Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Fasiola Lala
Wanita single di usia 24 tahun. Anak pertama dari dua orang bersaudara, sudah bekerja, dan hidup dikelilingi oleh orang yang sangat peduli dengan kehidupan pribadinya pasti sekarang merasakan banyak pertanyaan dari para teman, tetangga, saudara bahkan orang tua saya sendiri yang menanyakan, “Mana calonnya?” “Kapan nikah?” “Udah umur segini, mau nyari apalagi?” atau bahkan ada beberapa orang yang dengan ikhlas mengenalkan beberapa teman pria atau kenalan prianya kepada saya. Dan semua pertanyaan itu hanya saya jawab dengan senyum kecil saja.
Banyak orang mengatakan bahwa saya terlalu mandiri, terlalu tangguh, cukup egois, dan terlalu keras kepala. Sampai laki-laki tak ada yang berani mendekat. Mereka terlalu jeli dalam menilaiku, padahal mereka hanya mengetahui nama panggilanku saja.
Hei, ingat kawan, aku ini anak perempuan pertama, adikku memiliki keistimewaan yang berbeda dari kita semua. Lalu bila aku tak mandiri, tak cukup tangguh dan keras kepala lalu siapa lagi yang melindingi keluargaku? Apakah cinta dari lelaki itu mampu? Apakah lelaki itu sanggup? Apakah keluarga lelaki itu mau?
Banyak orang dekat yang menggunjingku, menggunjing keluargaku. Lantas bagaimana bisa aku percaya dengan mudah oleh keluarga yang mungkin hanya melihatku sebagai wanita yang didekati oleh anaknya? Atau bagaimana bisa aku percaya dengan mudah oleh lelaki yang memandang pekerjaan Ayah yang cukup menjanjikan?
Pernikahan bagiku bukan hanya tentang aku dan dia, bukan hanya timbal balik yang akan kudapatkan bila aku bisa bersamanya. Tapi juga keluargaku dan keluarganya yang akan bersatu dan menjadi keluarga kami.
Dari pernikahan ayah dan ibuku, aku belajar, pernikahan bukan soal cinta yang menggebu, tapi juga tentang penerimaan yang ikhlas, komitmen, dan kesetiaan yang perlu dijaga. Banyak orang yang mengidam-idamkan pernikahan seperti pernikahan orangtuanya, tapi maaf, aku tidak termasuk.
Advertisement
Jodoh Sudah Ada yang Mengatur
Aku tidak mau menikah karena umur atau karena perasaan cinta sesaat itu. Aku tak ingin ada penyesalan seperti apa yang pernah dirasakan oleh kedua orang tuaku. Mereka tak pernah mengatakan menyesal secara langsung. Tapi selalu dengan perkataan terselubung yang selalu kudengarkan dari mulai aku duduk di bangku sekolah menengah hingga aku kuliah.
Skeptis dengan pernikahan yang mampu membuat diri kita selalu bahagia pernah kurasa. Rasanya, ya sudahlah laki-laki itu hanya untuk sebagai temanku saja. Bahkan dulu aku sempat berpikir untuk hidup berdua dengan adikku, membawa adikku keluar dari rumah yang saat itu sering terjadi perselisihan antara ayah dan ibu.
Tujuanku hanya satu, yaitu membahagiakan adikku, menjaganya, dan tak membiarkan seorang pun mengucilkannya karena keistimewaannya. Cita-citaku pun dulu di tak direstui oleh ayahku, semuanya kuurusi sendiri lalu jadinya apa? Aku gagal. Ya gagal, restu orang tua tak kukantongi, bagaimana Tuhanku ingin memberi restu?
Aku berjuang semampuku, aku berjuang sebisaku. Bagiku restu orangtualah kekuatanku. Bila kekuatanku tak ada, jiwaku merasa pincang. Selanjutnya aku hanya melanjutkan semua rencana yang telah disusun oleh ayahku. Kujalankan semampuku dengan perasaan setengah ikhlas dan apa? Alhamdulillah aku sedang berjuang untuk meningkatkan derajat orang tuaku.
Aku sedang berjuang untuk membungkam omongan orang yang terlalu mengadiliku, mengadili keluargaku. Aku sedang berjuang agar Ayah Ibu bisa mengikhlaskan penyesalan itu dan menyambut penerimaan menjadi keluarga bahagia.
Tujuanku sekarang ingin membahagiakan keluarga kecilku dulu, membuat mereka bangga. Soal pernikahan, aku serahkan kepada Tuhanku. Di sini aku berjuang semampuku untuk membahagiakan keluarga, untuk memperbaiki diri, dan mencari banyak teman. Siapa tahu kami saling menemukan nantinya?
Teruntuk anak pertama perempuan, selamat bila itu adalah kamu. Terima kasih sudah berjuang selama ini, terima kasih sudah bersabar dan sudah mengikhlaskan beberapa cita-citamu untuk keluarga. Bila kamu masih sendiri, tidak apa, tenanglah. Jodoh sudah ada yang mengatur. Percayalah itu.
#ElevateWomen