Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Athaya Salsabila
Tanggal 11 Maret adalah hari bersejarah dalam hidup saya, di hari ini kali kedua saya mengalami proses meregang nyawa setelah empat tahun berselang. Debarannya masih sama, tapi saya sedikit lebih tenang karena pernah tahu rasa sakitnya.
Dengan berserah diri pada Sang Pencipta saya dorong napas panjang melahirkan tangisan seorang bayi laki-laki sehat. Masih ada yang mengganjal. Menurut ibu bidan karena perut saya yang masih besar. Lima menit berselang ibu bidan kembali memberi aba-aba proses persalinan.
"Kok masih besar ya, Bu? Ayo dicoba tarik napas sekali lagi!" begitu ujarnya.
Tangisan bayi kedua pecah berselang tak lama setelahnya, siapa yang sangka tanggal 11 Maret saya mendapat hadiah dari langit berupa sepasang bayi laki-laki.
Tak pernah sedikit pun terbesit diangan saya untuk menjadi ibu dari anak kembar. Yang tak dipungkiri menjadi impian bagi sebagian besar pasangan. Ternyata tak semudah yang dibayangkan, terlebih jarak antara saya dan suami yang terpisah antar pulau membuat saya seringkali kerepotan. Mengurus si sulung yang mulai sekolah dan dua adik kembarnya adalah pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Beruntung, orangtua saya masih lengkap dan sangat berjasa membantu mengurus buah hati saya terutama si putri anak pertama.
Berbekal cerita-cerita yang saya dengar, buku-buku yang saya baca dan yang sudah saya alami pada anak pertama, saya merasa cukup ramah dengan hal-hal merepotkan yang berhubungan dengan bayi. Tapi kali ini dikali dua, dua tangisan, dua kali menyusui, dua kali mengganti popok dan seterusnya serba dikali dua. Tidak ada habisnya jika diurai dengan kata. Anehnya, saya sangat menikmati momen tersebut, tak pernah sekali pun saya mengeluh atau marah karena jabang bayi. Yang ada hanya rasa khawatir tentang hal-hal yang bersangkutan kepentingan orang lain dan keselamatan si kembar.
Advertisement
Menikmati Setiap Momen yang Ada
Waktu terus berputar menyisakan saya dan kesibukan yang tiada habisnya, saya berusaha terus melukis hari dengan senyuman pada setiap momen yang terlewati. Satu persatu orang yang saya pekerjakan mulai tumbang mengundurkan diri, ada yang bertahan tahunan selebihnya hanya hitungan bulan. Sebab apalagi jika bukan tak sanggup mengatasi si kembar. Sementara saya tidak pernah memaksakan kehendak harus ini dan itu, tidak cukup energi dan waktu saya untuk mendebat. Yang penting menjalankan peran dengan baik, kalau tidak sanggup ya sudah.
Pernah, suatu hari ayah saya sengaja membuatkan pagar rumah sebagai pembatas halaman dengan jalan raya. Inisiatif ini muncul disebabkan tigakali si kembar lolos pengawasan dan berlari ke tengah jalan raya. Beruntung, tukang becak didepan rumah sigap menangkap mereka berdua. Jika tidak, saya tidak bisa membayangkan. Sementara si pembuat onar hanya ketawa-ketiwi layaknya berhasil menjalankan misi. Berulang kali saya mengingatkan, menjelaskan dengan isyarat dan banyak cara lainnya. Hasilnya, hanya bisa sabar dan berdoa semoga tidak terulang.
Saya sampai tidak ingat kapan terakhir kali menyisir rambut, apalagi bersolek didepan kaca. Mungkin satu minggu atau dua minggu yang lalu atau bisa jadi lebih. Menjelang siang si kembar sudah terlelap, saya mampir ke depan meja rias, duduk mengamati pantulan wajah yang tergambar disana. Kulit menghitam kusam, bekas-bekas jerawat ditambah potongan rambut cepak agak ikal karena jarang disisir. Lebih cocok jadi buruh sawit, gumam saya sambil menahan tawa. Setelah membersihkan muka dan menyisir rambut, saya ukir senyuman terbaik dan menegaskan dalam hati,
"Semua ada masanya, akan habis masa berlaku si kembar menjadi anak kecil. Jangan sampai saya menyesal karena melewatkannya!"
Tangisan si kecil membuyarkan adu peran saya didepan kaca, tepat pukul satu. Saya menghampirinya, mengambil posisi untuk kembali menidurkannya. Tak lama kemudian, tangan kecil di belakang saya menarik-narik baju saya sembari berkata " Bu, ayo cepeda!" Otomatis si adik yang hampir terlelap terduduk bugar lalu menyambar tangan saya, "Ayo, Bu!" Kalau sudah begini, jangan harap ada jatah tidur siang.
Saya mengamini dengan senyuman lalu beranjak mengikuti tangan mungil mereka berdua. Dalam hati saya berdoa semoga tangan-tangan ini kelak yang menarik saya di hari pertanggungjawaban. Amin.
#ChangeMaker