Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Rini Darini
Ramadan adalah bulan yang palig dinanti oleh seluruh umat Islam di dunia. Ramadan adalah bulan yang mulia, karena bertabur kebaikan dan keistimewaan. Menjelang Ramadan kali ini membuatku mengingat kembali masa kecilku di desa bersama keluarga, ayah, ibu, dan adikku.
Sudah lama sekali, bukan satu dua tahun tapi sudah puluhan tahun lalu. Namun momen-momen Ramadan di masa kecilku tak kan bisa aku lupa. Momen indah itu menjadi bagian dari perjalanan hidupku, perjalanan religiku. Banyak kebaikan yang ditanamkan dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan sewaktu kecilku di sebuah desa yang jauh di utara di daerah perbatasan.
Kala itu, aku bersama keluargaku tinggal di sebuah desa di Pulau Kalimantan. Puluhan tahun lalu, Kalimantan terkenal dengan hutannya. Berpetualang ke hutan menyusuri sungai-sungai yang airnya jernih itu menjadi bagian perjalanan hidupku juga. Untuk menuju desa tidak ada jalan raya, hanyalah jalan setapak yang begitu sempit. Namun transportasi utama yang digunakan masyarakat adalah transportasi sunggai menggunakan perahu atau motor air.
Menjelang Ramadan, tepatnya di bulan Sya’ban dan lebih khususnya lima belas hari menjelang Ramadan, ada tradisi “Ngeluarkan”. Tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat untuk mendokan kerabat-kebarat yang telah tiada dengan mengajak para tetangga makan-makan ke rumahnya. Bagi kami yang waktu itu masih belia, tradisi "Ngeluarkan” itu merupakan hal yang sangat dinanti karena setiap hari bisa jadi kami makan gratis diundang oleh tetangga atau kerabat ke rumah mereka yang melaksanakan acara tersebut.
Tak hanya tetangga, tradisi ini juga menjadi rutinitas dalam keluarga kami. Berbagai makanan disiapkan dan mengundang tetangga, pemuka masyarakat untuk datang makan di rumah. Sebelum menyantap makanan, seorang imam memimpin doa untuk arwah keluarga kita yang telah tiada.
Advertisement
Masa Kecil yang Sangat Indah
Satu hari menjelang Ramadan ada lagi satu tradisi namanya “Megang”. Pada hari itu, semua pergi ke kota, jika tidak pun mereka menitipkan kepada kenalan, tetangga yang pergi ke kota. Motor-motor air memuat penduduk dari hulu pedalaman sungai menuju ke kota untuk berbelanja keperluan selama bulan Ramadan. Ayahku selalu megajak kami pergi, dan saat itu menyebut nama kota saja rasanya sangat senang. Maklumlah hidup di pedalaman. Ayah pasti membeli daging sapi, ayam dan keperluan dapur selama satu bulan. Dalam keluarga kami, ayah itu sangat mengerti hal dapur dibanding ibuku. Ayah juga yang selalu berbelanja, hingga orang-orang di pasar itu semua mengenalnya.
Salat Tarawih dan tadarus di masjid, ini menjadi hal yang sangat dinantikan. Sejak kecil ibuku selalu mengajakku untuk salat di masjid. Meskipun waktu itu adikku masih kecil, ibu sudah mengenalkan kami dengan tempat ibadah. Sebelum berangkat ke masjid, ibu pasti mempersiapkan botol susu dan selimut untuk adikku yang baru berusia tiga tahun. Sesampai di masjid, ibu akan memilih shaf paling belakang. Aku salat di sampingnya, dan adikku minum susu dan berbaring di belakangnya. Meskipun masih kecil, adikku tidak rewel yang penting ia bisa berbaring dengan selimutnya dan minum susu.
Setelah tarawih selesai, ibuku langsung pulang. Tapi aku bersama teman-temanku tetap di masjid untuk ikut tadarusan. Tadarusan ini senangnya ada banyak makanan. Ibuku salah satunya yang selalu mengantar makanan yang berupa kue tradisional untuk orang-orang yang tadarus. Mengaji bersama teman-teman setelah itu bermain hingga sampai jam Sembilan malam kami pulang ke rumah.
Mengingat saat itu, aku jadi mengerti akan pola asuh yang diterapkan oleh kedua orang tuaku. Mereka sejak dini telah memperkenalkan pada kami ilmu keagamaan. Meskipun tidak dalam, sesuai dengan usia kami, mereka ibu dan ayahku telah mengenalkan masjid sebagai tempat untuk beribadah, tempat untuk bersilaturahmi, tempat untuk berbagi.
Hal yang sangat kurindukan adalah “Puteri Sallat” buatan bibiku. Saat bulan Ramadan, dalam keluarga kami ada istilahanya saling tukar menukar takjil. Tidak ada yang berjualan di desa, tapi saat bulan Ramadahan masing-masing membuat takjil sendiri. Dan pada saat bibi membuat kue “Puteri Sallat” itu aku paling suka. Kalau ibuku pastinya membuat takjil dalam jumlah yang banyak, karena juga diperuntukkan untuk dibawa ke masjid.
Di bulan Ramadan juga, ayah selalu bercerita pada kami. Salah satu cerita ayah adalah mengenai Lailaturqadar. Kata ayah, malam itu adalah malam yang paling indah. Semua malaikat akan turun memberikan kebaikan. Jika kita mendapatkan malam lailaturqadar, itu akan menjadi ladang pahala yang sangat besar. Ayah adalah orang yang paling bersemangat di antara kami untuk berbuat lebih dan banyak kebaikan di bulan suci.
Kini Aku Tinggal Berdua dengan Ibu Saja
Kini, ayahku telah tiada. Momen indah masa kecil menjalani Ramadan tetap masih terkenang dalam benakku. Saat Ramadan sepuluh tahun lalu, ayah sakit. Itu adalah hal tersedih dalam rumah kami. Ia tak bisa puasa, tak bisa juga tarawih di masjid. Setiap hari ia meringis kesakitan. Ibu dan aku hanya bisa membaca Al-Quran di dekatnya. Menjalankan puasa di rumah sakit kala itu, terasa berbeda. Namun alhamdulillah, rezeki dari teman dan kerabat yang selalu meberikan takjil untuk berbuka berdatangan.
Dan kali ini, ayah sudah tiada. Ramadan hanya aku jalani bersama ibuku. Adikku sudah menikah dan tinggal di tempat yang berbeda. Aku sebagai satu-satunya tempat bagi ibu setelah ayah tiada.
Menjalani hari-hari bersama ibu, termasuk sahur, buka, tarawih, maupun tadarus hanya bersama ibu. Aku tahu ibu merasa kesepian. Di raut wajahnya ia merindukan keluarga lengkap. Aku minta maaf pada ibu, karena aku belum bisa memberikan keluarga sesungguhnya padanya. Aku masih menjalani hidup sendiri. Hanya dia yang aku punya di dekatku. Kekhawatiran ibuku, jika ia tiada aku akan hidup sendiri, menjalani Ramadan sendiri. Setiap tahun ia selalu mengatakan padaku harapannya, agar tahun berikutnya akan ada keluarga utuh di rumah ini.
Harapan ibu dan doa-doa ibu padaku membuatku merasa terharu. Aku tidak ingin membuat ibuku sedih setiap kali berbuka dan sahur hanya berdua. Namun apa dayaku. Jodoh itu di tangan Yang Maha Kuasa. Aku hanya bisa berdoa dan terus berharap.
Saat Ramadan ini juga menjadi momen bagiku untuk meningkatkan iman dan takwaku. Ramadan menjadi momen untuk memperbaiki diriku sendiri, mengintrospeksi diri sendiri, dan bertekad untuk menjadi seorang perempuan yang salihah. Seperti yang kita ketahui Ramadahan adalah bulan yang penuh dengan kemuliaan dan keberkahan ini, maka tidak hanya keberkahan di dalam menuai pahala, melainkan banyak keberkahan lainnya.
Keutamaan lain bulan Ramadan juga sebagai sebuah momen yang paling baik untuk penghapusan dosa-dosa atau bertaubat, pintu-pintu surga terbuka dan pintu-pintu neraka tertutup serta setan-setan diikat. Selain itu, amalan-amalan pada bulan Ramadan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT dan di bulan Ramadan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar (malam kemuliaan).
Sangat sayang sekali jika kita melewatkan Ramadan dengan biasa-biasa saja. Bulan ini adalah bulan yang dinanti, oleh karena itu memperbanyak ibadah dan doa adalah hal yang tepat dilakukan yang akan mengantarkan kita menjadi lebih baik ke depannya.
#ElevateWomen