Sukses

Lifestyle

Satu Senyum Ibu yang Menyimpan Berjuta Perjuangan

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh: Habibah Auni

Kepada ibu, sosok hawa luar biasa yang Tuhan ciptakan untuk kami, anak-anakmu yang tak lepas dari kekurangan perilaku dan perbuatan. Surat yang barangkali tak cukup meggambarkan kadar cinta dan kerinduanku padamu.

Sebab kata-kata, jika ibu tahu, hanyalah perwakilan perasaan terkini, yang biasa dipengaruhi ragam suasana. Dan aku, tak lepas dari perkara permainan jiwa atau mudah kebawa perasaan, istilahnya, Bu. Sehingga dari itu, akan terdapat banyak rumpang dalam segenggam amanat yang kulafazkan padamu. Maka, mohon maaf Bu, jika surat ini penuh celah dan mengundang banyak senyum tawa atas kekeliruan yang tak berarti.

Bu, aku mengingat betul waktu bapak meninggal tempo enam tahun yang lalu. Ketika itu, tidak ada yang menduga-menduga, memprediksi, bahkan menyangka bahwa bapak akan berjumpa Tuhan begitu cepat. Semua tak siap mendengar kabar buruk itu dan membayangkan kehidupan tanpa Bapak. Kepulangan bapak seolah-olah mencekik mendesak jantung, sehingga kemudian terasa berhenti berdetak. Di saat itu pula, seluruh kulitku gemetar, megindera tepat bagaimana bumi pun ikut berhenti berputar.

Apalah daya arti, sebuah kehidupan tanpa bapak, pikirku dulu. Duniaku serasa hancur. Cita-citaku remuk bersamaan dengan hancurnya gambaran akan masa masa depan yang indah. Ya, suatu masa di mana aku dapat menjalani kehidupan: menjemput harapan yang bapak taruhkan padaku, dan ketika aku membawanya pulang ke rumah kita bapak pun akan tersenyum bahagia melihatnya. Dan kini, itu semua sudah mengabu menjadi debu, menyisakan segelintir penyesalan tak henti.

Namun, saat itu, aku mengingat bahwa masih ada ibu, yang menyala terus atma dan jisimmu, dengan terpaut erat senyum di wajahmu yang berbilang maknanya. Yang alih-alih Tuhan takdirkan untuk menyambangi surga malah membuat ibu untuk tegar bertahan di dunia yang hakikatnya tempat peraduan yang mengundang masygul.

Barangkali ibu tidak percaya kata-kataku barusan, mengenai bagaimana aku memandang kejamnya kehidupan padamu. Ibu yang menjadi korban kultur masyarakat yang dianggap janda tua yang harus mengurusi anak-anaknya. Sosok perempuan, yang diyakini orang-orang, tidak mungkin dapat menghidupi kebutuhan anaknya selain bersama kehadiran seorang pria.

Perkara ini kulihat betul dengan mata telanjangku, Bu. Bagaimana ibu seringkali dipandang miring, direndahkan, dan dihina oleh lingkungan sekitar. Yang tak ayal, perkara ini membuat ibu kesulitan dengan banyak hal.

Dalam mendapatkan pekerjaan, misalnya, entah mengapa dunia kerja tidak bersahabat denganmu, Bu. Kendati ibu berpengalaman dengan pekerjaan yang dilamar, tetap saja ibu kesulitan berkompetisi dengan calon karyawan lainnya. Alasannya, karena ibu sudah tua dan masih banyak calon karyawan lainnya yang lebih muda usianya dan hijau pengalamannya.

Aku hanya bisa berdiri terdiam dengan mulut menganga dan suara mengalpa, melihat ibu bolak-balik ditolak pekerjaan. Hatiku tersayat. Perasaanku teriris. Iba, sedih, geram dengan manusia-manusia itu dan tentunya pada diriku yang tidak mampu berbuat apa-apa.

Apa yang aku bisa lakukanya hanyalah cemas-cemas harap, berdoa agar ibu dimudahkan Tuhan untuk beradu di dunia fana ini. Semoga ibu tidak menerima penolakan lagi dan lekas memperoleh pekerjaan.

Aku Berjanji untuk Membahagiakan Ibu

Setelah jerih payah cukup lama, Bu, akhirnya diterima pula ibu dalam pekerjaan yang ibu lamar. Syukur Alhamdulillah, begitu lamunku, sembari tersenyum simpul. Betapa senangnya, memperoleh kabar bahwa usaha ibu akhirnya terbalaskan juga. Bahwa ibu akhirnya bisa menghidupi keluarga, mengamankan jalan karier yang aman, dan selalu tersenyum tulus dengan indah.

Akan tetapi perjuangan tidaklah sampai di sini, diterima di pekerjaan hanyalah pintu pertama, ke lembar-lembar pahit kehidupan berikutnya. Ya, kembali, aku melihat betapa ibu berjuang keras, namun berkali-kali lingkungan tidak menghargai buah usaha ibu.

Bahwa ibu bekerja, namun dianggap pandir, sehingga mengundang ditipu daya dari orang-orang yang dengki. Padahal, orang itu dan mereka tidak berbuat apa-apa. Hanya bertamasya liar dengan pikirannya dan membaca koran pagi senyampang rebahan, sementara ibu bekerja tanpa henti berbanjir peluh. Alih-alih tahu diri pun, orang tersebut malah memfitnah ibu dan membuat ibu kesulitan di tempat kerja.

Sungguh menyakitkan, begitu aku mendengar cerita ini. Tiada yang lebih pedih, dibandingkan melihat ibu sendiri direndahkan oleh orang-orang sekitar. Aku kesal. Angkara murka. Ingin kubalas kepada mereka dan berkata bahwa, ibuku tidak serendah yang mereka pikirkan. Ibuku tidak sebodoh yang mereka cap!

Mereka tidak mengenal betul ibuku yang padahal merupakan orang berpendidikan tinggi! ibu, yang dijanjikan untuk mendapatkan beasiswa studi S-3 nya, namun memilih mundur agar bisa fokus menafkahi dan membesarkan kami, anak-anaknya!

Biar anak-anak saja yang menyelesaikan studi, kata ibu sambil tersenyum, ketika mengingat perlakuan semena-mena yang diberikan orang-orang pada dirimu. Biar ibu fokus membesarkan kalian sampai menjadi orang besar yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, lanjut perkataan ibu.

Aku hanya bisa menahan air mata sambil berpikir, kok bisa-bisanya ibu mengorbankan cita-citanya untuk kami anak-anakmu? Kok mau-maunya ibu berjuang terus, meskipun hinaan sebagai timbal baliknya yang tak mungkin digantikan oleh gaji. Kok ibu masih kekal senyum di wajahnya yang padahal kelelahan lazimnya mengundang kelesuan?

Jika aku berganti posisi dengan ibu, pikirku, aku belum tentu kuat menghadapi cobaan hidup seperti itu. Bisa saja aku malah memilih jalan pintas kehidupan, entah dengan tujuan apapun melalui cara apapun.

Namun ibu berkata lain: meniti jalan penuh kehormatan sebagai perempuan dalam memperoleh nafkah agar dapat menjaga kehormatan anak-anaknya dari pandangan miring masyarakat, walaupun hinaan sebagai timbal baliknya. Dan ibu selalu melakukan itu dengan senyum di wajahmu.

Maka sedari itu kuputuskan Bu, aku akan berjuang untuk kebahagiaanmu semata. Membuktikan bahwa ibu adalah janda yang hebat. Ibu adalah janda yang berhasil membesarkan anak-anaknya. Dan ibu adalah janda cerdas yang tak pantang menyerang dihadang masa. Sebab ibulah yang tersisa bagiku kebahagiaanku satu-satunya saat ini yang Tuhan sisakan padaku, agar aku tidak lagi sedih meronta-ronta penuh penyesalan atas kepergian orang terkasih.

Aku memandang ini sebagai sinyal yang diberi Tuhan kepada kami, anak-anakmu, yakni last chance untuk membuktikan cinta pada ibu. Bahwa, bahagiakanlah ibu sebelum maut menjemput sebagaimana kisah ayah dulu. Lukislah berbagai warna dalam kanvas putih di sosok renta itu. Ukirlah senyuman terindah pada rupa ibu, menghiasi wajahmu yang sekarang penuh kelelahan, agar kembali elok sebagaimana dirimu waktu muda dulu.

Selamat hari ibu, kepada ibu tercinta. Aku mencintaimu sesederhana mentari pada saban pagi yang tak memerlukan alasan untuk terbit. Dan aku bersumpah, aku akan mengembara hingga ke Eden. Menjelajahinya, membajaknya, dan menaklukkannya untuk kemudian menggali sumber kebahagiaan terpendam yang dapat kubawa pulang dan kuhadirkan senyum pada wajahmu. Itulah janji terbesarku pada Tuhan, agar engkau dapat tersenyum hingga roh tanggal dari jasadmu. Aamiin!

#ChangeMaker

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading