Fimela.com, Jakarta Seorang ibu menjadi sosok yang paling istimewa di hati kita. Saat menceritakan sosoknya atau pengalaman yang kita miliki bersamanya, selalu ada hal-hal yang tak akan bisa terlupakan di benak kita. Cerita tentang cinta, rindu, pelajaran hidup, kebahagiaan, hingga kesedihan pernah kita alami bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2020: Surat untuk Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Mutia Helma
Saatku membaca cerita Malin Kundang si anak durhaka, rasanya akulah si Malin Kundang itu. Aku adalah anak durhaka yang saat itu juga dikutuk oleh mamaku.
Berawal dari 6 tahun silam masih jelas dalam ingatan, tepatnya tahun 2014 di bulan Januari tanggal 16 hari Kamis. Saat itu aku kecil sedang murka dengan keadaan dan mengamuk berteriak tak jelas dan pergi sambil membanting pintu tanpa salam dan pamit.
Hariku berat, ujian praktik sudah menghampiri banyak yang perlu aku lakukan tapi dana untuk ujian praktikku nol besar. Saat itu aku benar-benar menyalahkan keadaan, si anak durhaka ini menyalahkan keadaan karena mamanya.
Di sekolah saat jam praktik sudah mulai. Semua siswa/siswi berkumpul di belakang sekolah. Hari itu kami melakukan praktik seni dengan tugas membuat batik celup.
Semua bahan sudah siap. Baju-baju polos yang kami kumpulkan sudah diikat dengan kerikil-kerikil kecil. Sepuhan berbagai warna pun sudah siap mewarnai baju-baju kami.
Kompoe spirtus mulai dinyalakan, namun tak nampak apinya. Guru kami pun menyimpulkan bahwa spirtus yang berada dalam kompor itu terlalu sedikit hingga guru kami menuangkan spirtus tersebut dengan menyemprotkannya dari dalam botol ke kompor spirtus itu. Dan... api itu menyambar diriku, aku panik dan berlari mencari lahan untuk berguling. Saat aku sudah mau menggulingkan tubuhku, guruku itu berteriak memanggil diriku untuk masuk kedalam toilet di dekat situ.
Aku berlari kencang ke arahnya dan mencari air untuk memadamkan api di tubuhku. Aku menangis kepanasan. Guruku terus menyiram diriku dengan air. Dan yang aku pikirkan saat itu hanya Mama dan menangis sambil berteriak memanggil Mama.
"Mama maafkan aku."
Aku terus berteriak meminta maaf pada Mama. Aku terus menangis tubuh bagian bawahku tak berasa celana olahraga yang aku pakai sudah tak bersisa. Aku pun dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Advertisement
Maaf dan Maaf
Selama perjalanan aku merenungkan dosaku pada Mama pagi itu. Inikah azab untukku sebagai anak nakal yang tidak hormat pada mamanya?
Aku masuk ruang UGD dan saat itu juga aku langsung di tangani oleh perawat di sana. Beberapa bagian kulit kakiku melepuh dan cairannya disedot menggunakan suntikan sebagian lagi disayat oleh perawat yang menanganiku sebagian lagi sudah tak memiliki kulit.
Kenapa aku harus merasakan ini semua? Kenapa tidak terbakar hingga mati di tempat saja? Bagaimana aku bisa menghadapi dunia? Pikiran buruk itu menguasai diriku.
Setelah itu aku kehilangan kesadaranku dan terbangun di sebuah ruangan isolasi. Ada mama disana sedang memegang halus tanganku dengan mata yang sembab.
Akupun menangis mengemis maaf pada Mama. "Ma, maafkan aku sudah durhaka pada Mama," dengan isak tangis yang tak bisa kutahan.
Mama mengelus rambutku.
Mama pun memelukku yang merasa kepanasan, sambil mengibas-ibas lembaran kertas ke arah kakiku.
"Ma-ma ma-a-fin a-kuu-u", segukan. Mama memelukku lebih erat dan menenangkan ku.
Mama, maafkan anakmu yang satu ini. Dia anak yang pemarah padahal dirimu sangat sayang padaku.
Ma maafkan aku, aku sudah berusaha untuk menjadi anak yang baik dari pengalamanku 6 tahun lalu. Sekarang aku sadar bahwa aku benar-benar mencintaimu. Dan sepertinya cintaku ini masih kecil jika dibandingkan cintamu padaku.
Ma sekali lagi maafkan aku. Sudah tak terhitung berapa ratus kali lisanku meminta maaf padamu. Betapa seringnya aku memikirkan dosaku padamu, dan masih sulit memaafkan diriku sendiri.
#ChangeMaker