Fimela.com, Jakarta Ann E. Wallace, PhD terjangkit COVID-19 setahun yang lalu, ketika putrinya yang berusia 16 tahun, bernama Molly untuk pertama kalinya mengalami batuk mendadak. Pada tanggal 17 Maret 2020, Ann sudah mulai merasakan gejala pada dirinya.
Molly pulih hampir sepenuhnya setelah 3 minggu, namun Ann masih sakit dan itu membuatnya menjadi penderita long COVID-19. Pada 1 Januari 2021, Ann merasakan nyeri sendi dan otot, yang telah meningkat sejak musim panas lalu, mencapai tingkat paling menderita, ditambah dengan takikardia intermiten dan sesak napas, masalah pencernaan, migrain, dan rasa lelah yang luas biasa.
Advertisement
BACA JUGA
Hal-hal itu bertambah buruk di malam hari, begitu Ann berbaring, telinganya berdenging, lengannya berdenyut karena nyeri, dan ia akan terbangun karena migrain. Ketika dokternya Dr Anthony Fauci secara resmi mengidentifikasikan sindrom pasca virus sebagai gejala sisa pasca akun SARS-CoV-2 pada 24 Februari di konferensi pers Tim Respons COVID-19 Gedung Putih dan mengumumkan inisiatif penelitian baru yang diikuti keesokan harinya oleh ringkasan dari WHO tentang long COVID-19, Ann memiliki harapan.
Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan di JAMA Network Open yang dirujuk Dr Fauci menunjukkan bahwa 30% pasien COVID-19 akan bergejala hingga 9 bulan setelah terinfeksi. Ini adalah jumlah yang mengejutkan dan waktu yang sangat lama untuk jatuh sakit karena penyakit yang masih belum sepenuhnya dipahami.
Â
Â
Advertisement
Ann mengalami setidaknya 100 gejala saat menderita long COVID-19
Ada juga sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Desember oleh Body Politic Patient-Led Research Group memperkirakan bahwa penderita long COVID-19 telah mengalami lebih dari 200 gejala di berbagai sistem organ, banyak yang mencapai 7 bulan. Ann sendiri telah mengalami sekitar 100 gejala, mulai dari tekanan di dada dan hipoksia yang terkenal parah, kesemutan, mati rasa di lengan dan kaki, nyeri otot dan sendi, kabut otak, gangguan ingatan verbal, kelelahan mental dan fisik, insomnia, dan mimpi buruk.
Setiap hari, bangun, mandi, dan berpakaian adalah proses yang menyakitkan selama berjam-jam bagi Ann, membuatnya sesak napas dan pusing. Menjelang sore, ia selalu merasa perlu istirahat dan jarang punya energi untuk menyiapkan makan malam.
Meski hidupnya tidak lagi dalam bahaya, peradangan yang sepertinya mengamuk di seluruh tubuhnya tidak akan berhenti. Ketika Ann terinfeksi COVID-19 pada bulan Maret lalu, ia tidak pernah bermimpi bahwa ia masih akan sakit setahun kemudian.
Dengan lebih dari 5.000 kematian yang disebabkan oleh COVID-19 di Amerika Serikat, Ann bersyukur ia masih hidup. Namun, untuk gelombang pertama long COVID-19, kekhawatiran bahwa ia tidak akan pernah benar-benar pulih selamanya, terus menghantuinya.
Perjuangan Ann dan pasien lain untuk memastikan penyakit mereka sebagai long COVID-19
Kondisi Ann saat ini masih jaduh dari kondisi sebelum ia terinfeksi COVID-19 dan ia memiliki serangkaian gejala mengganggu lainnya, namun sistem otonom tubuhnya sedang dilatih ulang. Setahun adalah waktu yang lama untuk hidup dalam kesakitan dan ketidakpastian, namun Ann selamat dari kanker ovarium di usia 20-an dan telah hidup dengan multiple sclerosis selama dekade terakhir, sehingga penyakit yang berkepanjangan bukanlah hal baru bagi Ann.
Ann dan pasien lain yang mengalami long COVID-19 gigih dan ulet, yang akhirnya membuahkan hasil. Mereka berbagi pengetahuan dan pengalaman secara online, melakukan penelitian, dan menceritakan kisah mereka.
Akhirnya, penyakit mereka memiliki nama resmi yang disebut PASC yang mendapat perhatian dari National Institutes for Health dan WHO. Ann tahu bahwa pemulihan untuk pasien long COVID-19 seperti dirinya membutuhkan kerja keras yang berkelanjutan dan lebih banyak kesabaran, namun setiap pasien berhak mendapatkan tingkat komitmen yang dikhususkan untuk pemulihan mereka.
#Elevate Women