Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Abdullah Mustofa
Ramadan merupakan bulan suci yang penuh rahmat dan maghfiroh kini kembali hadir membawa kesempatan untuk beramal dan mendulang pahala. Bulan di mana setan-setan dibelenggu dan pintu rahmat dibuka lebar.
Sudah sepatutnya ketika penghalang amal saleh ditiadakan, Ramadan menjadi momen untuk meningkatkan amal baik dan ibadah. Berusaha untuk mengubah diri dari sosok yang sebelumnya lalai penuh dosa dan maksiat, menjadi sosok yang lebih baik dan mulia. Atau meningkatkan pribadi yang sudah baik menjadi pribadi yang luar biasa.
Sungguh tepat sebuah ungkapan yang menyebut bahwa Ramadan adalah momen untuk transformasi. Karena inilah waktu yang tepat untuk introspeksi dan menimbang kualitas diri sendiri dengan standar Al-Qur'an dan Sunnah.
Syaikh Adil Abdul Aziz Al-Mihlawi mengajak kaum muslimin mengikrarkan slogan Ramadan ghayyarani atau Ramadan mengubahku. Beliau menekankan perlunya ada perubahan antara sebelum dan sesudah Ramadan. Terutama bagi orang yang sebelumnya masih kerap melakukan kemaksiatan dan melalaikan ibadah.
Bagi seorang aktivis, momen Ramadan juga sangat berharga. Inilah waktu yang tepat untuk memupuk ruhiyah sebagai bekal perjuangan. Bahkan Ramadan menjadi kesempatan untuk rehat sejenak dari kesibukan melayani ummat. Rehat yang dimaksud bukan kegiatan santai, tetapi melazimi kembali ibadah-ibadah rutin yang sebelumnya terkalahkan.
Bagi seorang aktivis, kegiatan sehari-hari yang monoton bisa membuat jenuh. Mulai menyiapkan materi ceramah hingga melayani konsultasi ummat. Di sisa-sisa waktu tersebut masih harus hadir dari satu rapat ke rapat lain yang membahas kegiatan ummat. Semua aktivitas tersebut begitu menguras tenaga, pikiran dan waktu hingga membuat ibadah sunnah terlewatkan. Atau melakukannya namun dengan sia-sia.
Advertisement
Momentum Ramadan
Inilah yang dilakukan para salafus saleh di bulan suci Ramadan. Meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya dibanding hari lain. Misalnya Imam Syafi'i yang membagi waktu malamnya menjadi tiga. Sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk salat dan sepertiga sisanya untuk istirahat. Ketika salat itulah Imam Syafi'i mengkhatamkan Al-Qur'an.
Ibnu Umar juga memberi kita teladan dalam beramal saleh. Beliau tidak berbuka kecuali bersama anak yatim atau fakir miskin. Bahkan beliau pernah menolak berbuka karena ada keluarganya yang mengusir anak yatim. Penghasilan beliau dari berdagang sebenarnya lebih dari cukup untuk hidup mewah. Namun hasil usahanya tersebut beliau salurkan kepada fakir miskin.
Seorang tabiin bernama Ayyub bin Wail Ar-Rasibi mengisahkan kedermawanan putra khalifah Umar tersebut. Ibnu Umar pernah mendapat untung sejumlah empat ribu dirham. Tapi esok harinya beliau terpaksa berhutang untuk sekedar membeli pakan unta. Ayyub tak percaya kejadian itu. Ia pun bertanya kepada keluarga Ibnu Umar tentang apa yang terjadi sebenarnya. Keluarga Ibnu Umar bercerita bahwa uang tersebut telah habis dibagikan kepada fakir miskin.
Tentang keseriusan membaca Al-Qur'an kita bisa belajar kepada Imam Bukhari. Teman-teman beliau kerap berkumpul untuk shalat tarawih bersama. Imam Bukhari yang menjadi imam membaca 20 ayat setiap rekaat. Di waktu sepertiga malam terakhir, beliau membaca antara separuh 10 hingga 15 juz. Dengan demikian, setiap hari beliau khatam sekali. Satu hal yang menjadi motivasi beliau adalah di setiap khatam Al-Qur'an ada doa yang mustajab.
Pendidikan Ramadaniyah
Demikianlah bulan Ramadan mendidik muslim untuk menguatkan tekad serta memupuk kesabaran dalam beribadah. Terutama menjalankan ibadah-ibadah fardhu. Karena ibadah inilah yang mendekatkan muslim dengan Rabbnya. Seperti yang difirmankan Allah dalam hadits qudsi:
"Tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan suatu amal yang lebih aku cintai daripada ia melakukan ibadah yang aku wajibkan kepadanya. Ketika hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan amalan sunnah, aku akan mencintainya. Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar. Penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul dan menjadi kaki yang ia gunakan untuk nerjalan. Jika ia meminta kepadaku pasti aku memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepadaku niscaya aku berikan perlindungan kepadanya." (HR. Bukhari)
Menurut para ulama, kedekatan manusia dengan Rabbnya akan membuahkan tiga hal:
1. Kedekatan di dunia. Yaitu dengan rahmat, kasih sayang, curahan nikmat dan doa-doa yang cepat dikabulkan. Segala urusan hamba dipermudah. Serta diberi keselamatan.
2. Di akhirat mendapat rida Allah dan masuk surga.
3. Diberi tambahan nikmat berupa melihat Dzat Allah yang Maha Agung.
Itulah kunci bagaimana dekat dengan Allah, yaitu dengan menunaikan ibadah wajib dan menjauhi dosa-dosa yang diharamkan. Setelah yang fardhu terpenuhi, ia melengkapi dengan amalan-amalan sunnah. Karena ibadah wajib merupakan pokok, sedangkan sunnah menjadi pelengkap, dengan begitu ibadah menjadi sempurna.
Sungguh aneh jika ada muslim yang mendahulukan ibadah sunnah dibanding ibadah fardhu. Ia rajin salat Tarawih tetapi masih mengabaikan salat Subuh, Zuhur dan Asar. Padahal ibadah wajib lebih prioritas, lebih dicintai Allah, dan pahalanya lebih besar.
Umar bin Khattab mengatakan, "Amal yang paling utama adalah menunaikan kewajiban, wara' atau menjaga diri dari dosa-dosa yang diharamkan Allah dan meluruskan niat hanya mengharap ridha dari Allah."
Salman Al-Farisi membuat perumpamaan, orang yang lebih mengutamakan sunnah dibanding ibadah wajib laksana seorang pedagang bangkrut yang kehilangan modal. Tapi masih mengharap untung.
Demikianlah Ramadan mengajarkan kita mengubah diri sendiri menjadi lebih baik. Sebuah peningkatan kesalehan personal yang dilakukan secara berkelanjutan. Dulu sering bermaksiat sekarang rajin bertaubat. Dulu malas beribadah sekarang rajin beribadah. Dulu jauh dengan Allah sekarang dekat dengan Allah. Demikianlah setetes tinta yang dapat kami tuliskan somoga barokah dan bermanfaat bagi para pembaca. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Thoriq, Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh.
#ElevateWomen