Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Raistamala Nediasani
"Wah, kalau yang cowok ini anak ibunya, yang cewek anak ayahnya," kalimat itu sangat sering kudengar sejak aku kecil. Kalimat itu tertanam kuat di pikiranku sejak aku kecil. Kalimat itu yang membuatku jauh dari ibuku.
Secara fisik aku memang mirip ayahku, tidak mirip ibuku. Bahkan tak ada yang percaya jika aku dan kakakku bersaudara kandung. Kondisi itu diperparah dengan perlakuan ayahku yang cukup memanjakanku. Semakin aku bertumbuh dewasa, aku semakin canggung berlama-lama dengan ibu, semakin canggung saat jalan berdua dengan ibu.
Seringkali saat terpaksa jalan berdua, kami hanya diam, tidak tahu harus bicara apa untuk mencairkan suasana. Tidak, aku bukan tidak sayang sama ibu, hanya canggung saja untuk mengungkapkan. Sejak dulu, setiap ada masalah apa pun aku selalu cerita ke ayah, bukan ibu.
Tanggal 4 April 2020, ayahku dipanggil Tuhan secara mendadak, tanpa gejala apa pun dan dengan proses yang sangat cepat. Ibu orang yang sangat kehilangan, begitu juga aku. Hatiku terluka dalam sekali, tapi hanya aku yang tahu. Aku menutup rapat lukaku dari orang lain. Yang orang lain tahu aku bisa dengan cepat mengobati lukaku, padahal sampai saat ini masih perih rasanya.
Ditinggal ayah bukan hanya meninggalkan luka untukku, tapi juga meninggalkan sebuah dilema. Kakakku sudah menikah dan tinggal agak jauh dari rumahku. Otomatis aku hanya tinggal berdua dengan ibu setelah kematian ayah. Berat untuk melawan kecanggungan itu. Bahkan di malam pertama ayah meninggal, aku merasa tidak nyaman karena terpaksa tidur berdua dengan ibu, malam kedua aku memilih tidur sendiri. Berat untuk menutupinya, tapi aku sadar, sekarang aku tumpuan terbesar bagi ibu.
Sejak ayah meninggal, ibu tidak banyak cerita tentang apa yang dirasakan, begitu juga aku. Kami menyimpan cerita kami masing-masing. Aku membuat pelarian diri dengan sangat sibuk bekerja, sedangkan ibu tidak banyak aktivitas yang dijalaninya. Semakin hari aku semakin bisa mengatasi kecanggunganku. Mau tidak mau aku sering pergi berdua dengan ibu. Berusaha membuat ibu sembuh dari lukanya. Berusaha membuatnya tersenyum. Bulan berganti bulan rasa-rasanya aku sudah cukup berhasil membuat ibu merasa bahagia. Tapi ternyata aku salah. Semua tidak sesuai dengan apa yang terlihat.
Advertisement
Kesedihan yang Ibu Pendam Sendiri
Awal bulan Desember, Tuhan menguji kami lagi. Ibu terpapar covid-19. Kami melakukan isolasi mandiri. Hampir sebulan sakitnya ibu tidak menunjukkan pekembangan yang signifikan. Gejala covid19-nya sudah tidak ada, tapi sering tiba-tiba drop, keringat dingin lalu sesak.
Belasan kali ke dokter dan IGD, tetap tidak ada perubahan. Pernah suatu kali ibu ngotot sekali minta opname karena bosan ada di rumah. Aku tidak mengizinkan karena takut ibu tidak siap mental dengan situasi rumah sakit saat ini. Setelah berdebat panjang lebar akhirnya aku mengizinkan, dan tiba-tiba ibu menjadi sangat tegar dan bersemangat mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk opname. Sejak saat itu aku menduga ibu sakit bukan karena hal medis, tapi psikis. Opname urung untuk dijalani karena aku berhasil membujuknya kembali.
Sejak itu aku berusaha mendekat ke ibu, berusaha mengajaknya bicara secara dalam. Akhirnya ibu mengungkapkan bahwa selama ini ibu kesepian sejak kematian ayah. Diperparah dengan adanya covid-19 ibu semakin tidak bisa ke mana-mana. Puncaknya adalah saat ibu terkena covid-19, sebulan hanya di kamar saja, jarang interaksi dengan siapapun termasuk aku.
Ibu kesepian, ibu bosan, ibu jenuh. Aku merasa sangat bersalah. Aku terlalu fokus mengobati lukaku sendiri dengan sibuk bekerja, tapi aku lupa bahwa ibu juga sama terlukanya dengan aku. Sekarang semua cara kulakukan untuk buat ibu bahagia, karena aku tahu obat ibu untuk sembuh hanya perlu bahagia.
Aku bawa ibu ke psikolog, ke penasihat spiritual, minta doa sana-sini, sering ajak ibu jalan-jalan keliling kota, sering video call ke saudara-saudara, dan semua cara aku coba hanya untuk buat ibu bahagia. Sebentar saja aku telat menyadari kalau ibu sakit psikis, mungkin ibu sudah di level stres yang cukup parah. Setiap kali melihat ibu tersenyum hatiku bahagia, setiap kali melihat ibu drop hatiku terluka.
Bu, maaf aku pernah durhaka sama ibu. Maaf aku pernah jahat sama ibu. Maaf aku pernah jadi orang lain bagi ibu. Tapi sekarang, ayo jalani hidup ini berdua, ayo mengobati luka sama-sama. Semangatlah sembuh, Bu, aku masih butuh senyum ibu. Ayo kita hidup bahagia. Simpan senyummu sampai nanti anak-anakku melihat senyum itu, Bu. Aku bukan cuma anak ayah, aku anak ibu juga. Mungkin aku tidak pandai mengungkapkan rasa sayangku sama ibu, tapi aku sangat sayang ibu. Jangan merasa kesepian lagi, jangan merasa sendiri lagi, ada aku di sini.
#ElevateWomen