Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Wenny
I’m a strong woman because a strong woman raised me.
Saya dan mama. Sama-sama Taurus, sama-sama keras kepala, sama-sama punya banyak mau yang kadang bertentangan. Sejak kecil saya tidak punya kenangan oh-so-sweet yang bisa diceritakan. Bahkan saya berkali-kali skip lomba menulis Fimela dengan tema serupa. Tetapi untuk tema kali ini, saya punya satu kenangan yang membuat saya bernostalgia, tentang saya dan mama sekitar 25 tahun yang lalu.
Love and Hate Relationship with My Mom
Di sepanjang kehidupan saya, hubungan dengan mama bisa saya gambarkan sebagai love-hate relationship. Bisa dikatakan, komunikasi bukan hal utama yang menyatukan kami. Di masa remaja saya (SMP hingga SMA), saya sering iri dengan teman-teman perempuan saya yang bisa menceritakan semua hal kepada ibu mereka, mulai dari urusan sekolah, urusan cinta dan sebagainya. Sementara saya, lebih sering menyimpan semua sendiri atau lebih sering curhat dengan sahabat saya. Saya semakin merasa jauh dari mama, walaupun kami bertemu setiap hari.
Waktu berlalu, tibalah saya di usia dewasa (masa kuliah dan masa kerja). Semakin banyak orang yang saya kenal, saya semakin menemukan fakta bahwa hubungan antara anak perempuan dan ibunya bisa sangat mengerikan dan berantakan. Sebab beberapa teman saya ada yang sengaja kabur dari rumah, kawin lari, bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena hubungan yang berantakan dengan ibunya. Di titik tersebut saya bersyukur, hubungan saya dan mama ada di tengah-tengah, tidak semanis teman-teman masa remaja saya, tetapi juga tidak sepahit teman-teman di masa dewasa saya.
Dari Gigi yang Sempurna, Ada Banyak Kesabaran dan Cinta di Sana
Hingga tiba masa saya menjadi seorang ibu. Dari segala clueless yang saya rasakan dalam hal merawat anak, saya baru menyadari bahwa mama saya begitu luar biasa. Anak saya baru 2,5 tahun tetapi capeknya luar biasa. Kadang saya tidak paham bagaimana mama bisa sekuat itu membesarkan saya dan adik saya di kota orang, jauh dari keluarga besar, dan semua dilakukan sendiri tanpa ART atau nanny. Sekarang saya baru menyadari ada banyak hal yang sudah diperjuangkan mama, ada banyak hal yang membuat saya melihat betapa kuatnya mama.
Satu hal yang membuat saya bangga tentang perjuangan mama di masa kecil saya adalah...
Dulu, saya punya gigi susu yang utuh. SEMUANYA!
Tidak ada satu pun gigi susu saya yang keropos dan menghitam (karies). Semuanya utuh hingga gigi susu itu lepas digantikan gigi dewasa. Di saat teman-teman masa kecil saya gigi depannya banyak yang menghitam, saya dengan bangga selalu memamerkan gigi putih saya yang secakep gigi Tasya (bintang iklan Pepsodent waktu saya kecil). Receh banget kan? Tetapi kenangan ini membawa efek yang besar untuk saya.
Pertama: Saya punya banyak foto masa kecil dengan senyum lebar yang sempurna. Iya, saya bangga, karena mama berhasil merawat gigi saya dengan segala informasi yang masih minim di era 90-an.
Kedua: Motivasi saya semakin besar, anak saya harus punya gigi yang bagus juga.
Ketiga: Hal “kecil” ini membuat saya mau tidak mau membuka komunikasi dengan mama, apa rahasia mama saat merawat gigi saya ketika masih balita? Karena saya merasakan sendiri, meminta anak saya untuk menyikat gigi kadang dramanya luar biasa.
Advertisement
Rahasia Mama
Dan inilah rahasia mama saya:
Batasi konsumsi gula (cokelat, permen, jeli, dan sebagainya). Selain tidak baik untuk gigi, makanan manis bisa membuat balita “kecanduan” dan tidak mau mengonsumsi makanan utama. Bahkan produk seperti susu, roti, dan nasi juga mengandung gula.
Penting untuk menyikat gigi sebelum tidur dan tidak makan/minum lagi setelahnya. Mama saya tidak pernah menakut-nakuti saya tentang dokter dan dokter gigi. Misalnya, “Kalau kamu nggak nurut, mama bilangin dokter biar kamu disuntik." NO! Hasilnya adalah saya selalu happy setiap kali ke dokter gigi, sekadar untuk diperiksa atau cabut gigi. Mungkin karena dokternya ramah dan sejak awal saya tidak ditanamkan mindset bahwa dokter adalah orang “mengerikan” dan suka “menyiksa” anak-anak. Sabar! Karena balita adalah makhluk yang paling melatih kesabaran.
Dari kenangan masa kecil saya ini, ada banyak hal yang ingin saya tiru dari mama. Semangatnya, disiplinnya, dan yang pasti kesabarannya. Banyak metode modern parenting yang ingin saya lakukan ke anak saya, tetapi ada juga beberapa metode parenting “kuno” ala mama yang masih ingin saya pertahahankan. Yang mau tidak mau, kalau saya mau tahu rahasianya maka saya harus terus berkomunikasi dengan mama.
Kadang senyum bisa terukir dengan alasan sederhana, misalnya saat saya melihat anak saya bermain dengan mama. Saya seperti mengulang kenangan masa kecil saya 25 tahun yang lalu. Meskipun sudah hampir setahun mama dan anak saya tidak bertemu langsung karena kami beda kota dan efek pandemi, tetapi komunikasi tetap lancar dengan video call. Tentu saja saya berharap pandemi ini segera berlalu agar saya, mama, dan anak saya bisa berkumpul lagi.
Meskipun semua gigi susu saya sudah lepas, kenangan manisnya akan selalu ada. Saya tahu, cerita saya super receh dibanding teman-teman lain pada lomba ini. Tidak apa-apa, karena dengan menulis cerita ini, saya semakin menyadari betapa luar biasa perjuangan mama. Semakin sering saya mengajarkan disiplin menyikat gigi kepada anak saya, semakin saya merasakan ada banyak cinta dan kesabaran mama yang ingin saya tiru.
Mama saya bukan ibu yang sempurna,
tetapi ada banyak senyum dan cinta yang sudah kami bagi bersama.
#ElevateWomen