Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Ayesha Yashbi Rumaisha
Apabila aku bercerita mengenai sosok seorang ibu, aku rasa itu tidak akan ada habisnya. Seperti rasa cintanya kepadaku yang tak lekang oleh zaman meski harus mengorbankan waktunya untuk bersamaku. Mungkin dulu aku pernah mengeluhkan kenapa ibu jarang ada di sisiku atau merasa iri pada anak-anak dengan orang tua yang selalu membersamai setiap langkah mereka. Tapi ketika aku dewasa, aku menyadari. Aku tidak akan menjadi diriku yang sekarang andai ibu tidak mengorbankan waktunya bersamaku dulu.
Ibuku adalah seorang wanita yang serba bisa. Bahkan beliau juga mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh para pria. Ibuku juga salah satu orang yang memandang tinggi mengenai pendidikan meski beliau hanya lulusan Sekolah Dasar. Namun meski hanya lulusan SD, ibuku adalah seseorang yang tidak patah semangat dalam belajar. Di sela-sela pekerjaannya, ibuku menyempatkan belajar. Bahkan terkadang ibu membantuku untuk mengerjakan tugas-tugasku ketika aku sudah menyerah karena tidak mampu menemukan jawaban. Beliau akan terus mencoba, menelah setiap soal yang ada dengan tekun meski pelajaranku berbeda dengan pelajaran beliau pada zamannya.
Meski sedikit bias, namun ibuku adalah orang paling tegar yang pernah aku temui dalam hidupku. Tidak perduli berapa kerasnya gelombang hidup menerjang, ibu tidak pernah menunjukkan rasa lelahnya kepadaku. Ketika orang-orang menuding ibuku bukan orang yang setia, beliau tetap diam dan tabah. Dulu, ibuku memang seseorang yang tidak banyak bicara. Ia menelan semua rasa sakitnya seorang diri, tidak ingin membebani orang lain.
Ketika aku berada di kelas 2 atau 3 SD, ibuku terpaksa menjadi TKW ke Malaysia dikarenakan permasalahan ekonomi. Selama beberapa tahun, aku tidak bisa menghubungi ibuku dikarenakan teknologi informasi tidak semaju sekarang. Pada saat itu, ketika orang lain bertanya, “Apa kau tidak rindu pada ibumu?” aku selalu menggeleng meski sebenarnya aku sangat merindukan ibuku. Mungkin saat itu aku marah karena ibu meninggalkanku begitu saja. Aku merasa bahwa beliau bukan ibu yang baik. Lagipula pada waktu itu aku masih anak-anak yang mempercayai apa saja yang orang-orang di sekitarku katakan.
Namun setelah ibuku kembali, akhirnya aku baru memahami mengapa ibuku harus pergi. Dan aku belajar memakluminya. Terkadang demi masa depan yang lebih baik, satu orang harus berkorban dengan memendam rasa rindu dan menahan rasa sakit di negeri orang.
Advertisement
Ibu yang Luar Biasa Tangguh
Ketika ibuku kembali ke Indonesia, ibuku tidak pernah menceritakan kesulitan yang beliau alami di negeri orang dengan serius. Dia menceritakan kesulitannya dengan tertawa, sehingga tidak ada orang yang tahu kesulitan beliau selama merantau. Namun keadaan ekonomi yang masih belum mendukung membuat ibuku harus kembali menjadi TKW ke Singapura dikarenakan di desaku belum tersedia lapangan kerja. Pada saat itu teknologi komunikasi sudah lebih baik. Jadi kami masih bisa berkomunikasi pada waktu-waktu tertentu.
Beberapa tahun kemudian, ibu dan ayah berpisah. Ibu tidak pernah mengatakan apa pun padaku. Namun aku sudah tahu sejak aku masih belia, bahwa suatu saat ayah dan ibuku akan berpisah. Dan aku maklum. Aku bahkan tidak merasakan apa pun saat mendengar bahwa mereka berpisah. Aku berpikir bahwa lebih baik mereka berpisah daripada saling menyakiti dan bertingkah sebagai orang asing dalam suatu ikatan sacral bernama pernikahan. Sekali lagi aku menyaksikan sosok tegar seorang ibu. Ibu tidak mengeluhkan sikap ayah. Atau pun mengungkapkan aib ayahku. Ibu tetap diam dan tersenyum. Setelah berpisah, ibu masih menanyakan bagaimana kabar ayahku tanpa rasa marah pada suaranya.
Pun ketika aku lebih memilih kuliah daripada bekerja, ibu mengalah. Beliau membiarkan aku memilih jalan yang aku inginkan, masa depan yang ingin aku raih dengan kembali menimba ilmu meski keterbatasan biaya. Lagi, ibu rela mengenyampingkan keinginannya dengan memenuhi semua harapanku tanpa berpikir dua kali. Betapa lapangnya ibuku menerima pilihanku.
Ketika aku menceritakan sosok ibu, sungguh. Aku akan kesulitan menguraikannya satu persatu. Ada begitu banyak pengorbanan yang beliau lakukan untukku yang bahkan mungkin tidak aku tahu. Beliau adalah sebenar-benarnya pahlawan tanpa tanda jasa bagiku. Begitu banyaknya pengorbanan yang beliau lakukan agar aku bisa hidup lebih baik.
Satu-satunya yang dapat aku hadiahkan pada beliau adalah menjadi mahasiswa lulusan terbaik dari fakultasku. Saat itu aku sedikit kecewa karena beliau tidak ada di sisiku pada momen terbaik dalam hidupku karena jarak yang memisahkan kami. Namun meskipun begitu, aku dapat merasakan setiap doa ibu yang menyertai setiap langkahku. Pun aku teringat ucapan ibu ketika aku menerima penghargaan itu dan berkempatan memberikan sambutan mewakili mahasiswa angkatanku.
“Kau sudah menunjukkan kemampuanmu kepada orang-orang yang dulu meremehkanmu dan merendahkanmu,” ucap ibu dengan tawa paling renyah serta senyuman paling meneduhkan.
Aku tidak pernah mengatakan betapa kagum dan hormatnya aku kepada ibuku. Namun melalui tulisan ini, aku ingin agar orang lain tahu, betapa menakjubkannya sosok seorang ibuku. Meski hanya aku yang menyaksikan bagaimana perjuangan ibuku, namun aku ingin orang lain juga tahu tentang beliau melalui tulisan-tulisan ini. Sosok seorang ibu yang menyembunyikan beribu-ribu cerita di balik senyumnya yang tegar dan meneduhkan.
#ElevateWomen