Fimela.com, Jakarta Seorang ibu menjadi sosok yang paling istimewa di hati kita. Saat menceritakan sosoknya atau pengalaman yang kita miliki bersamanya, selalu ada hal-hal yang tak akan bisa terlupakan di benak kita. Cerita tentang cinta, rindu, pelajaran hidup, kebahagiaan, hingga kesedihan pernah kita alami bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2020: Surat untuk Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Diah Wahyuningsih Naat
Ibuku, perempuan Jawa kelahiran Sumatera. Sebagai perempuan Jawa, ibu punya banyak petuah yang sering buatku bingung dan kadangkala membosankan. Banyak hal jadi catatan hidup bagaimana segala pantangan membuatku harus menjaga martabat ketimuran perempuan meskipun bapak bukan lelaki Jawa.
Bapakku asli dari ranah Minang kelahiran Jakarta. Antara bapak dengan ibu, terlihat perbedaan mencolok. Mungkin dalam asumsi kebanyakan orang, ibuku penuh sikap lemah lembut sementara bapak terkesan selaku lelaki Sumatera yang lebih banyak ngobrol. Tapi kenyataannya, ibuku tidak demikian.
Ibu sangat pemarah bahkan sering kali memberikan hukuman fisik kepada anak-anaknya bila kami melakukan kesalahan besar. Suara ibu ketika marah menggelegar bak petir di siang bolong. Situasi ini berbanding terbalik dengan bapak. Kesan lelaki Sumatera yang tegas, seram, atau hal-hal yang mencerminkan sosok kesumateraannya, tidak terlihat sama sekali. Malah anggapan orang pertama kali melihat bapak yang berkumis tebal selalu salah. Ternyata bapak sangat lembut, pendiam, serta tak sedikit pun berlaku kasar pada siapa pun. Begitulah kesimpulan dari kawan-kawan sekolahku setelah bicara dengan bapak.
Namun di balik kejamnya ibu dalam mendidik anak-anaknya, ibuku memiliki hati seluas samudera bila melihat orang-orang yang sedang kesusahan di sekitarnya. Termasuk dengan tetangga di komplek rumah kami yang berbeda keyakinan.
Tante Marta, kami memanggilnya. Dia beretnis Batak dan beragama Nasrani. Kepada tante Marta, ibu selalu berbagi apa pun yang ada di rumah. Menurut ibu, tante Marta hidup susah walaupun suaminya sendiri bekerja di salah satu BUMN. Kebiasaan suaminya minum dan berjudi membuat tante Marta harus pontang-panting menafkahi anak-anaknya yang berjumlah lima orang.
Tante Marta memilih mengadu ke ibuku dan menangis melihat perilaku buruk suaminya yang jarang pulang bahkan melupakan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Anak-anak tante Marta sendiri, hanya bisa makan setelah mereka selesai berjualan jagung rebus, kecuali bila ibuku memasak makanan agak berlebih maka ibuku akan menghantarkan makanan tersebut ke rumah tante Marta. Yang sering diberi kewajiban menghantar makanakan itu adalah aku.
Apalagi sejak ibu menerima katering, Tante Marta merasa menerima menu-menu nikmat dari katering ibuku yang memang disengaja ibu dilebihkan untuk memberi kepada tetangga khususnya tante Marta. Hubungan silaturahmi ibuku dengan tante Marta seperti anak dan putrinya. Aku melihat bagaimana rasa kehilangan tante Marta ketika ibu meninggal. Dalam tangisnya tante Marta, dia menyampaikan rasa perihnya karena tidak ada lagi sosok perempuan yang sudah dianggap layaknya ibu sendiri.
Rasa sedih tante Marta bisa kupahami. Pertemanan ibu dan tante Marta tidak sekadar sebagai tetangga belaka, hubungan bagai ibu dan putrinya telah tersemai di diri perempuan beretnis Batak itu. Sekalipun, ibuku tidak pernah menunjukkan rasa alergi bertandang ke rumah tante Marta. Saat Lebaran, tante Marta akan membantu ibu menyiapkan masakan dan seperti biasa si tante akan membawa menu serupa dari rumah kami. Begitu juga ibuku. Ketika Natal dan Tahun Baru, ibu mengajak bapak atau aku berkunjung ke rumah si tante.
Advertisement
Ibuku Panutanku
Situasi seperti itu, sulit dilihat di masa sekarang. Lunturnya hubungan masyarakat akibat sekat-sekat yang sengaja kita buat sendiri. Perbedaan antar umat beragama di negeri ini makin hari makin menunjukkan kekhawatiran. Kita punya dalih untuk membatasi silaturahmi antar sesama hanya karena berbeda keyakinan. Kita merasa khawatir atas sesuatu yang belum tentu terbukti melumpuhkan keimanan masing-masing. Saling kunjung di hari-hari raya antar umat beragama, semakin jarang terlihat.
Kesadaran warga bicara cinta antar sesama mungkin mulai menghilang dan perbedaan tersebut selalu jadi senjata memutuskan hubungan sesama. Padahal, negeri ini sudah dikodrati Tuhan menjadi negeri yang kaya karena keragaman. Kekayaan keragaman inilah yang sejatinya modal membangun kekuatan dan kelak lestari dari generasi ke generasi.
Aku beruntung memiliki sosok perempuan hebat seperti ibuku. Apa yang diperbuat ibuku dulu-menunjukkan sikap toleran kepada tante Marta menjadi bekalku bergaul antar agama dan etnis. Rasa alergi pada mereka yang berbeda, tidak sedikitpun membuatkan canggung berhadapan dengan mereka yang berbeda. Aku merasakan langkahku saat berkunjung ke rumah teman-kerabat-atau tetangga berbeda keyakinan, tidak membikin keenggananku. Bagiku, selama mereka menghargai aku sebagai tamu yang dihormati, selama itu pula mereka akan melayaniku dengan baik termasuk menyajikan panganan halal.
Sungguh ibuku adalah teladan tentang bagaimana merajut keberagaman sehingga silaturahmi lebih terasa kekeluargaannya. Apa yang dulu ibu perlihatkan kepadaku bagaimana hubungannya dengan tante Marta, buat aku mudah diterima oleh teman-teman kerjaku yang berbeda keyakinan atau teman-teman baruku di lingkungan kerja dan lingkungan sosial yang baru. Bisa dibilang, aku beruntung, memiliki ibu berjiwa besar seperti ibuku.
Perempuan tanggung yang tidak hanya memberi pembelajaran memaknai kerasnya hidup tapi juga memberi contoh tentang cara mencintai sesama. Pembelajaran itu pula yang kini kuwariskan ke anak-anakku. Pesan paling mengharukan dari ibuku adalah bahwa kita memang bukan bersaudara di dalam iman tapi kita bersaudara dalam kemanusiaan. Semoga Allah SWT-Tuhan Yang Maha Esa menempatkan ibuku di sisi-Nya.
#ChangeMaker