Fimela.com, Jakarta Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia naik hingga 800 persen. Terlebih di saat pandemi Covid-19 melanda, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat selaras dengan peningkatan aktivitas di dunia digital.
Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 menunjukkan bahwa Kekerasan Berbasis Gender Online meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48 persen (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2 persen (22 kasus). Dari tersebut menyimpulkan jika Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
Advertisement
BACA JUGA
Oleh karenanya, Megawati, Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengatakan diperlukan payung hukum yang lebih komprehensif untuk penanganan kekerasan seksual termasuk untuk pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Maka Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebaiknya disahkan.
"Berdasarkan hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh INFID tahun 2020, memperlihatkan bahwa 70,5% masyarakat Indonesia setuju diberlakukannya RUU PKS karena RUU P-KS disusun berdasarkan pengalaman korban dan pendampingan korban," ujarnya dalam acara virtual The Body Shop® Indonesia Bersama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) pada (20/03).
Megawati juga mengatakan keberadaaan RUU PKS merupakan langkah maju yang tidak hanya bicara tentang tindak pidana terhadap pelaku, juga rehabilitasi bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Hal lain yang tidak kalah pentingnya RUU ini memberikan perlindungan, penanganan dan pemulihan bagi korban, yang selama ini tidak diatur dalam UU yang telah ada.
"Fenomena kekerasan seksual ini seperti gunung es, dan bisa terjadi bukan hanya orang dewasa melainkan anak-anak. Maka sangat diperlukan payung hukum yang jelas," ujarnya.
Ika Putri Dewi M.Psi., Psikolog, Psikolog Yayasan Pulih juga mengatakan jika adanya RUU PKS disahkan akan menjadi support sistem korban dan adanya proses pemulihan bagi korban.
"Saat terjadi kekerasan, korban akan memiliki kekacaun pikiran di mana korban terkadang menyalahkan diri sendiri, mengganggap dirinya kotor atau rendah. Korban akan merasa semakin terpuruk jika pelaku dinyatakan tidak bersalah atau mendapat hukuman ringan, karena akan memengaruhi persepsi korban. Maka dengan pengesahan RUU PLS korban menjadi merasa mendapat empati," ujar Ika.
Advertisement
Kekerasan perempuan dalam Islam
Yulianti Mutmainah Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta mengatakan Dalam Islam, korban tidak dipersalahkan dan mendapatkan perlindungan.
Islam juga mengajak umatnya untuk melakukan dua hal yakni iqra' (membaca) dan uktub (menulis) dalam setiap kehidupan, termasuk dalam hal ibadah dan muamalah. Salah satu tujuannya adalah agar pengalaman perempuan tidak hilang dalam sejarah. Serta terwujudnya jinayah (hukum) yang dapat melindungi perempuan terus tercatat dan bisa menjadi rujukan hukum selanjutnya.
Kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga itu nyata, jangan disangkal. Keduanya bertentangan dengan maqashid syariah (terutama hifz al-nafs dan hifz al-aql), hak asasi manusia atau non-derogable rights yang juga dijamin Konstitusi Negara RI (Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 yakni hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, dan hak tidak diperbudak).
"Mencegah terjadinya kekerasan seksual atau KDRT adalah perbuatan nahi mungkar dan fardhu kifayah. Mendiamkan kekerasan seksual atau KDRT sama seperti tindakan impunitas dan membiarkan munculnya calon pelaku lain," ujarnya.
Kabar baiknya, RUU PKS masuk kembali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. Saat ini pun diperlukan dukungan dari semua sektor untuk mengawal RUU PKS ini karena masih banyak bias dan perspektif yang berbeda terkait urgensi kekuatan hukum terhadap masalah kekerasan seksual di Indonesia.
The Body Shop® Indonesia pun mengambil peran meneruskan perjuangan untuk mendorong pengesahan RUU PKS menjadi UU, lewat gerakan #TBSFightForSisterhood dengan mengedukasi generasi muda Indonesia melalui berbagai kegiatan yang melibatkan banyak pihak.
"Bagi kami, isu kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye Stop Sexual Violence karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Kami akan mengawal terus dengan semangat dan tekad perjuangan hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan," ujar Aryo Widiwardhono - CEO The Body Shop® Indonesia.
#elevate women