Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Psychealer
“Ma, bagaimana rasanya hidup bersama anak yang hampir tidak pernah berbicara dengan ibunya sendiri?” Seringkali pertanyaan itu terlintas di kepalaku. Lalu aku berasumsi sendiri, mencoba menempatkan diriku di posisimu. Aku seakan lupa bahwa aku belum pernah menjadi seorang ibu dan dengan bodohnya menjawab pertanyaanku sendiri. Jika aku jadi dirimu, aku pasti kecewa dan kesal dengan sikap seorang anak sepertiku. Tetapi itu hanya asumsi yang tak akan pernah terkonfirmasi. Bukan karena aku tak mau menanyakannya tetapi aku tak mampu.
Ma, sejujurnya aku merasa sangat canggung denganmu. Aku bingung bagaimana mengekspresikan perasaanku. Apakah kondisi ini tercipta karena dulu kita tidak benar-benar hidup bersama dalam satu keluarga?
Saat aku duduk di kelas 1 SD, kau memutuskan untuk bekerja di luar negeri sehingga perlu menitipkan aku dan kakak di tempat budhe. Dua tahun kemudian kau kembali namun aku sudah terbiasa hidup tanpa sosok dirimu. Saat itu, aku perlu waktu untuk menerima bahwa orang yang pulang ke rumah dan ada di hadapanku adalah ibuku. Aku merasa asing dengan ibuku sendiri.
Ironisnya, aku lebih dekat dengan budhe dibandingkan denganmu. Tadinya aku berpikir bahwa seiring berjalannya waktu kita bisa saling mengisi ruang-ruang yang sempat kosong. Tetapi beberapa bulan setelah kepulanganmu, kau memutuskan untuk bekerja lagi di luar kota.
Kali ini kau menyempatkan untuk pulang beberapa kali saat hari raya atau hari-hari libur lainnya karena jarak rumah dengan tempatmu bekerja hanya menempuh waktu 3 jam perjalanan. Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga aku menjadi mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Bogor. Lalu kita baru tinggal bersama bulan Maret tahun ini ketika kau harus berhenti bekerja karena diuji dengan penyakit kanker.
Advertisement
Sungguh Aku Tak Pernah Membencimu
Hidup bersama denganmu setelah belasan tahun terpisah jarak menjadi pengalaman baru bagiku. Kita lebih seperti orang asing yang hidup dalam satu atap. Aku yang kurang bisa mengungkapkan perasaanku membuat diriku bersikap dingin di hadapanmu. Kalimat singkat nan kaku selalu terucap ketika kau berusaha berbincang denganku.
Aku tidak mampu menjadi teman ceritamu saat kau mungkin butuh teman untuk bercerita. Aku tidak tahu caranya memberi perhatian ketika kau diuji dengan penyakit kanker. Aku juga tidak mampu menceritakan bagaimana hari-hari yang kujalani dan apa saja yang sedang aku hadapi padahal mungkin kau khawatir dengan keadaanku.
Melalui tulisan ini, aku ingin mengatakan bahwa aku tidak pernah membencimu walaupun sikapku terkesan dingin. Aku juga tidak pernah meyalahkanmu atas semua yang telah terjadi di keluarga kita. Aku sangat memahami keputusanmu saat itu adalah keputusan terbaik yang dapat kau lakukan untuk anak-anakmu. Kau sudah berusaha begitu keras agar anak-anakmu bisa tetap sekolah dan berusaha memenuhi kebutuhan kami.
Wahai ibuku, terima kasih telah menjadi ibuku. Mohon maaf karena aku belum mampu seperti kebanyakan anak yang dapat bersikap lembut, hangat, dan penuh kasih sayang kepada ibunya. Maafkan aku karena sikapku mungkin pernah menyakitimu dan maafkan aku juga karena aku masih menjadi beban untukmu.
Aku terkadang meminta pada-Nya agar segera memberiku kemampuan hidup mandiri sehingga aku dapat keluar dari rumah. Mungkin aku akan bisa bersikap lebih baik kepadamu atau setidaknya kau tidak perlu melihat sikapku yang menyebalkan.
#ChangeMaker