Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: IPD
Mama, wanita yang hatinya bagaikan telaga hijau bagi kelima anaknya. Begitu lembut, pengertian, dan menenangkan. Setia mendampingi Bapak yang merintis usaha dari nol. Dan tidak pernah neko-neko bahkan saat keadaan ekonomi keluarga membaik.
Bapak dan Mama yang asli Banjarnegara, Jawa Tengah, saling mengenal setelah keduanya sama-sama merantau di Jakarta. Ketika memutuskan menikah kehidupan mereka masih sangat memprihatinkan. Berpindah-pindah kontrakan sambil bertahan hidup dengan buka usaha apa saja. Berjualan buku, stiker, makanan kecil, dan terakhir yang ditekuni yakni pangkas rambut.
Meski kehidupan masih pas-pasan Mama tidak pernah meributkan adik kandung atau saudara Bapak yang ikut tinggal dalam satu atap. Termasuk berbesar hati saat sang suami menyekolahkan, memberikan pekerjaan, sampai membiayai pernikahan. Asalkan mau makan seadanya, cerita Mama suatu hari. Agar tak bosan Mama menyiasati memasak tempe yang menjadi menu setiap hari dengan variatif. Sampai-sampai tempe disate segala. Itu demi mencukupi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga.
Ketika usaha pangkas rambut Bapak mulai menanjak yang ditandai dengan bertelurnya cabang-cabang baru dan banyaknya karyawan, Mama tetap menjadi wanita sederhana. Jarang meminta macam-macam. Bahkan yang inisiatif membeli perabotan rumah tangga justru Bapak. Padahal keadaan saat itu mudah saja bagi Mama untuk 'rewel' belanja ini itu seperti sebagian istri-istri lain yang dompet suaminya penuh. Sekali lagi, Mama tetap memilih menikmati hidup penuh kesederhanaan.
Dan meski berperawakan kecil, namun lain halnya dengan mentalnya. Ini dibuktikan dari sikapnya dalam menghadapi berbagai ujian. Sebut saja saat kakak lelaki sulung terlibat tawuran, obat-obatan terlarang, mogok sekolah, tidak naik kelas, sampai tidak pulang berbulan-bulan. Wanita itu hanya sesekali menitikkan air mata, selebihnya ia tetap cekatan mengurus keempat anaknya, serta melarutkan diri dalam doa-doa panjang di sepertiga malam.
Ujian lain yang tak kalah besar tatkala harus berurusan dengan masalah yang hampir sama. Abang nomor tiga menjadi pecandu narkoba jenis ganja. Setelah menjalani perawatan dan dinyatakan bersih, justru berdampak pada kesehatan mentalnya. Ia divonis dokter mengalami gangguan jiwa skizofrenia.
Telaga hijau di hati Mama tak bisa bohong. Saya lebih dari paham bagaimana hancurnya perasaan wanita yang telah melahirkan tiga anak lelaki dengan perbedaan hanya setahun-setahun dan dua adik perempuan sebagai pelengkap. Saya yang bungsu menjadi cepat dewasa melalui ujian ini.
Advertisement
Cobaan dan Ujian yang Datang Silih Berganti
Sungguh cobaan ini melukai seluruh anggota keluarga terutama orangtua. Sebab bukan hanya materi yang dikorbankan namun juga ketahanan fisik dan mental kami. Hari-hari tak lagi sama semenjak itu. Rumah berantakan melebihi kapal pecah. Saat kambuh, Abang saya akan mengamuk dan memecahkan apa saja. Berteriak kencang tak kenal waktu. Bahkan dalam ketidaksadarannya ia melakukan kekerasan fisik pada kami semua.
Berpuluh tahun Abang saya mengalami kambuh dan sembuh. Dalam perjalanan itu tak terhitung berapa kali keluar masuk Rumah Sakit Jiwa, pesantren-pesantren, panti-panti, sampai yayasan. Cobaan lain yang tak kalah menguras air mata turut mengiringi. Usaha Bapak yang tinggal satu-satunya mengalami kebangkrutan. Mobil dirampok. Rumah disita. Lalu kami sekeluarga menyewa kontrakan tiga petak.
Bersyukur saat ini bisa menyewa di kontrakan dua tingkat. Keadaan memang sudah banyak berubah. Bapak sudah pergi menghadap Allah SWT. Sehingga bangunan itu hanya ditempati Mama, Abang sulung, dan Abang nomor tiga. Yang lainnya sudah berkeluarga dan mengontrak berdekatan dengan Mama. Sehingga di masa tuanya Mama berkumpul dengan seluruh anak kandungnya. Dan semoga itu menjadi kebahagiaan di hati wanita yang di tahun ini berusia tujuh puluh tahun.
Abang nomor tiga Alhamdulillah kondisinya sudah stabil. Tak lagi kambuh-kambuhan. Setiap bulan berkonsultasi dengan psikiater dan rajin minum obat. Banyak hal positif yang sudah bisa ia lakukan sepanjang kesembuhan meskipun masih serabutan seperti bisnis alat musik gitar, menjadi juri perhelatan musik, bahkan sampai berjualan burung dara. Kemajuan ini tentu saja begitu berarti bagi kami terutama Mama.
Di usianya yang sudah berkepala tujuh, selain ingin melihat kedua putranya segera menikah, cita-cita lainnya yang belum terwujud adalah bisa wisata ke Pulau Dewata. Tentu menjadi PR besar bagi kami anak-anaknya. Saya akui Mama masih cekatan memasak dan mengerjakan urusan rumah tangga, namun bila kecapekan ia mulai mudah sakit dan penyembuhannya akan memakan waktu yang lama meskipun itu hanya masuk angin biasa. Sehingga perjalanan terbaik harus disiapkan, wajib pesawat terbang, tidak bisa lewat transportasi darat lalu menyambung kapal laut. Itu akan sangat melelahkan.
Sayang dulu di saat ekonomi berkecukupan meskipun belum terhitung kaya raya, Mama tak menyempatkan waktu dan biaya pergi berlibur ke Bali. Ya, begitulah Mama... tidak pernah menuntut macam-macam. Atau mungkin keinginan tersebut memang baru terpikirkan sekarang-sekarang ini. Satu pertanyaan terbesit, bagaimana mewujudkannya?
Senyuman Tulus Mama
Saya bukannya tak pernah ikhtiar. Hal ini sudah saya sampaikan kepada suami. Ia pun mendukung sepenuhnya. Lalu saya merencanakan ikut arisan Rp 1.000.000 selama 10 bulan, sayangnya ujian lain menimpa keluarga kecil saya yang kini hanya memiliki satu lubang penghasilan dari suami saja setelah saya resign bekerja. Akhirnya kami fokus menyelesaikan masalah. Uang itu digunakan untuk membayar utang dan bertahan hidup.
Pada intinya keadaan kami sekandung masih biasa-biasa saja. Memang kakak lelaki nomor dua saat ini ekonominya paling stabil setidaknya suami istri bekerja. Mama yang bukan istri pensiunan secara finansial ditanggung seluruhnya olehnya. Termasuk ketika kandung-kandungnya terbentur masalah, dia muncul sebagai sosok yang bisa diandalkan.
Kami bukannya tak pernah berlibur bersama. Pergi ke pantai Ancol atau Dataran Tinggi Dieng yang menakjubkan, betul sudah pernah. Tapi hey, ini Bali, di mana pesonanya membius hampir seluruh mata dunia. Sementara Mama lahir dan menua di Indonesia, menjadi lucu rasanya jika sekali seumur hidup saja impian itu tidak pernah menjadi kenyataan. Apalagi usia Mama sudah tujuh puluh tahun dan fisiknya mulai melemah. Ya Allah semoga Mama diberikan kesehatan dan panjang usia.
Tidak hanya saat selesai salat saja saya pribadi terus merapal doa, namun dalam setiap kali mengingatnya maka keinginan Mama seperti kesedihan tersendiri. Keinginan dari seorang wanita yang selama ini tak pernah menuntut macam-macam, ah... itu artinya beliau sangat memimpikannya. Setelah begitu panjang perjalanan meletihkan yang telah dilaluinya--rasanya ingin sekali memberikan hadiah terindah itu.
Atau setidaknya bisa mengajak Mama makan bersama keluarga di sebuah restoran yang bernuansa Bali kental dengan menu-menu yang memang khas pulau dewata. Minimal kerinduannya sedikit terobati.
Tak terbayangkan senyum indah akan merekah dari ketenangan telaga hijau yang tak pernah memudar meski waktu melayang begitu cepat. Ya! Senyum paling bersinar apabila keinginannya itu menjadi kenyataan. Bali, terus melekat dalam ingatan saya dan saudara sekandung lainnya. Berharap salah satu dari kami bisa melancarkan mimpi tersebut.
Senyum yang akan kami perjuangkan. Karena selama ini Mama selalu memperjuangkan senyum anak-anaknya sekuat daya dan upaya. Meskipun bagi Mama kebahagiaan terbesarnya saat ini bisa berkumpul dengan anak cucu. Melihat kami sehat dan berkecukupan itu sudah lebih dari anugerah. Mungkin seorang ibu sudah terlatih untuk menyembunyikan bahkan melupakan keinginannya sendiri. Sehingga Mama tidak pernah memusingkan.
Ya, setelah menjadi ibu dari dua orang anak saya bisa memahami semua itu. Menelan keinginan agar bisa membelikan mainan atau baju yang pantas untuk anak. Buku-buku di rak saya hampir semua buku lama yang dibeli setiap habis gajian sewaktu masih gadis. Sisanya hanya jika ada diskon atau gratisan karena memenangkan perlombaan menulis dan juga kuis-kuis. Padahal sebagai book lover rasanya tidak bisa menambah koleksi seperti atlet basket yang dipisahkan dengan bolanya. Sedih bukan main.
Tapi seketika senyum mengembang dan secepat itu melupakan keinginan hanya dengan menatap anak-anak terlelap saat tidur. Ah, ya, tak terhitung saya melihat Mama mengusap butiran air matanya lalu mengganti dengan senyum palsu saat kami anak-anaknya memergoki. Dan sebenarnya selama masih kanak-kanak hingga gadis bahkan--saya masih sering terheran-heran melihat senyum Mama yang merekah bak bunga mawar di pagi hari hanya karena hal-hal sepele.
Ma, aku sudah hafal Pancasila!
Ma, aku rangking 12!
Ma, nilai fisikaku sudah tidak merah di catur wulan kedua!
Ma, aku menang lomba menulis tapi cuma masuk sepuluh besar!
Ma, aku sudah bisa masak sayur sop!
Ma, mulai besok aku kerja di wartel!
Hah! Apa bagusnya pikirku! Tapi Mama selalu saja menyuguhkan senyum seakan aku baru saja dikontrak ratusan juta karena novelku laris manis di pasaran. Senyum penuh dukungan dan doa-doa. Semoga selalu akan lebih baik dalam segala hal.
Dan, setelah menjadi seorang ibu baru kumengerti arti senyum itu. Hal-hal sepele mungkin menurut pandangan anak menjadi kebahagiaan yang meletup-letup di hati seorang ibu.
Senyum tulus yang jejaknya akan terus membekas di benak anak-anak. Meski tak terhitung putra-putrinya menjadi penyebab tumpahnya kristal bening perempuan yang di bawah kakinya terdapat wangi surga itu--Mama akan selalu memaafkan dan memberi ruang agar kami merenungi kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuat dan memperbaikinya.
Ma... Selamat Hari Ibu!
#ElevateWomen