan Solusi
Ada hal yang menarik dari kasus ini, dalam keterangan pers (23/5) yang dilakukan oleh Kuasa Hukum pelaku, Bambang Sunaryo menyebutkan jika akan menikahkan korban dengan pelaku. Seperti yang dikutip dari Tirto.id.
"Saya berharap ini AT dan PU ini bisa kita nikahkan, kita urus ya walaupun proses hukum tetap berjalan. barangkali bisa untuk meringankan karena ini sudah terjadi," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Komnas Perempuan memiliki pendapat lain. Menikahkan korban dengan pelaku adalah bentuk pelanggaran HAM yakni perkawinan paksa, yang artinya melakukan kekerasan seksual yang lain. PU adalah anak di bawah umur dan setiap perkawinan paksa terhadap perempuan maupun anak perempuan merupakan tindak kekerasan seksual.
Solusi pernikahan antara pelaku dengan korban pemerkosaan berarti impunitas bagi pelaku atas tindak kejahatan yang dilakukannya. Hak-hak korban atas keadilan disingkirkan. Pemerkosaan berkali-kali dan perdagangan orang yang dialami PU membutuhkan pemulihan. Solusi damai berupa perkawinan hanya menyelamatkan pelaku demi kepentingan nama baiknya namun tak menjamin kekerasan seksual tidak berulang dalam perkawinan yang sifatnya “terpaksa”, apalagi korban masih usia anak.
RUU PKS sebagai Payung Hukum Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu solusi untuk melindungi korban kekerasan seksual. Dalam RUU PKS dijelaskan jika Negara memiliki kewajiban untuk menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat untuk memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual. Ruth juga menambahkan RUU PKS dalam kasus ini mendesak untuk disahkan sebagai payung hukum yang memenuhi hak korban atas keadilan yang sifatnya restoratif, memutus impunitas dan keberulangan.
Tentu saja perlu adanya kerjasama korban dan orangtuanya agar tegas menolak solusi kasus pemerkosaan di luar hukum pidana. Hukum harus ditegakkan tanpa tebang pilih dan hak-hak korban atas keadilan wajib dipenuhi.
“Solusi damai dapat dijadikan cara untuk menyelamatkan nama baik pelaku, menghindari sanksi hukum dan sosial,” jelasnya
Advertisement
Alasan Menikahkan Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual adalah Kesalahan
Banyak solusi yang bisa dipilih untuk menghukum pelaku kekerasan seksual. Namun, banyak pula yang akhirnya memilih menikahkan korban dengan pelaku. Dengan dalih menyelamatkan nama baik keluarga, banyak orangtua korban akhirnya memilih ‘jalan damai’ yang ditawarkan pelaku.
Dalam unggahannya di akun instagram @_perempuan_ sebuah organisasi non profit yang peduli dengan cara mencegah dan menanggulangi kekerasan pada perempuan, menyebutkan beberapa alasan mengapa tidak perlu menikahkan pelaku dengan korban kekerasan seksual. Alasan tersebut antara lain:
- Pernikahan tidak memulihkan dampak kekerasan seksual yang terjadi, malah menambah masalah baru; membuat korban hidup bersama orang yang membuatnya trauma.
- Kekerasan cenderung ekskalatif dalam relasi. Jika belum beralasi saja pelaku berani melakukan kekerasan, maka besar kemungkinan kekerasan berulang dalam rumah tangga.
- Selain cenderung tidak mendapatkan hukuman atas kekerasan seksual yang dilakukannya, tindakan pelaku untuk menikahi korban seringkali dianggap heroik.
- Meneguhkan mitos bahwa korban menjadi ‘rusak’ karena tindakan pelaku, sehingga tidak akan ada yang mau dengan dia dan dinikahkan dengan pelaku adalah hal yang baik untuk mengangkat harga diri.
- Meneguhkan cara pandang korban kekerasan sebagai barang (objektivikasi korban) karena menjadi serupa dengan prinsip “barang yang rusak harus dibeli.”
Komnas Perempuan juga menambahkan, agar korban benar-benar mendapat perlindungan dan mengetahui haknya sebaiknya menyarankan agar korban mengadu ke lembaga layanan terdekat. Hal ini penting agar mendapat pendampingan dalam penanganan kasus berupa pemulihan dan didampingi pengacara. Korban juga bisa melaporkan kasuskanya ke Komnas Perempuan.
Korban kekerasan seksual seharusnya mendapatkan perlindungan, karena sebagai korban tak hanya mengalami trauma tapi juga stigma. Jadi, masih kah menyalahkan korban dalam kekerasan seksual? Be wise, Sahabat Fimela.
#ElevateWomen