Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Heniati
Apa arti cinta? Bagaimana bentuk cinta? Jika diajukan pertanyaan seperti itu pasti di antara kita akan menjawab bahwa cinta tak memiliki rupa, tapi cinta adalah sebuah rasa lalu dituangkan melalui perbuatan-perbuatan. Perbuatan yang bagaimana? Perhatian, kepedulian, rasa kasih sayang, rasa nyaman, rasa aman.
Bagiku cinta adalah sebuah pengabdian dan pengorbanan seseorang yang tak terbatas dan tak berujung kepada seseorang yang dicintai atau kasihi. Cinta tak memandang siapa, apa, bagaimana, kapan, dan di mana. Cinta tak memiliki kata tanya. Setiap insan memiliki pendapat dan pandangannya sendiri mengenai cinta. Jika saya ditanya bagaimana rupa cinta bagi saya ia adalah ayahku. Seseorang itu yang tak akan hilang eksistensinya di hatiku. Ayah yang mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya. Dia cinta pertamaku dan dia akan selalu di hatiku.
Pada malam itu seperti pada malam-malam biasanya ayah meneleponku. Meski tidak setiap hari tapi dalam beberapa malam dalam satu minggu ayah atau aku akan menyempatkan diri untuk berbicara melalui telefon sekadar menanyakan kabar masing-masing.
Seperti biasa ayah akan menanyakan tentang tugas akhirku yaitu skripsi dan hanya kujawab masih dalam proses dan meminta doanya agar tugasku sebagai mahasiswi semester akhir agar cepat selesai dan ayah hanya mengaminkan permintaan doa ku tersebut. Doa yang paling cepat dikabulkan oleh Allah yaitu doa dari orangtua.
Sudah pasti setiap orangtua akan selalu mendoakan untuk hal-hal yang baik saja bagi anaknya, meskipun tanpa diminta sekalipun. Jauh sebelum aku berkulaih di universitas, sekitar tiga tahun yang lalu adalah masa paling bahagia dalam hidupku ketika aku dinyatakan lulus seleksi SNMPTN dan Bidik Misi.
Keluargaku juga turut bahagia dan bangga atas pencapaianku, terlebih lagi ayahku. Ayah sangat bangga kepadaku karena tidak disangka-sangka aku akhirnya terpilih sebagai calon mahasiswi. Meski ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk aku mampu kuliah.
Aku sempat pesimis melihat perekonimian keluarga yang acapkali hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi ayah sangat optimis mengatakan kepadaku untuk tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana aku bisa berkuliah hingga selesai. Ayah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhanku selama kuliah. Ayah mendukungku secara penuh.
Ayah yang kukenal adalah sosok seorang ayah yang tegas dan keras. Sejak aku kecil hingga remaja aku tidak pernah dekat dengan ayah. Meski ayah sosok yang keras tapi ia juga mempunyai sisi manis yang kerap kali terlupakan olehku karena sikapnya yang cenderung keras dan tegas. Hal ini mengingatku pada kejadian saat aku kelas 2 Sekolah Dasar, mungkin lebih tepat disebut momen manis yang tidak pernah bisa aku lupakan.
Saat itu aku tidak bisa berjalan karena kaki kiriku mengalami infeksi yang disebabkan oleh hal yang sangat sepele yaitu duri ikan yang masuk ke telapak kakiku, alhasil aku pincang. Untuk melangkah saja aku sudah kesakitan lalu bisa bagaimana aku bisa pergi kesekolah.
Kami tidak mempunyai kendaraan pribadi bahkan untuk naik angkutan umum seperti becak aku harus berjalan cukup jauh dari rumah hingga kepasar dimana semua jenis angkutan umum sering mangkal disana. Ayah berinisiatif untuk menggendongku agar bisa kesekolah.
Dalam perjalanan menuju ke sekolah orang-orang hanya melihat keheranan dan ada juga yang bertanya. “Sudah besar kok masih minta digendong ayahnya?” tanya seseorang yang tak sengaja berpapasan dengan kami.
“Kaki Reni sedang sakit jadi tidak jalan,” ayah menjawab apa adanya. Sesampainya di sekolah ayah tidak segera pulang ke rumah tapi ia setia menungguku di luar ruangan kelas. Dari dalam kelas aku bisa melihat ayah hanya duduk seorang diri, sesekali ia melihat ke arahku. Aku hanya melihatnya tersenyum getir.
Kakiku mengalami infeksi selama beberapa hari dan selama itu pula ayah tetap mengendongku dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Mungkin bisa saja aku naik angkutan umum, tapi naik angkot juga butuh ongkos. Sedang ekonomi keluargaku pada saat itu sangat tidak memungkinkan walau hanya sekadar naik angkot. Kami baru saja pindah, ayah dan ibu belum mempunyai pekerjaan jadi kami harus berhemat.
Advertisement
Ayah Jadi Penyemangat Hidup Terbesarku
Ayahku memang tidak bisa menghadirkan kemewahan seperti ayah-ayah lainnya. Aku tidak bisa menuntut, meski aku baru berusia 6 tahun aku sudah cukup paham dengan kondisi keluargaku. Apa yang harus dituntut? Sejatinya kemewahan tidak melulu tentang uang dan benda.
Wujud kasih sayang ayah yang bergitu besar itulah sebenar-benarnya kemewahan. Uang tidak akan pernah bisa menggantikan cinta seorang ayah kepada anaknya. Ayahku adalah ayah yang sepenuhnya dalam hatinya di liputi dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Cinta ayah yang tak berujung dan tak terbatas.
“Kamu sudah makan, Reni?” pertanyaan ayah memecahkan ingatanku pada kenangan manisku dengan ayah. “Sudah, Yah," jawabku sendu
Lalu ayah menanyakan kapan aku akan wisuda. Aku hanya meminta doa dari ayah agar studi cepat selesai. ”Reni jika kamu sudah wisuda nanti, kamu harus mencoba melamar pekerjaan di perusahaan di desa kita."
“Iya ayah aku akan mecoba melamar perkerjaan di sana, tapi ayah setuju tidak jika saya bekerja di luar negeri?” tanyaku dengan sedikit takut.
“Apa ada lowongan pekerjaan di luar negeri?” tanya beliau dengan nada terkejut. Aku paham sekali betapa khawatirnya ayahku ketika di semester akhir ini aku tinggal seorang diri di kost. Mungkin di benak ayah tersirat pertanyaan apakah aku bisa hiudp negara orang lain yang belum pernah sama sekali aku kunjungi.
“Aku sangat ingin bekerja di luar negeri jika ada lowongan,” timpalku kurang yakin atas jawabanku sendiri.
“Kamu mau bekerja di mana? Di Malaysia atau Singapura?" tanya ayah menerka-nerka.
“ Di mana pun, Yah asal ada lowongan."
“Kalau begitu Ayah harus ikut kamu!"
“Ayah ngapain mau ikut aku?”
“ Ayah kan khawatir sama kamu, bagaimana terjadi sesuatu dengan kamu? Kamu tidak boleh hidup sendiri dinegara orang."
“Tapi tetap saja Ayah nggak perlu ikut aku, bagaimana aku bisa belajar mandiri?”
“Baik, kamu saja yang ikut Ayah."
“Ke mana yah?”
“Kamu ikut Ayah pergi umrah ke mekah, nanti kamu yang bayarin perjalanan kita."
“Inshaallah Ayah suatu saat kita pasti bisa pergi ke tanah suci bersama-sama, Ayah doakan agar Reni jadi orang yang sukses dan bisa bawa ayah, ibu, dan adik-adik ke Tanah Suci.”
“Ayah akan selalu doakan anak Ayah."
Cita-cita terbesar ayah hanya satu yaitu pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah rukun islam yang ke-lima. Ayah mempunyai harapan besar terhadapku. Setiap kesempatan saat kami berbicara di telepon, ayah selalu menyampaikan keinginannya untuk berhaji.
Tak banyak keinginanku sama halnya seperti ayah aku pun juga berharap agar aku mampu menunaikan cita-cita ayah. Ayah yang kuanggap pilih kasih, sifatnya yang keras pula tegas kepadaku, ayah juga yang beperan penting dalam setiap perjalananku.
Ayah tidak pernah mengatakan tidak punya uang di saat aku memintanya mengirimkan beberapa jumlah uang. Kebanggaan ayah ketika anak bisa berkuliah dan mendapatkan beasiswa, ia bukan kepalang begitu beryukurnya.
Pengorbanan ayah bukan semata-mata ingin mendapatkan balasan atas segala yang ia pertaruhkan, tapi demi masa depanku sendiri. Ayah selalu berkata kalau suatu saat aku sudah mampu menghidupi diri sendiri ayah sudah bahagia, berarti ayah tidak perlu kahwatir lagi jika suatu saat ayah tidak bisa mencari nafkah.
#ElevateWomen