Fimela.com, Jakarta Teresa Xie duduk di kamarnya mencoba untuk fokus mengerjakan tugas sekolah dan menyelesaikan semester, sedangkan di sebelahnya, ada sang ayah yang berjuang untuk bernapas. Lebih buruk lagi, itu karena Teresa, ia menularkan COVID-19 kepada sang ayah.
Seperti banyak mahasiswa lain, Teresa memulai semester di kampus, namun dalam mode virtual. Pada saat perguruan tingginya mencabut rencana untuk membawa kembali siswa ke kampus karena pandemi COVID-19, Teresa telah menandatangani kontrak.
Advertisement
BACA JUGA
Merasa akan lebih produktif belajar bersama teman sebaya daripada di rumah, Teresa memilih menghabiskan 1 semester di Philadelphia, daripada di Chicago, tempatnya berasal. Begitulah Teresa menghabiskan waktunya, sampai libur Thanksgiving.
Menjelang libur Thanksgiving, Teresa harus membuat pilihan antara pulang atau tinggal di kampus sampai akhir semester. Ada pro dan kontra dari masing-masing pilihan.
Pulang ke rumah berarti ia akan bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga, terutama di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang serba tidak pasti saat ini. Di sisi lain, itu berarti kemungkinan menularkan virus Corona kepada orangtuanya, yang berada dalam kelompok usia yang secara signifikan lebih berisiko, daripada teman-teman kuliahnya.
Â
Â
Advertisement
Teresa pulang menggunakan pesawat dan dinyatakan positif COVID-19 seminggu kemudian
Di perguruan tinggi, Teresa melakukan tes virus setiap minggu dan menjaga jarak sosial. Selama 1 semester, Teresa bisa terhindari dari virus, bahkan ketika tinggal di lingkungan yang merupakan zona berbahaya.
Seminggu sebelum Thanksgiving, teman sekamar Teresa dan Teresa sendiri mengambil tindakan pencegahan, mereka melakukan tes virus beberapa hari sebelum pulang, kemudian melakukan karantina untuk memastikan bahwa hasilnya negatif. Teresa memilih pulang naik pesawat, di mana di dalamnya ia terjebak di antara orang yang berkerumun tanpa menjaga jarak sosial, berani menurunkan masker, dan bahkan makan dan minum apapun yang mereka bawa dari bandara.
Seminggu berlalu di rumah dan Teresa merasa baik-baik saja, sampai suatu hari, ia tidak bisa merasakan masakan sang ibu. Keesokan harinya, Teresa melakukan tes virus dan dinyatakan positif COVID-19.
Teresa menyelesaikan minggu terakhir kelasnya melalui Zoom dengan melakukan karantina di kamarnya, karena ia mengalami gejala ringan. Keluarganya melakukan tes virus tidak lama setelah Teresa dinyatakan positif dan ia bersyukur semuanya negatif.
1 minggu setelahnya, Teresa sedang berjalan dari kamar ke kamar mandi, ketika ia mendengar sang ayah batuk di lantai bawah. Selama beberapa hari berikutnya, sang ayah terus batuk karena ia kesulitan bernapas.
Sang ayah tertular COVID-19 dari Teresa dengan gejala berat
Gejala dan hasilnya tidak sesuai, sehingga Teresa membuat janji untuk melakukan scan dada. Beberapa jam setelah scan dada, Teresa menerima hasilnya, sang ayah menderita pneumonia COVID-19 di paru-paru.
Mereka mempertimbangkan untuk mengirim sang ayah ke rumah sakit, namun akhirnya mereka tidak melakukannya. Teresa merasa bahwa ayahnya harus dirawat oleh keluarganya dan ibunya merasa bahwa sang ayah bisa bertambah stres yang jelas menghambat pemulihannya, jika ia berada jauh dari rumah.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan pengukur denyut nadi yang digunakan untuk mengukur kadar oksigen sang ayah. Setiap hari Teresa terbangun dengan panik, membawa rasa bersalah bahwa semua ini tidak akan terjadi, jika ia tidak naik pesawat waktu itu.
Untungnya, ayahnya hampir sembuh total saat ini. Pengalaman ini menjadi pengingat gamblang bukan hanya bagi Teresa, namun juga bagi kita semua, tentang konsekuensi nyata dari pilihan yang kita ambil.
#Elevate Women