Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Renny Yulia
Aku akan berkata jujur padamu. Senyum ibu adalah udara bagiku. Iya, udara yang membuatku bernapas dengan rasa bahagia, serupa kanak-kanak yang berlari mengejar kupu-kupu atau balon-balon yang berterbangan di udara, melambai-lambai, berteriak girang, meloncat-loncat, apa saja.
Aku ingat pada sepotong cerita di suatu pagi, di tengah kehebohan yang terjadi di rumah menjelang berangkat kerja (Oh, kau akan segera menyadari kalau ini bukan kejadian satu-satunya! Pagi di hari kerja adalah pagi yang luar biasa!). Anakku sibuk dengan persiapan ke sekolah, aku sibuk berdandan dan ibu sibuk hilir-mudik. Iya, ibu selalu ikut sibuk; berjalan dari ruang tamu ke dapur, masuk ke kamar-kamar lalu keluar lagi, ke teras, balik lagi ke dapur, ke kamar-kamar, ke kamar mandi, ke depan pagar. Begitulah.
Setiap kali singgah di satu ruangan, ia akan memandang setiap orang yang ada di ruangan itu, adakalanya menyapa meski tidak selalu, dan tersenyum lebar. Iya, senyum. Ibu tersenyum dan memastikan senyumnya sampai kepada yang dituju. Kalau aku, atau anak-anakku, atau siapa pun yang ada di ruangan itu berpura-pura sibuk dan mengabaikan senyumnya, ia akan memanggil nama kami masing-masing. Masih juga berpura-pura tak mendengar? Ia akan mendekati aku atau orang yang dituju, menepuk bahu kami atau menggamit lengan kami. Setelah kami menoleh, ia akan memamerkan senyuman manisnya.
Pada suatu ketika, aku bertanya padanya, “Ada apa sih, Bu?” Tentu saja nada suaraku setengah mengeluh dan air wajahku menampakkan rasa terganggu. Ya, bayangkan saja, di tengah sedang repot-repotnya lho. Tapi dengan ringan ibu menjawab, “Jangan lupa tersenyum. Biar nggak cepat tua,” dan setelah mengucapkan kalimatnya ia akan berlalu dari ruangan sembari tetap tersenyum.
Advertisement
Senyuman Terakhir
Kemarin, ibu juga sempat tersenyum setelah berhari-hari hanya diam tak bergerak di ranjangnya. Sejak pertengahan Desember itu, orang-orang bilang, ibu koma. Dokter juga bilang begitu. Ibu tak membuka mata dan mulutnya. Ia tak mau minum teh manis kesukaannya, tak juga kue bolu coklat kesukaannya, tak pula kerupuk udang yang acap disembunyikannya di sudut lemari makan tatkala ia masih bugar. Ibu hanya diam; tanpa senyum.
Tapi kemarin ibu tersenyum. Ia melebarkan kedua sudut bibirnya. Sedikit. Iya, sedikit sekali. Tapi ibu tersenyum tatkala kucium pipinya, dahinya, hidungnya dan berpamitan ke kantor sebentar. Kalau saja tugas itu bisa kutinggalkan, pasti aku akan memilih di sisinya hari itu, demi untuk menikmati senyumnya lebih lama. Tapi ibu pasti akan marah kalau aku bolos masuk kantor, dan ia pasti tak mau tersenyum.
Senyum di pagi itu ternyata senyum terakhir ibu untukku. Ia tak menungguku pulang dari kantor. Senyum itu mungkin senyum paling berat yang diberikannya kepadaku. Ia tahu takkan ada senyum yang lain lagi untukku. Dan aku akan selalu mengenangnya sebagai senyuman yang paling basah dalam ingatan.
Senyum ibu di hari itu menjadi udara abadi bagiku, yang akan memberikan ruang ternyaman saat segalanya tak berjalan sesuai dengan keinginan. Terima kasih, Bu. Setidaknya itu adalah kenangan yang termanis dari semua kenangan indah yang pernah kau ukir sepanjang hidupmu di sisiku. Semoga Allah SWT memberimu tempat terindah yang dipenuhi senyuman.
Demikianlah cerita ini kukisahkan kepadamu dengan hati yang masih basah oleh air mata.
#ElevateWomen