Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Flora Awoitauw
Kita tidak bisa memilih akan terlahir dan dibesarkan di dalam keluarga kecil atau keluarga besar. Demikian juga dengan diriku yang tidak bisa menentukan di mana kelak aku dilahirkan serta dibesarkan. Di sinilah diriku terlahir sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara. Mungkin hal ini mulai langkah di zaman sekarang.
Singkat cerita, masa kecilku begitu indah tanpa beban apalagi aku merupakan anak terakhir yang paling kecil dalam keluarga. Begitulah yang masih aku jalani sebagaimana umumnya anak bungsu yang disayang, dimanja oleh kedua orang tuaku.
Ibuku selalu mengerti apa yang kukatakan, kuinginkan begitu juga ayahku hingga semuanya berubah ketika aku menyelesaikan sekolah menengah atasku (SMA) artinya aku sudah bukan anak-anak lagi. Di sinilah semuanya bermula, perubahan drastis yang mau tidak mau, siap tidak siap aku harus menerima semuanya itu. Ayahku selalu katakan bahwa semua kakak-kakakku tidak ada yang bisa ia andalkan, tidak dewasa, mereka hanya dewasa secara usia saja dan hanya kamu yang mampu mengurus semuanya.
Advertisement
Kepergian Orangtua untuk Selamanya
Tahun 2013 merupakan tahun yang berat dalam hidupku karena ayah tercinta mulai sakit prostat, penyakit yang diderita kebanyakan oleh para lelaki lansia. Selama 6 bulan aku merawat semua keperluan hingga biaya perawatannya, tanpa pernah aku mengeluh sedikit pun.
Di sisi lain, aku bersyukur berada di lingkungan pergaulan yang membentukku menjadi pribadi yang teguh dalam iman, pengharapan dan kasih sehingga ketika aku berada di situasi yang menguji kesetiaan, ketaatan, perhatian dan kasih sayang kepada orang tua. Aku masih sanggup menjamin kebutuhan mereka dengan gajiku walaupun aku hanya bekerja sebagai tenaga honorer di salah satu rumah sakit swasta dengan bermodal Ijazah Diploma 3.
Aku mampu menolong ayah yang sangat membutuhkan dana dan perhatian dari anak-anaknya. Pastinya akulah satu-satunya yang selalu dipanggil ketika membutuhkan sesuatu dalam kelemahannya bergumul dengan sakitnya itu. Dengan keteguhan hati harus kuhadapi lagi kalau dokter mendiagnosis ayahku mengalami gangguan pada ginjal sehingga harus chekc up dan cuci darah sambil menunggu kalau ada pendonor ginjal sehingga dapat dibeli untuk mengganti ginjal ayah.
Hal ini membuat ibu mulai mengikhlaskan kepada Tuhan untuk mengambil ayah yang kukagumi dan sayangi ini. Namun tidak dengan diriku yang terus berjuang mencari donor ginjal sementara ayah menginap selama beberapa minggu di rumah sakit daerah terdekat padahal sebelumnya telah di rawat di rumah sakit swasta terbaik di kota yang ada di Papua tapi terbentur biaya. Menunggu tanpa kepastian adanya donor ginjal sambil tetap rajin mencuci darah yang tentunya sangat menguras biaya itu. Dan akhirnya aku pun harus merelahkan kepergian ayah tercinta untuk selamanya. Begitu terpukul itulah yang kurasakan pertama kali di dalam hidup dan baru aku mengerti bagaimana rasanya kehilangan keberadaan fisik sosok ayah di dalam rumah untuk selamanya.
Dengan penghiburan kekuatan dari sahabat-sahabat juga kerabat yang selalu dan selalu mengiringi selama 40 hari setelah kepergian ayah. Tekadku untuk kembali bangkit semakin mantab bersama ibu yang selalu menguatkan aku untuk tidak mengingat ayah yang sudah sehat dan damai di surga.
Setelah tidak ada lagi ayah untuk selamanya, semua aku yang mengatur dan bertanggung jawab karena sebelum ayah akan menghebuskan napas terakhirnya, ia telah memberikan semua hak warisan rumah dan tanah kepada anaknya yang bungsu yaitu aku juga menitipkan ibu kepadaku.
Awalnya sangat sulit karena harus kulalui semuanya yang masih terasa asing bagiku ditambah lagi pertengkaran dengan kaka-kaka laki-lakiku yang merasa tidak mendapat bagian apa-apa dari harta gona gini si ayah. Namun dapat kuatasi dengan kekuatan serta kedewasaan yang kadang aku sendiri heran aku bisa sekuat itu namun aku begitu percaya semua dari Tuhan. selain itu, masih ada mamaku yang dihargai oleh kaka-kakaku.
Setelah dapat kuselesaikan dan kami kembali hidup rukun sebagai saudara kandung aku pikir tidak ada lagi kejadian seperti ini dari pihak luar namun aku harus bisa meneguk pil pahit yang disodorkan tetangga dekat yang sudah aku anggap seperti saudara kandung itu. Ia mempermasalahkan tanah tempat rumah kami sudah dibangun sejak dulu hingga tega mengadukan kepada pihak berwajib dan pengadilan untuk diproses. Sakit dan sedih itulah yang bercampur aduk dalam batinku, bermain dengan bebas dalam akal sehatku karena aku tak pernah menduga akan begini jadinya.
Kami bertumbuh sejak kecil bersama, bermain bagaikan sahabat, pergi ke sekolah bersama, tapi mungkin itu semua baginya adalah masa lalu yang sudah dilupakannya. "Ini sedang terjadi dan aku mau tidak mau harus bisa menerima semua dengan tetap memperjuangkan hak-hak ayah." Itulah sebait kalimat yang keluar dari bibir ini untuk menguatkan hati jiwaku menghadapi orang terdekat yang sekarang memposisikan dirinya sebagai lawan bukan kawan lagi.
Beberapa bulan kemudian baik laporan di polisi maupun di pengadilan memutuskan kami tidak bersalah dan tempat itu sudah sah menjadi hak milik kami. Dua tahun setelah kepergian ayah, ibu jatuh sakit awalnya hanya karena kecapehan kata dokter. Tak pernah kuduga beberapa minggu merawat ibu di rumah sakit hingga tiga rumah sakit yang ibu harus di rawat inap akhirnya aku harus ikhlas menerima kepergian ibu kandungku yang paling banyak mengajariku tentang kasih yang sebenarnya dan tentang bahagia dalam situasi kondisi apapun yang menerpa hidup, hadapilah dengan senyum yang tulus.
Jujur kepergian ibu membuatku terpuruk. Ibu yang bagiku tempat curahan isi hatiku, ibu yang setiap pulang kerja aku memanggilnya dengan ceriah menyambutku, ibu yang setiap pagi menyediakan sarapanku sebelum aku kerja, ibu yang sebelum aku mandi. Aku selalu bercanda dan bermanja-manja denganya. Ibu yang selalu menyambutku dengan bahagia dan ibu yang sabar mendengar omelan-omelanku tentang kakak-kakakku ataupun teman-temanku yang telah membuat kesal lalu ibulah yang memberi saran dengan lembut dan bijak lalu diakhiri dengan senyuman yang tulus miliknya itu. Ibu yang setia menemaniku tidur sejak aku kecil hingga dewasa pun sesekali tidur bersama sambil tertawa bersama dengan sesuatu yang sebetulnya tidaklah lucu. Ibu yang begitu rajin memasak untuk ku walau aku sudah sebesar ini.
Mengobati Kesedihan
Aku terisak-isak dalam kamar di malam penghiburan itu. Benar-benar aku tak mampu berpijak lagi pada rumah yang di setiap sudutnya terutama di dapur terasa jejak ibu. Selalu saja butiran bening ini bergulir sendiri menggenangi kedua pipiku tanpa bisa kubendung ketika melangkah di rumah. Rumah yang memiliki sejuta memori terlalu indah bersama ibunda tercintaku. Memang butuh energi ekstra untuk dapat menjalani hari esokku. Sekali lagi kekuatan itu hanya aku dapat dari Tuhan melalui teman-teman rohani.
Akhirnya aku belajar bahwa justru melalui terpaan badai hidup yang bertubi-tubi inilah aku menemukan diriku yang sebenarnya yaitu panggilan hidupku dan jalan hidupku. Aku menyediakan rumah pengasuhan untuk anak-anak yatim piatu yang diterlantantarkan orang tua, yang kehilangan kasih sayang salah satu maupun kedua orang tua.
Bermodal dana yang tidak seberapa serta dukungan baik material maupun spritual dari teman-teman aku berhasil memiliki rumah perdana untuk menampung anak-anak yatim piatu. Itulah awal aku merintis rumah panti asuhan.
Tujuanku hanya satu ingin menyelamatkan masa depan anak-anak karena pikirku sederhana. Mereka telah kehilangan orang tua, jangan lagi mereka kehilangan masa depan. Karena aku begitu memahami bagaimana rasanya tidak memilki orang tua.
Tantangannya sudah pasti ada tapi aku sudah terlatih sebelumnya jadi semua dapat kulewati dengan ucapan syukur kepada Tuhan. Sekarang aku jadi mengerti seandainya dulu aku tidak melewati masa-masa tersulit dalam hidupku malah memilih lari berangkat meninggalkan semuanya pindah ke tempat lain sejauh-jauhnya untuk melupakan semuanya atau untuk menenangkan diriku, mungkin ke luar negeri, aku yakin aku tidak akan pernah menemukan jalan hidupku seperti sekarang ini.
Aku benar-benar merasa di posisi lady boss dari rumah panti asuhan ini. Melihat anak-anak di panti asuhan dapat makan minum pakai, belajar, sekolah dengan baik sudah membahagiakan bagiku apalagi rohani mereka bertumbuh melalui karakter-karakter ilahi yang tampak dalam keseharian mereka membuatku lebih bahagia lagi karena aku tahu itulah jaminan hidup sukses dan bahagia mereka baik di bumi maupun setelah mereka tiada lagi di bumi (Surga).
Semoga kisahku menginspirasi para wanita nusantara agar tetap berani dan kuat menghadapi tantangan hidup seberat apa pun itu.
#ChangeMaker