Fimela.com, Jakarta Seorang ibu menjadi sosok yang paling istimewa di hati kita. Saat menceritakan sosoknya atau pengalaman yang kita miliki bersamanya, selalu ada hal-hal yang tak akan bisa terlupakan di benak kita. Cerita tentang cinta, rindu, pelajaran hidup, kebahagiaan, hingga kesedihan pernah kita alami bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2020: Surat untuk Ibu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: FuatuttaqwiyahÂ
Ibu adalah sosok perempuan pertama yang selalu membuatku menitikkan air mata. Berulang kali aku menulis tentang ibu dan berulang kali aku harus menyiapkan sapu tangan dan kertas tisu untuk mengelap air bening yang selalu membanjiri kedua pipiku.
Bagiku, 29 tahun kebersamaan bersama mendiang ibu adalah waktu yang singkat. Walau aku masih jauh beruntung dibandingkan ketiga adikku. Bahkan adik bungsuku hanya bisa menikmati kebersamaan tersingkat, 13 tahun.
Rasanya, baru kemarin aku pamit untuk merantau ke ujung Pulau Sumatra. Dekapan hangat itu masih bisa kurasakan setiap menginjakkan kaki ke Stasiun Lempunyangan. Begitu juga bisikan ibu di telingaku. Bahkan petuah dan nasihat ibu masih tersimpan dalam memoriku.
Andai boleh memilih, aku masih ingin merasakan semua kehangatan pelukan ibu. Aku masih ingin tidur sejenak dalam pangkuan ibu. Aku masih ingin mendengar lantunan doa untukku. Namun, semua sudah tidak bisa lagi kunikmati.
Ibu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Bahkan satu kata pun tidak kudengar. Aku hanya mendengar pesan dari tetangga dan orang-orang yang sempat berjumpa dengan ibu menjelang wafat.
Kepergian ibu yang mendadak memang duniaku luluh lantak. Tubuhku lemas tak berdaya. Aku merasa semua kesuksesan yang kuraih tidak ada artinya tanpa kehadiran ibu. Beliau adalah orang yang selalu mendukung semua langkah dan tindakanku. Ibu sanggup menahan semua luka, hinaan, dan lelah hanya agar aku menjadi orang yang berhasil.
Aku masih ingat bagaimana ibu menjemur padi ketika panen. Begitu juga melihat ibu menggendong adik sambil memberi makan ayam di kandang. Ibu rela mengayuh sepeda onthel hanya untuk mengunjungiku di pesantren. Jarak puluhan kilo pun rela ibu tempuh demi keberlangsungan pendidikanku.
Advertisement
Doa Ibu Menjadi Sumber Kekuatanku
Keluh kesah tidak pernah keluar dari bibir merah ibu. Begitu juga ketika ibu mendapatkan hinaan dari orang-orang yang meremehkan kemampuan ibu. Ibu begitu tegar dan kuat seperti karang di lautan. Semua hinaan itu ibu simpan di hati. Bahkan aku pun tidak pernah tahu.
Malam-malam yang penuh dengan lantunan doa di sudut kamarku seolah menjadi saksi bagaimana tirakat ibu untukku, kakak, dan adik-adik.  Malam syahdu saat aku sibuk berkutat dengan buku kuliah, ibu bersimpuh kepada-Nya. Doa khusyuk mungkin itulah salah satu yang membuatku seperti sekarang.
Ada banyak yang kulewatkan tentang ibu, ketika aku di perantauan. Aku hanya bisa mendengar suara ibu melalui telepon selular. Itu saja sudah membuatku bahagia.
Bu, ucapan terima kasih rasanya masih belum cukup untuk mewakili rasa di hati ini. Andai ibu masih ada, aku pasti sudah membawa ibu keliling dunia seperti keinginan ibu sebelum wafat. Sayangnya hal itu belum kesampaian. Hatinya masih sesak bila mengingatnya.
Saat ini yang bisa kulakukan adalah mendoakan ibu sehabis salat fardu dan salat sunah. Selain itu, aku juga meneruskan hubungan silaturahmi ibu dengan teman-temannya melalui kegiatan kirim doa setiap peringatan haul ibu. Sesekali aku mengadakan kegiatan berbagi atas nama ibu.
Ibu memang sudah tiada di dunia. Namun, kenangan ibu akan terekam terus dalam ingatanku juga dalam naskah-naskah yang kutulis untuk ibu. Terima kasih ibu, I love you so much.Â
#ChangeMaker