Fimela.com, Jakarta Seorang ibu menjadi sosok yang paling istimewa di hati kita. Saat menceritakan sosoknya atau pengalaman yang kita miliki bersamanya, selalu ada hal-hal yang tak akan bisa terlupakan di benak kita. Cerita tentang cinta, rindu, pelajaran hidup, kebahagiaan, hingga kesedihan pernah kita alami bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2020: Surat untuk Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: A
Surat untuk ibu. Tanpa pikir panjang, rasanya tema ini sangat tepat untukku. Aku yang tidak pernah mengungkapkan rasa kepadamu. Aku yang jarang bercerita atau mencurahkan isi hatiku. Aku yang melawanmu dan bertindak sesuka hatiku. Aku yang selama ini lebih banyak diam, bicara seperlunya, menjawab sesingkat-singkatnya setiap mama menegur atau bertanya. Aku sadar betul aku anak yang sama sekali jauh dari bayanganmu, apalagi kalau dibandingkan dengan anak-anak lain kebanyakan. Padahal kita sama-sama perempuan. Aku aneh, mungkin aku tidak normal. Dan aku tahu itu, Ma.
"Mama". Entah sejak kapan aku memanggilmu dengan sebutan Mama, aku sendiri lupa. Padahal kakak-kakakku yang laki-laki memanggilmu dengan sebutan "ibu". Tapi kenapa aku dan kakak perempuanku memanggilmu "mama"? Apa itu ada pengaruhnya dengan wujud kasih sayang? Karena yang kuperhatikan pun, rasanya selama ini anak laki-lakimu lebih hormat padamu, dan aku sebagai anak perempuanmu lebih sering melawan, bahkan menatap tajam hingga membentak. Sebutan "mama" dariku seolah-olah terkesan manja dan penuh tuntutan, seperti Mama harus menuruti kata-kataku dan jangan lagi berbuat salah atau aneh-aneh. Ya, dari memori yang kuingat, aku mulai banyak melawan dan bersikap buruk padamu sejak mulai jelas terlihat penyakit jiwa yang Mama derita.
Jujur aku lupa Ma, seperti apa aku sebenarnya di masa dulu itu saat Mama yang kutahu masih sehat, aktif mengajar sebagai guru dan melakukan dengan cermat semua pekerjaan rumah tangga. Aku tentu saja ingat saat aku disayang, dirawat, dijaga, diajar, dan lain sebagainya. Yang aku lupa adalah tentang anak macam apakah aku ini, Ma? Apakah aku anak yang lembut dan hormat padamu?
Apakah aku suka bercerita tentang hari-hariku? Apa aku senang ada di pelukanmu? Karena seperti ada sebuah jurang ingatan yang memisahkan saat-saat yang kulupakan itu dengan hari dimana Mama berhenti bekerja lalu di rumah Mama nampak semakin parah. Berbicara sendiri, meracau, emosi yang tidak stabil, tingkah laku yang aneh, serba tidak normal, intinya terputus dengan realita, sekumpulan gambaran diri Mama yang selalu membuatku benci dan ingin marah. Tahun pertama sejak Mama pensiun dini itu dan aku masih SMA, aku menyaksikan sendiri puncak keparahan dari kondisimu, yang kata kakak laki-laki pertamaku itu adalah penyakit jiwa yang Mama idap sudah sejak dulu saat aku masih kecil.
Aku tahu anak perempuan itu biasanya begitu dekat dengan ibunya. Aku melihat itu di mana-mana, di kehidupan teman-temanku dan di film juga. Ma, Mama tahu? Aku pernah ada di titik di mana aku merasa berjuang sendirian melalui masa remajaku, pubertasku. Yang paling aku ingat adalah waktu aku memutuskan untuk memakai bra. Dari meja setrika aku curi-curi memakai bra milikmu, yang pastinya kebesaran untukku. Karena terakhir kali Mama mengurus urusan kewanitaanku adalah Mama membelikan beberapa miniset untukku yang masih SMP, dan benda itu terus kugunakan sampai SMA walau terasa begitu sempit.
Advertisement
Mama Tetap Nomor Satu di Hidupku
Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk minta Papa temani aku belanja pakaian dalam. Asal saja aku belinya, entah berapa ukuran yang pas buatku, yang penting aku tidak lagi memakai miniset yang hanya menyakitkanku itu dan bisa punya bra sendiri. Ma, aku saat itu tidak tahu harus bicara seperti apa dan pada siapa, dengan kakak perempuanku pun aku tidak akrab dan Mama tau itu kan?
Oh iya, aku jadi teringat, otomatis aku membandingkan dengan dulu, waktu kakak perempuanku kelas 6 SD. Di depan mataku, Mama sudah memperkenalkannya dengan bra, aku ingat juga dulu dia terlihat cemberut, mungkin malu karena waktu itu ada teman Mama juga yang sepertinya menawarkan bra dagangannya. Aku yakin waktu itu kondisi Mama sehat sekali, Ma.
Masa remaja bisa dibilang kulewati dengan mandiri tanpa sosok dirimu, Ma. Aku juga lebih banyak meminta kebutuhan dan segala sesuatu pada Papa yang sejak aku lulus SMP sudah tidak lagi kerja di luar kota alias pensiun. Aku sebagai anak bungsu semakin manja padanya yang lebih royal darimu, aku lebih banyak berinteraksi dengannya demi memenuhi semua kebutuhanku. Karena kurasa aku tumbuh menjadi anak yang tidak suka bercerita, romantis, atau penuh cinta pada orang tuanya, justru aku hanya suka meminta dan meminta. Dengan begitu makinlah aku jauh darimu Ma, ditambah lagi ada saja tingkah laku dan ucapmu yang aneh dari waktu ke waktu.
Kadang gejalamu yang satu terlihat membaik dan sembuh, kadang gejala yang lain kambuh lagi. Aku yang bertahun-tahun menyaksikannya tidak tahu kenapa masih belum bisa beradaptasi, masih dibuat marah saat melihat keanehan Mama. Tapi Ma, aku sampai detik ini gagal paham kenapa tidak ada upaya yang besar dari Papa atau siapa saja untuk menyembuhkan Mama dengan membawamu langsung ke psikolog atau psikiater. Apa karena sejak Mama pensiun dini Mama sangat sulit untuk diajak pergi keluar seperti waktu momen silaturahim Idul Fitri (Mama sampai marah-marah)? Aku tidak tau Ma.
Aku banyak tidak tahunya mengenai keluargaku sendiri. Aku selama ini hanya ikut-ikutan saja tanpa memberi saran atau semacamnya. Aku merasa paling tak punya hak untuk bicara sebagai anak termuda di keluarga kita, Ma. Tahu apa anak paling kecil ini kan, Ma? Keadaanmu adalah masalah yang besar dan kompleks, karena sosokmu seharusnya adalah nyawa bagi sebuah keluarga.
Ma, sejauh ini aku bukan mau menyalahkanmu. Aku bukan mau marah-marah padamu. Tapi aku hanya mengawali surat ini dengan apa yang kupikir menjadi sebuah penyebab aku akhirnya menjadi anak yang sekarang ini. Anak yang sangat jarang menegurmu, anak yang tidak pernah curhat padamu, tidak memelukmu, jarang memanjakanmu, bahkan tidak hormat padamu. Aku ingat sekali aku sering sinis padamu dengan keanehanmu, membentak saat Mama ngotot dengan yang Mama yakini benar.
Aku juga selalu bersikap tidak suka saat Mama kuanggap mengganggu keasyikanku dengan duniaku sendiri yang sudah kuciptakan dari dulu, dunia yang kuisi dengan aku dan kegemaranku, hal-hal yang membuatku senang. Ma, aku bukan anak yang baik, aku masih sering memperlakukanmu dengan kasar dan tidak semestinya. Tapi Ma, kalau Mama terus sehat seperti yang kulihat waktu kecil dulu, apakah aku jadi anak yang baik? Apakah aku akan menghormatimu? Apakah aku akan menunjukkan dengan tepat rasa sayangku padamu? Argh! Ma... anak seperti apakah aku waktu dulu saat dirimu masih sehat, Ma? Aku tidak tahu, aku tidak ingat, atau mungkin alam bawah sadarku tidak ingin mengingatnya. Dan entahlah, apa kalau Mama sehat aku tidak menjadi seperti yang sekarang ini atau malah sama saja. Ma, apa Mama tahu jawabannya?
Kini usiaku sudah nyaris seperempat abad, lalu usiamu sudah memasuki kepala 6, Ma. Demi Tuhan aku tidak ingin seperti ini selamanya padamu, Ma. Aku tidak akan pernah tahu kapan nyawaku diambil, begitu juga entah kapan nyawamu diambil. Mama, aku tidak akan bicara banyak lagi di akhir surat ini.
Mungkin diamku tidak akan banyak berubah, Ma. Aku akan tetap menjadi anak yang memendam cerita atau keresahan cukup dalam hatiku sendiri, tapi aku akan berusaha menegurmu walau itu hanya menyapa sambil sesekali mencium pipi Mama juga.
Aku akan berusaha bersabar dan tidak terbawa emosi melihat kelakuan aneh Mama. Aku juga akan coba memperbaiki apa yang Mama rusak, dan tetap memperlakukanmu dengan lembut dan hangat, tanpa tatapan atau ucapan yang bisa menyakitimu. Begitu pun saat Mama menegurku aku akan menjawab dengan nada yang tidak lebih tinggi dari nada bicaramu, tentu dengan senyuman terbaikku.
Aku tentu akan lebih sering memanjakan Mama dengan memberi apa yang Mama suka, seperti es krim atau cokelat dan buah. Lalu yang akan selalu kuusahakan walau sulit, adalah mengungkapkan perasaanku padamu lalu memelukmu, Ma. Semuanya ingin sering-sering kuungkapkan, dari mulai rasa terima kasih, meminta maaf, hingga aku yang menyayangimu lebih dari apa pun. Mama nomor satu bagiku. Aku sayang Mama.
#ChangeMaker