Fimela.com, Jakarta Magi Diela sudah punya rencana untuk masa depan yang lebih baik. Dia sangat mencintai rutinitasnya bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Pertanian Sumba. Sudah punya rencana jangka panjang yang ingin ia lakukan untuk lebih mensejahterakan keluarganya. Tapi siapa sangka sebuah kejadian yang menimpanya mengubah hidupnya sekaligus menghancurkan rencana masa depannya.
Magi menjadi korban tradisi kawin tangkap yang dilakukan secara melenceng dan jauh dari nilai-nilai luhur dan budaya. Dalam waktu semalam, Magi merasa sudah menjadi tawanan. Leba Ali, pria baruh baya yang memang sejak Magi kecil sudah mengincar dirinya telah menodai dirinya. Yang tak kalah mengejutkan adalah bagaimana ayah Magi bukannya menolongnya tapi malah ikut menjerumuskannya. Hidup Magi tak lagi sama.
Merasa tak punya harapan hidup lagi, Magi melakukan percobaan bunuh diri. Meski nyawanya masih terselamatkan, tapi dunia Magi sudah berbeda. Tak ingin tunduk begitu saja pada tekanan untuk menerima Leba Ali sebagai suaminya, Magi pun memulai perjuangannya. Perjuangan untuk mencari keadilan. Perjuangan untuk mendapat kebebasan dan kehidupan yang lebih baik, meski jalannya sangat berliku bahkan mempertaruhkan nyawanya.
Advertisement
BACA JUGA
Advertisement
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo
Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Penulis: Dian Purnomo
Editor: Ruth Priscilia Angelina
Penyelia naskah: Karina Anjani
Sampul: Bella Ansori
Foto: Dian Purnomo dan Ilham Octaperdana
Penata letak: Bayu Deden Priana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Sirna sudah impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orangtua, seisi kampung, dan adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, dia harus memilih sendiri nerakanya: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.
***
"Kawin culik dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu terlalu lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini." (hlm. 19)
Leba Ali telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperistri Magi. Untuk memuaskan hasrat dan nafsu birahinya, dia menjadikan tradisi kawin culik sebagai "tameng". Magi sebagai pihak yang menjadi korban pun tak bisa langsung memperjuangkan hak dan keadilan. Bahkan sahabat baiknya, Dangu juga kesulitan untuk menolong Magi.Â
Magi dihadapkan pada berbagai tantangan. Dirinya jelas-jelas menjadi korban. Tapi atas nama adat dan tradisi, ada banyak hal yang membuatnya semakin kesulitan untuk mengungkap kebobrokan Leba Ali. Apalagi ketika kedua orangtuanya sendiri malah mempersulit Magi, maka dia harus lebih menguatkan dirinya dan mengambil jalan berbeda.Â
Alur cerita novel ini cukup cepat. Emosi pun sungguh diaduk-aduk ketika mengikut perjuangan Magi mendapatkan keadilan untuk dirinya. Ikut menebak-nebak juga dengan strategi yang akan digunakan Magi untuk memberi pelajaran pada Leba Ali. Penggunaan percakapan dengan dialek bahasa Sumba pun sama sekali tidak sulit untuk dipahami, sebab pada awal-awal bab ada catatan kaki untuk kosakata-kosakata penting yang mempermudah pehamanan percakapan.Â
"Tidak ada uang, takut dipukul, malu kalau ramai, takut keluarga tidak menerima, takut membawa aib, tidak tahu bahwa itu salah sudah takdir, sudah biasa, karena dulu orangtua mereka juga seperti itu... ." (hlm. 219)
Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga seringkali dilanda banyak dilema untuk bisa memperjuangkan keadilannya. Seorang istri dipukul suami dianggap sesuatu yang wajar. Suami yang memperlakukan istri bagai objek pun dianggap bukan sesuatu yang tabu. Padahal seorang perempuan tetaplah manusia, manusia yang punya hak untuk diperlakukan dengan baik. Belum lagi dengan pandangan masyarakat yang masih negatif terhadap perempuan yang telah "ternodai" meski pada dasarnya ia adalah korban.Â
Keputusan yang diambil Magi untuk memperjuangkan keadilan benar-benar sangat berbahaya dan berisiko. Sungguh mengejutkan dia punya keberanian untuk mengambil jalan tersebut. Membaca novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam membuat kita kembali merenungkan banyak hal. Tentang hak-hak perempuan, tentang betapa berlikunya perjuangan seorang korban pelecehan seksual, dan tentang memaknai tradisi atau budaya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.Â
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam menjadi sebuah novel penting yang perlu dibaca oleh semua kalangan. Jangan sampai ada sosok-sosok Magi yang lain yang menjadi korban atas nama tradisi yang diselewengkan.Â